Liputan6.com, Jakarta - Lalu lintas pagi itu di daerah Fatmawati, Jakarta, masih terlihat tidak terlalu ramai. Sejumlah pekerja Mass Rapid Transit (MRT) masih bersiap-siap untuk melakukan pekerjaan. Di seberang jalan dari proyek MRT terdapat sebuah rumah makan Padang.
Terlihat seorang pria yang asyik duduk sembari merapikan piring-piring di rumah makan di sekitar Jalan Haji Nawi Fatmawati. Pria itu sedang menunggu pelanggan sambil terpaku pada tumpukan piring di hadapannya.
Edi, pria asal Padang yang sudah tinggal bersama keluarganya di Jakarta, hanya bisa menghela nafas ketika yang datang hanya orang-orang yang ingin menanyakan jalan. "Tahu jalan ini, Pak?" tanya seorang pengendara ojek online.
Advertisement
"Oh, ini mah tinggal lurus saja, Mas," jawab Edi, Rabu, 18 Januari 2017.
Pria berjenggot dan berkumis ini mengaku sejak lama restoran miliknya sepi pembeli akibat adanya pembangunan MRT yang menyempitkan jalan, "Yah, mau bagaimana. Sudah jalan sempit ya pelanggan juga malas datang ke sini," ujar Edi.
Edi mengungkapkan dulu restorannya sangat ramai pengunjung dari berbagai wilayah yang ada di Jakarta. Namun, semenjak adanya pekerjaan MRT di Jalan Fatmawati hingga Blok M, pendapatan dari pengunjung yang datang sangat turun drastis.
Mengenakan celana pendek warna pink dan berkaus abu-abu, dia menceritakan dulu dia mempunyai dua restoran di sisi depan dan di sisi samping ruko. Namun, semenjak September 2016, karena pengunjung yang datang semakin sepi, restoran Padang miliknya hanya dibuka satu, yaitu di samping ruko.
Saat ditanya oleh Liputan6.com terkait penutupan jalan yang akan diberlakukan di sebagian Jalan Fatmawati, Edi baru mengetahui hal tersebut. Menurut dia, penutupan Jalan Fatmawati yang dilakukan untuk pembangunan MRT seharusnya melihat kondisi pelaku usaha yang berada di sekitar pembangunan.
Edi hanya ingin di tempatnya itu terdapat lahan parkir, sehingga ketika orang yang lewat dan ingin makan di restorannya bisa terakomodasi.
"Aduh, parkirannya saja sudah susah di sini. Orang sudah malas untuk makan kalau lewat sini, apalagi nanti ditutup," gumam Edi sembari menghela nafas.
Sambil melayani pelanggan yang datang, Edi menanyakan kepada adik iparnya apakah adiknya itu mengetahui tentang penutupan jalan yang akan dilakukan pada bulan Februari hingga Agustus itu.
"Tahu memang bakal ditutup jalan, nih?" tanya Edi
"Enggak tahu sih, tapi dengar sih bakal ditutup jalannya," jawab adik ipar Edi.
Pria yang sudah 10 tahun tinggal di Jakarta ini pun berharap proyek MRT tersebut cepat selesai, sehingga keadaan bisa kembali seperti semula dan bahkan lebih baik.
Ia mengaku mendukung program pemerintah agar menciptakan transportasi yang baik untuk masyarakat. Namun, dirinya pun tidak mengelak jika pembangunan MRT tersebut menggerus pendapatan usahanya.
Para Pedagang di Sekitar Fatmawati Hanya Bisa Pasrah
Berbeda dengan Edi, Sarono (53), pedagang kelontong yang berjualan di depan ITC Fatmawati, hanya pasrah jika penutupan jalan terjadi. Mengenakan peci putih dan baju batik, dirinya hanya berharap agar pembangunan MRT ini dapat segera selesai dan tidak ada unsur korupsi dari pembangunan tersebut.
Sembari menyapa para pejalan kaki agar mampir ke warung kelontongnya, Sarono menceritakan kepada tim Liputan6.com saat ia pertama kali berdagang di daerah sekitar Haji Nawi Fatmawati, "Saya sudah lama jualan di sini dari zaman Gusdur, sampai sekarang dagang di sini," tutur Sarono.
Dirinya membandingkan pendapatan yang bisa didapat saat sebelum ada pembangunan MRT dan sesudah pembangunan. Pendapatan yang bisa ia dapatkan jauh lebih banyak ketimbang saat ini, "Walah jauh-lah, sebelum ada MRT sama sudah ada MRT," ungkap Sarono.
"Kalau dulu yang datang banyak pas makan siang kebanyakan orang kantoran pada nyebrang ke sini. Sekarang mah, enggak ada kan, nyebrang aja susah, yang ke sini paling OB," tukas Sarono.
Pria asli Klaten ini mengaku dagangannya ramai ketika waktu tertentu saja, seperti saat waktu salat Jumat, karena posisi warungnya berada di samping masjid.
Namun, dirinya bersyukur karena dagangannya masih ada yang membeli. Sarono membandingkan toko yang ada di belakang gerobaknya berjualan, toko kosmetik itu sama sekali tidak ada pengunjungnya.
"Ini toko kosmetik belakang saya saja sudah sebulan tidak ada yang ngunjungin apalagi beli, ya sepi begitu gara-gara bangun MRT," ucap Sarono.
Terkait penutupan jalan yang akan segera dilakukan pada 4 Februari hingga Agustus, pria paruh baya ini hanya bisa berharap agar penutupan jalan tersebut segara berakhir, supaya pelanggan yang membeli dagangannya lebih banyak.
"Jalan enggak ditutup saja masih sepi begini, apalagi kalau ditutup. Wah enggak tahu nih bakal bagaimana, yang penting ngebangunnya bisa cepat sajalah," ujar Sarono.
Advertisement
Sopir Metromini Terpaksa Pindah Trayek
Sama seperti Sarono, Pirman Siregar (35), pria asal Medan yang berprofesi sebagai sopir Metro Mini 610 Pondok Labu-Blok M, mengaku pasrah dan menerima saja dengan rencana ditutupnya Jalan Fatmawati yang dipakai untuk membangun stasiun MRT.
Sambil mengelap keringat, dirinya mengungkapkan baru kali ini jalur trayeknya akan ditutup. Bahkan, selama 5 tahun dirinya mengemudikan Metromini, penutupan ini baru dilakukan ketika pembangunan MRT berlangsung.
Pirman yang tinggal di Pondok Labu mengaku bingung dengan kabar tersebut. Pasalnya, penutupan jalan ini pasti akan mengurangi pendapatan dirinya dan teman-teman sopir lain.
"Masalahnya kan pas ditutup pasti berkurang itu penumpang. Biasanya lewat sana, eh diputar ke arah lainnya," ujar Pirman.
Dengan pakaian lusuhnya, dia menerangkan kalaupun harus ditutup, kemungkinan trayek Metromini yang biasa dia kemudikan akan beralih ke arah Antasari jalur belakang.
Sembari menunggu datangnya penumpang, Pirman mengeluhkan sepinya trayek yang dia lalui saat ini. Hal utama penyebabnya bukan hanya karena penyempitan jalan MRT, akan tetapi terkait juga banyaknya angkutan berbasis online.
"Pembangunan itu (MRT) memang berpengaruh sama pendapatan, tapi yang lebih pengaruh itu gara-gara Gojek itu,"Â keluh Pirman.
Ayah dua anak ini hanya bisa tersenyum pahit ketika mengingat-ingat penghasilan yang didapatkan sehari-hari. Dari hasil menyopir Metromini, dia mengaku hanya cukup menyambung hidupnya untuk makan sehari.
"Jalan enggak ditutup saja hanya dapat Rp 50 ribu sehari, bagaimana pas ditutup, tambah dikit pasti," ucap Pirman.