Baleg: Sistem Hybrid, Kemungkinan Diterapkan di Indonesia

Ini mengacu pada beberapa negara maju di dunia yang juga telah menggunakan sistem itu.

oleh Ika Defianti diperbarui 02 Okt 2017, 21:16 WIB
Diterbitkan 02 Okt 2017, 21:16 WIB
Digitalisasi Media Merupakan Keniscayaan
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Firman Soebagyo menyatakan perkembangan teknologi tak bisa dibendung.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Firman Soebagyo, mengatakan kemungkinan Indonesia akan menggunakan sistem hybrid mux operator dalam tata cara perpindahan televisi analog ke digital. Ini mengacu pada beberapa negara maju di dunia yang juga telah menggunakan sistem itu.

"Kecuali Malaysia dan Jerman, karena mereka penduduknya sedikit. Makanya pakai single mux," kata Firman di Kawasan Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (2/10/2017).

Dia menjelaskan, sistem single mux hanya dilakukan sampai tingkat provinsi. Selebihnya, negara atau pemerintah pusat yang memberikan subsidi.

Menurut dia, sistem itu tidak dapat dilakukan di Indonesia. Posisi Indonesia yang berpulau-pulau dan dengan jumlah warganya termasuk dalam lima terbesar di dunia menjadi alasannya.

"Karena tidak mungkin kita menyubsidi rakyat kita yang banyak dan posisi itu terdiri dari pulau ke pulau," ujar Firman.

Tak hanya itu, Politikus Partai Golkar itu mengatakan, pemerintah juga harus memperhatikan kesiapan lembaga penyiaran di Indonesia. Sebab, ini akan berdampak pada masyarakat dan menguntungkan perusahaan industri digital saja.

"Jangan sampai nanti dari analog ke digital masyarakat belum siap. Sehingga masyarakat tidak dapat menikmati siaran," jelas Firman.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Rawan Monopoli

Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK pun menilai metode single mux berpotensi menciptakan praktik monopoli dan bertentangan dengan demokratisasi penyiaran.

Pada konsep itu, frekuensi siaran dan infrastruktur akan dikuasai oleh operator tunggal, yakni Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI). Penetapan itu berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran.

Terkait polemik itu, pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing menuturkan untuk menjamin kebebasan berpendapat sejatinya negara memberikan otonomi pada lembaga penyiaran. Otonomi itu termasuk frekuensi dan infrastruktur yang masuk dalam proses produksi program acara.

Lebih lanjut ia menuturkan, pandangan bahwa pengelolaan frekuensi dan infrastruktur secara sentralistik atau tunggal membuat lembaga penyiaran termarjinalisasi. Skema itu tentu berpotensi menimbulkan praktik monopoli yang mendorong terciptanya persaingan usaha kurang sehat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya