Dakwaan Kasus E-KTP Sebut Gamawan Fauzi Terima US$ 4,5 juta

PN Tipikor menggelar sidang kasus e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 09 Mar 2017, 12:31 WIB
Diterbitkan 09 Mar 2017, 12:31 WIB
Kasus e-KTP
Mantan Mendagri Gamawan Fauzi diperiksa KPK terkait kasus e-KTP

Liputan6.com, Jakarta - Dalam dakwaan sidang kasus e-KTP, nama Gamawan Fauzi ikut diungkap menerima aliran dana suap. Menteri era SBY itu disebut turut menikmati uang sebesar USD 4,5 juta dan Rp 50 juta.

"Gamawan Fauzi (menerima aliran dana) sejumlah 4,5 juta dolar AS dan Rp 50 juta," ujar Jaksa KPK Irene Putrie saat membacakan dakwaan kasus e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jakarta Pusat, Kamis (9/3/2017).

Jaksa Irene mengungkapkan, pada akhir November 2009, Gamawan Fauzi selaku Menteri Dalam Negeri mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) No.471.13/4210.A/SJ untuk mengubah sumber pembiayaan proyek e-KTP, yang semula menggunakan Pinjaman Hibah Luar Negeri menjadi anggaran murni.

Perubahan sumber pembiayaan itu, lanjut dia, dibahas dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat antara Kementerian Dalam Negeri dengan Komisi II DPR. Kemudian pada awal Februari 2010, setelah mengikuti rapat membahas anggaran Kementerian Dalam Negeri, Terdakwa Irman diminta sejumlah uang oleh Burhanudin Napitupulu selaku Ketua Komisi II DPR ketika itu.

Setelah melakukan serangkaian pertemuan, akhirnya disepakati soal proyek e-KTP ini, antara Andi Agustinus alias Andi Narogong, pengusaha rekanan yang biasa mengendalikan proyek dengan Kemendagri dan Komisi II DPR. Hingga akhirnya muncul angka Rp 5,9 triliun‎ untuk pembiayaan proyek e-KTP.

"Proses pembahasan anggaran tersebut dikawal oleh Fraksi Golkar dan Demokrat dengan kompensasi Andi Narogong akan memberikan fee kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kemendagri," tutur Jaksa Irene.

Hasil dari beberapa kesepakatan dan pengaturan yang dilakukan Andi Narogong pada 20 Juni 2011 Panitia Pengadaan menyampaikan usulan penetapan pemenang pelaksanaan e-KTP dengan rencian pemenang adalah Konsorsium PNRI, dengan penawaran Rp 5.841.896.144.993. Kemudian pemenang cadangan adalah Konsorsium Astragraphia dengan harga penawaran Rp 5.950.304.787.554.

Untuk memperlancar penetapan pemenang lelang, pada pertengahan Juni 2011 Andi Narogong kembali memberikan uang kepada Gamawan Fauzi melalui saudaranya Azmin Aulia sejumlah USD 2,5 juta.

Selang beberapa hari, pada 21 Juni 2011 Gamawan menetapkan konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp 5.841.896.144.993, berdasarkan surat keputusan Mendagri Nomor: 471.13-476 tahun 2011. Penetapan ini diikuti dengan pengumuman pemenang lelang oleh panitia setelah lima hari kemudian.

Namun, pada akhirnya proyek e-KTP ini tak berjalan mulus dan terendus rasuah oleh KPK. Kasus e-KTP itu disinyalir merugikan keuangan negara hingga Rp 2.314.904.234.275,39 sesuai perhitungan BPKP. Uang hasil korupsi itu diduga mengalir ke kantong pribadi anggota DPR, pejabat di Kemendagri, pengusaha pemenang proyek dan partai politik.

Proses Audit BPKP

Gamawan Fauzi, yang diperiksa terkait kasus e-KTP pada Kamis 20 Oktober 2016 lalu mengungkapkan, Kemendagri sudah mengaudit Rancangan Anggaran Dasar (RAD) untuk pengadaan E-KTP pada saat itu. Audit dilakukan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Selesai diaudit BPKP itu saya bawa ke KPK, saya presentasikan di KPK lagi. Saran KPK saat itu, coba didampingi LKPP," ujar Gamawan di Gedung KPK, Jakarta.

Menurut dia, sebelum RAD disusun, sudah ada pembahasan‎ bersama di Kantor Wakil Presiden. Hadir dalam pembahasan itu sejumlah stakeholder terkait.

"Pertama rapat itu di tempat Wapres, dibahas. Ada Menkeu, Bappenas, dan menteri-menteri terkait. Lalu saya meminta, kalau bisa jangan Kemendagri yang mengerjakan ini," ujar Gamawan.

Singkatnya, usai RAD disusun dan diaudit BPKP, tender lelang proyek pengadaan E-KTP dilakukan. Proses tender juga didampingi BPKP dan LKPP bersama 15 kementerian lain. "Malah saya tidak ikut. Setelah itu selesai tender, panitia lapor ke kami," ucap Gamawan.

Namun, saat menerima laporan dari panitia lelang, dia ragu. Lalu berkas laporan itu dibawa lagi ke BPKP untuk diaudit.

Setelah diaudit di BPKP‎ selama dua bulan dan sebelum kontrak itu ditandatanganinya, Gamawan membawa lagi berkas tersebut ke aparat penegak hukum‎ seperti KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung.

"Karena Pasal 83 dalam Perpres 54 itu disebutkan, kalau ada KKN, itu kontrak dapat dibatalkan," ujar Gamawan.

Setelah itu, lanjut dia, usai semua itu dia tidak tahu jika proyek pengadaan itu bermasalah, bahkan sampai berujung korupsi dan merugikan negara. "Tiba-tiba, saya dapat kabar ada kerugian Rp 1,1 triliun. Bagaimana saya tahu kalau ada masalah, karena yang saya pegang kan hasil audit, hasil pemeriksaan," ujar Gamawan.

"Satuan harga diaudit oleh mereka, baru di Kemendagri, didampingi pula oleh BPKP dan LKPP. Ada suratnya, dokumennya. Kemudian saya presentasi lagi di KPK. Sampai akhir tidak pernah ada temuan (masalah)," lanjut dia.

KPK telah menetapkan dua orang tersangka pada kasus dugaan korupsi proyek E-KTP pada 2011-2012 di Kemendagri. Keduanya, yakni bekas Dirjen Dukcapil Kemendagri, Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri, Sugiharto.

Mereka didakwa melakukan korupsi secara bersama-sama kasus e-KTP yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun pada tahun anggaran 2011-2013.‎ Keduanya pun turut memperkaya diri dari hasil korupsi e-KTP.

Atas perbuatan kasus e-KTP ini, Irman dan Sugiharto melanggar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya