Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Firman Soebagyo mengatakan ada sejumlah perbedaan pandangan antara Baleg dengan Komisi I DPR, terkait Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran).
"Komisi I sebagai pengusul dan Baleg sebagai lembaga atau alat kelengkapan dewan, yang memang punya otoritas untuk melakukan harmonisasi (RUU Penyiaran)," ujar Firman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/9/2017).
Menurut Firman, ada lima bahasan lagi yang harus dikomunikasikan antara Baleg dengan Komisi I. Dia berharap, ada titik temu dari lima bahasan tersebut.
Advertisement
"Intinya itu ada tinggal lima yang insyaallah, mudah-mudahan nanti masih ada titik temu. Kalau tidak ada titik temu nantinya akan deadlock, dan mungkin penundaan kembali," ucap dia.
Firman menyebutkan, perbedaan pendapat itu pertama adalah mengenai badan migrasi digital, dari analog ke digital.
"Nah, ini kami mengharmonisasi juga sesuai dengan usulan yang ada di komisi, tapi tadi komisi mempersoalkan lagi," tutur dia.
Permasalahan selanjutnya, Firman menyebutkan, batas akhir migrasi dari analog ke digital, yang dituangkan dalam draf RUU Penyiaran jangka waktunya tiga tahun.
"Tetapi karena kemarin kita juga dengarkan dari para pelaku usaha, termasuk asosiasi, tiga tahun terlalu pendek. Karena untuk persiapan migrasi kan juga persiapan yang memakan waktu, sehingga rasionalnya itu lima tahun, berdasarkan usulan teman-teman pelaku usaha," papar dia.
Firman menyebutkan, akan mencari titik tengah dari jangka waktu migrasi dari analog ke digital itu. "Ini nanti dicari titik tengahnya. Titik tengahnya mungkin bisa itu menjadi empat tahun, kira-kira seperti itu," kata dia.
Perbedaan lain, lanjut Firman, soal digital dividen. Menurutnya, ada keinginan pemerintah bahwa digital dividen ini juga akan dilakukan pemanfaatan frekuensi untuk telekomunikasi.
"Kalau itu, artinya bahwa undang-undang ini akan bertentangan dengan telekomunikasi. Nah, kami enggak setuju," tutur dia.
Politikus Partai Golkar ini menegaskan, Komisi I tidak setuju dengan digital dividen yang akan dilakukan pemanfaatan frekuensi untuk telekomunikasi.
"Karena itu penyiaran ya penyiaran, jangan masuk ke telekomunikasi. Namun, kami setuju bahwa di dalam pembagian frekuensi itu nanti ada ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemanfaatan untuk bencana alam, kemudian juga untuk pendidikan. Itu memang mutlak kita sepakat," kata dia.
Terakhir, lanjut Firman, perbedaan terjadi terkait investasi asing. Komisi I mengkehendaki 0 persen, tetapi Baleg menemukan ternyata ada peraturan presiden sebagai peraturan turunan UU Investasi.
"(di peraturan presiden itu) Untuk investasi di pertelevisian swasta atau penyiaran diperbolehkan maksimal 20 persen," kata dia.
Sehingga, menurut Firman, Baleg mengharapkan investasi maksimal 20 persen, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No 44 / 2016.
"Tinggal itu saja yang deadlock, masih tarik menarik, pengusul maunya sahkan dari inisiatif komisi. Tapi kalau dilakukan, kita langgar UU No 12 Tahun 2011. Karena, dalam harmonisasi, ada perubahan-perubahan yang dilakukan Baleg. Karena itu ada terjadi tarik menarik antara Baleg dengan komisi, perbedaan pendapat," Firman menandaskan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tidak Melanggar UU
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Firman Soebagyo sebelumnya mengatakan, dalam penyusunan sebuah rancangan undang-undang (RUU), pihaknya harus menaati semua aturan-aturan yang ada. Terutama UU Nomer 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyusunan RUU.
"Nah oleh karena itu, sekarang ini Baleg sudah melakukan tahapan-tahapan baik yang terkait aspek filosofis, yuridis, dan kemudian masalah teknis," ujar Firman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
Karena itu, Firman mengatakan, RUU Penyiaran harus dilakukan harmonisasi di Baleg. Meskipun, nantinya setelah harmonisasi akan ada perubahan-perubahan kembali.
Menurut Firman, pengambilan keputusan soal RUU Penyiaran haruslah berkeadilan. Komisi I juga sudah mendengarkan aspirasi dari berbagai kalangan.
Advertisement