Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan penghayat kepercayaan dapat memasukkan kepercayaannya di kolom Kartu Keluarga (KK) dan e-KTP. Putusan tersebut membuat Kemendagri harus memperbaiki sistem administrasi kependudukan.
Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, butuh waktu satu bulan untuk memperbaiki sistem kependudukan baik Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dan sosialisasinya.
"Saya perlu waktu, kira-kira satu bulan untuk pembenahan aplikasi SIAK dan sosialisasi ke Dukcapil se-Indonesia dan menyiapkan form-formnya," ucap Zudan ketika dikonfirmasi, Rabu (8/11/2017).
Advertisement
Dia menuturkan, konsep dengan adanya penghayat kepercayaan masih dikoordinasikan. "Sedang dikoordinasi dengan Kementerian Agama dan Mendikbud," jelas Zudan.
Meski demikian, dia menuturkan, Kemendagri akan sejalan dengan Pasal 61 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang UU Adminduk.
"Nanti lihat UU-nya," tandas Zudan.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Putusan MK
Mahkamah Konstitusi (MK) menerima uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Permohonan itu diajukan oleh Nggay Mehang Tana dan kawan-kawan agar penghayat kepercayaan dapat memasukkan kepercayaannya di kolom Kartu Keluarga (KK) dan e-KTP pada 28 September 2016.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2017).
Dalam putusannya, Arief menyebut kata agama pada Pasal 61 dan 64 ayat 1 UU Administrasi bertentangan dengan alenia keempat pembukaan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk kepercayaan.
Pasal 61 ayat 1 menyebutkan bahwa KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama pengakuan kepala keluarga dan anggota keluarga NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, status perlawanan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, dan nama orangtua.
Adapun untuk Pasal 61 ayat 2 itu menyatakan keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
"Itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat," ujar Arief.
Advertisement