Liputan6.com, Jakarta - Senjata tanpa amunisi tak ubahnya replika. Dia hanya sebagai pemanis meja etalase, tapi tak bisa mematikan musuh. Impor 280 senjata Arsenal Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) kaliber 40x46 mm yang ditunggu-tunggu Brimob Polri, belum jelas nasibnya hingga kini.
Pengadaan 5.392 butir amunisi yang melengkapi senjata itu masih berada di Badan Intelijen Strategis (BAIS TNI), setelah tertahan di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Benten, awal Oktober lalu.
Bahkan, ribuan amunisi itu kabarnya sudah diboyong ke gudang senjata TNI, Jakarta, Senin 9 Oktober malam. Peluru tersebut akan tetap berada di tangan BAIS, selama belum ada aturan yang mengatur hal tersebut.
Advertisement
"Standar non-militer sudah jelas di Inpres Nomor 9. Bahwa amunisi standar militer 5,56 mm dan non-militer di bawah itu. Jadi kita menerapkan aturan saja," kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Wuryanto di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa, 10 Oktober 2017.
Lantas sampai kapan amunisi SAGL itu akan berada di tangan TNI? Belum dapat dipastikan."Untuk sampai kapan, nanti ada aturan tersendiri yang mengatur itu," ujar Wuryanto.
Inpres Nomor 9 Tahun 1976 sendiri mengatur tentang Peningkatan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api. Aturan ini ditandatangani Presiden Soeharto.
TNI berdalih, penahanan amunisi hanya menjalankan aturan Inpres Nomor 9/1976, dan sesuai kesepakatan rapat dengan Menko Polhukam Wiranto. Sedangkan senjata SAGL tak ikut ditahan.
"Semuanya kemarin saat rapat koordinasi dipimpin Menko Polhukam yang dititipkan di Mabes TNI itu hanya amunisi tajam," pungkas Wuryanto.
TNI menganggap amunisi senjata SAGL yang dibeli Brimob Polri ini mematikan. Selain radius, amunisi ini memiliki ledakan yang mengeluarkan pecahan logam. Efeknya, bisa membuat luka bahkan mematikan.
"Mempunyai radius mematikan sembilan meter dan dengan jarak capai 400 meter. Keistimewaan amunisi ini adalah yang pertama setelah meledak pertama, meledak kedua, dan menimbulkan pecahan-pecahan berupa logam-logam kecil yang melukai dan mematikan," papar Wuryanto. Aturan Baru
Penahanan ribuan amunisi bukan berarti pembelian senjata SAGL sia-sia. Amunisi ini bisa saja digunakan, asal ada aturan baru yang menaungi soal pengadaan senjata. Aturan itu harus berbentuk Peraturan Presiden atau Perpres.
"Pasti. Kita upayakan (aturan) yang bisa memayungi semuanya adalah Perpres," ucap Wuryanto.
Kendati, Wuryanto membantah pengadaan senjata Polri tak sesuai aturan. Masalah ini sejatinya hanya berapangkal dari aturan yang tumpang tindih.
"Semuanya berdasarkan peraturan yang berlaku. Saya yakin polisi juga gunakan peraturan yang berlaku. Tapi ada perbedaan-perbedaan, itulah yang tidak bisa dilaksanakan," tegas Wuryanto.
Terkait tumpang tindihnya aturan pengadaan senjata, Menko Polhukam Wiranto pun mengakui.Menurut dia ada perbedaan pendapat di kalangan institusi pengguna senjata api. Pemerintah pun mengambil langkah agar hal serupa tidak terulang.
"Akan segera dilakukan pengkajian dan penataan ulang," kata Wiranto usai membahas polemik pengadaan senjata bersama Panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN, Dirut PT Pindad, Kepala BNPT, dan Kepala BNN, Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat 6 Oktober 2017.
Wiranto menyebutkan, Indonesia memiliki beberapa aturan pengadaan senjata api sejak 1948 hingga 2017. Setidaknya ada empat undang-undang, satu Perppu, satu Inpres, empat peraturan setingkat menteri, dan satu surat keputusan.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Â
Dititipkan
Menanggapi soal penahanan amunisi senjata SAGL, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto tidak banyak bicara. Ia enggan mengomentari perihal tersebut.
"Saya enggak mau komentari kalau soal senjata," singkat Setyo jelang Apel Kasatwil di Akademi Kepolisian, Semarang, Jawa Tengah, Selasa, 10 Oktober 2017.
Namun, sebelumnya, Setyo menyebutkan ada tiga jenis amunisi senjata SAGL milik Brimob. Antara lain asap, gas air mata, dan tajam. Namun, amunisi tajam di sini berbeda dari makna peluru tajam umumnya.
Menurut Setyo, amunisi tajam SAGL hanya berfungsi untuk melumpuhkan sasaran, bukan mematikan. Material yang terkandung pada amunisi tajam SAGL juga berbeda.
"Tajam tadi hanya mengejutkan dengan butiran kecil, tidak untuk mematikan, tapi melumpuhkan. Sekali lagi melumpuhkan itu perlu dipahami," ujar Setyo di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat, 6 Oktober 2017.
Setyo menjelaskan, material yang terkandung dalam amunisi tajam adalah butiran logam kecil. Amunisi itu juga bisa disebut sebagai peluru tabur, berfungsi memberi efek kejut pada sasaran.
"Ini fungsinya untuk mengejutkan, ini kan beda. Jadi, kalau ada orang di belakang tembok kemudian dia ditembak dengan granat itu, dia akan terkejut dan keluar, kemudian lakukan penangkapan. Itu yang dimaksud dengan pengejut," papar dia.
Kendati, Setyo memastikan, polemik senjata milik korps Brimob Polri sudah jelas. Hasil rapat koordinasi di Kemenko Polhukam menegaskan, TNI segera membuat rekomendasi agar senjata yang masih tertahan di Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta itu dikeluarkan. Tapi dengan catatan, amunisi tajam dititipkan di Mabes TNI.
"Itu sudah selesai. Kita titipkan (amunisi tajam) di TNI, apabila diperlukan bisa diambil," Setyo menandaskan.
Â
Advertisement
Tidak Mematikan
Sementara, Kepala Korps Brimob Irjen Pol Murad Ismail sebelumnya mengatakan, bagi pihak yang belum mengetahui senjata SAGL memang terkesan seram.
Padahal, kata Murad, peluru SAGL berbentuk bulat dan banyak jenisnya. Di antaranya peluru karet, peluru hampa, peluru gas air mata, peluru asap.
"Dan ada juga peluru yang menimbulkan ledakan, tapi tabur," kata dia, di Mabes Polri, Jakarta, Sabtu, 30 September 2017.
Senjata ini, menurut Murad, pernah digunakan pada 1998 tapi modelnya berbeda. Sebab senjata ini memang mempunyai generasi yang bisa diperbarui.
Murad pun membantah jika senjata ini dapat menghancurkan sesuatu seperti tembok ataupun anti-tank. Senjata SAGL digunakan di daerah operasi untuk senjata kejut.
"Ini bukan buat anti-tank atau apa. Ini digunakan juga untuk di daerah operasi," jelas dia.
Murad pun membenarkan Polri bukan pertama kali mengimpor senjata SAGL. Pada 2015 dan 2016 Polri pernah membeli senjata ini, dan melalui pemeriksaan BAIS TNI.
"Jadi kita masukkan dulu, nanti dicek sama BAIS, sesuai enggak apa yang kita masukin dengan manifes. Baru bisa rekomendasi BAIS keluar. Dan ini saya yang tanda tangan ditunjukan ke BAIS," Murad menandaskan.