HEADLINE: Setya Novanto Tersangka Lagi, Apa Amunisi Baru KPK?

KPK tetapkan kembali Setya Novanto sebagai tersangka kasus e-KTP. Ini adalah kali keduanya, yang pertama dianulir praperadilan.

oleh Luqman RimadiTaufiqurrohmanRezki Apriliya Iskandar diperbarui 11 Nov 2017, 00:15 WIB
Diterbitkan 11 Nov 2017, 00:15 WIB
Akhirnya, Setya Novanto Hadiri Persidangan Kasus e-KTP
Ketua DPR Setya Novanto saat menghadiri sidang kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (3/11). Setnov bersaksi untuk terdakwa pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Mulai Jumat 10 November 2017, Setya Novanto kembali berstatus tersangka. Itu adalah kali keduanya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperkarakan Ketua DPR RI tersebut dalam kasus megakorupsi e-KTP.

KPK sebelumnya telah menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama Setya Novanto pada 31 Oktober 2017. 

"SN selaku anggota DPR RI periode 2009-2014, bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjo, Andi Agustinus, Irman, dan Sugiharto, diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi," ucap Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di Gedung KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (10/11/2017). 

Setya Novanto diduga ikut mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun, dari nilai proyek e-KTP yang jumlahnya Rp 5,9 triliun.

Sebelumnya, upaya pertama KPK untuk menetapkan Novanto sebagai tersangka, dianulir hakim tunggal Cepi Iskandar, dalam sidang praperadilan pada 29 September 2017.

Saat itu, hakim memutuskan, KPK tidak bisa menggunakan bukti-bukti terkait tersangka sebelumnya untuk menjerat Novanto. 

Alasannya, karena penetapan tersangka tidak didasarkan pada prosedur dan tata cara ketentuan perundang-undangan tentang KPK, KUHAP, serta standar operasional dan prosedur KPK. 

Kali ini, apa yang membuat KPK yakin Setya Novanto tak akan lolos dari jerat hukum? 

KPK mengaku punya amunisi. Strategi baru pun dilakukan, dengan cara mengulang proses penyelidikan terhadap Setya Novanto. 

"Ada bukti-bukti baru yang juga kita dapatkan, sehingga syarat bukti permulaan yang cukup itu sudah terpenuhi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (10/11/2017). 

KPK meyakini, kali ini tidak akan ada celah bagi Setya Novanto. Lembaga antirasuah itu juga telah mempelajari putusan praperadilan Hakim Cepi yang memenangkan kubu politisi Golkar tersebut.

Penyidik KPK, lanjut dia, sudah memeriksa beberapa saksi. Saksi-saksi tersebut dari unsur anggota DPR, kementerian, dan pihak swasta.

"Nanti kami sampaikan lebih lanjut update-nya secara lebih rinci. Saat ini kami masih membutuhkan beberapa kegiatan dalam proses penyidikan, sehingga kita belum bisa bicara hal-hal yang sifatnya teknis," kata Febri.

Penahanan Paksa

Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai, ditetapkannya kembali Setya Novanto sebagai tersangka adalah langkah tepat, sekaligus pertaruhan bagi KPK.

Menurut dia, KPK harus bergerak cepat. "Seharusnya begitu ditetapkan (tersangka) langsung dilakukan upaya paksa penahanan, agar tidak ada manuver-manuver lain lagi," ucap Fickar kepada Liputan6.com. 

Dia menambahkan, penetapan Novanto sebagai tersangka adalah konsekuensi dari dugaan korupsi e-KTP yang diduga dilakukan secara berjamaah.

"Dakwaan korupsinya penyertaan sehingga logika hukumnya setiap nama yang disebut sebagai penyerta akan menjadi tersangka, hanya berbeda peran saja," ujar Fickar.

Dia menambahkan, untuk memanggil paksa Setya Novanto, bahkan menahannya, itu bisa langsung dilakukan KPK tanpa harus meminta izin atau persetujuan dulu ke Presiden Joko Widodo.

Fickar menilai, dalih kuasa hukum Novanto yang berpegangan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), untuk mangkir dari panggilan kedua KPK, sangat keliru.

"Karena untuk tindak pidana khusus seperti korupsi, narkoba, terorisme tidak membutuhkan izin presiden. Dasarnya UU MD3," kata dia.

"Ini kan perkara korupsi biasa yang penyelidikannya sudah sejak tahun 2012, hanya saja status pelaku dan besarnya kerugian negaranya sangat besar Rp 2,5 triliun, yang jika dibagikan kepada 1.000 orang, masing-masing orang akan mendapatkan Rp 2,5 miliar," ucap Fickar.

KPK juga tak boleh mengulang kesalahan yang membuatnya kalah di praperadilan. 

"Soal praperadilan, itu hak hukum yang tidak bisa dihalangi, karena itu KPK harus gerak cepat begitu akan praperadilan, perkaranya segera dilimpahkan ke pengadilan. Dengan perkara masuk ke pengadilan, maka praperadilan gugur dengan sendirinya," tutur Fickar.

Belum ada komentar Setya Novanto soal penetapannya kembali jadi tersangka. Sebelum status barunya itu diumumkan, ia hadir dalam acara peringatan hari jadi ke-60 Kosgoro 1957 di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. 

Setelah itu, ia bergegas kembali ke rumahnya. Kondisi Setya Novanto diketahui lewat keterangan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham yang mengunjunginya di rumah. "Sehat seperti biasa," kata dia.

Sebelumnya, Setya Novanto dilarikan ke RS Premier Jatinegara bertepatan dengan jadwalnya diperiksa KPK sebagai tersangka kasus e-KTP.

Perlawanan pria 61 tahun itu diwakili para pengacaranya. Pada Jumat malam, tim pengacaranya melaporkan dua pimpinan dan dua penyidik KPK ke Bareskrim Polri,

Pengacara Novanto, Fredrich Yunadi menunjukkan laporan bernomor LP/1192/XI/2017/. "Di sini yang kami laporkan ada Agus Rahardjo, Aris Budiman, Saut Situmorang, dan A Damanik," kata dia.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Jangan Sampai Bikin Gaduh

Jumat malam bukan momentum pertama bagi pihak Setya Novanto memperkarakan KPK ke polisi. 

Pada 9 Oktober 2017, mereka melaporkan dua pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Saut Situmorang atas dugaan tindak pidana pemalsuan surat. 

Perkembangan terkait laporan Novanto, banyak orang menilai, KPK dan Polri seolah kembali dihadapkan. Sampai-sampai Presiden Joko Widodo merasa harus mengeluarkan pernyataan. Jokowi minta, KPK dan Polri tak gaduh.

"Hubungan antara KPK dan Polri baik-baik saja, tapi saya minta agar tidak ada kegaduhan," kata Jokowi di Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (10/11/2017).

Jokowi minta agar penyelidikan dugaan dokumen palsu dengan terlapor Ketua KPK Agus Rahardjo dan Saut Situmorang berdasarkan proses hukum yang benar. Jika tak ada bukti, lebih baik dihentikan. 

"Saya sudah minta untuk dihentikan apabila ada hal seperti itu (tak ada bukti dan fakta)," tandas Jokowi. Kapolri Jenderal Tito Karnavian juga berharap, hubungan KPK dan Polri berjalan baik. 

Sementara, kepada Liputan6.com, mantan Pimpinan KPK Haryono Umar berharap, tak ada lagi gesekan antara Polri dan KPK akibat adanya pelaporan terkait kasus tertentu. 

Ia berpendapat, sebagai kepala negara, Presiden dianggap sebagai pihak yang mampu menyelesaikan persoalan tersebut.

"Mesti dibuat aturan yang melibatkan Presiden. Jadi kalau ada gesekan seperti ini, Presiden bisa mengatur tanpa ada anggapan itu adalah tindakan intervensi," kata dia.

Haryono pun meminta kepada semua pihak tidak membenturkan KPK dan Polri. Sebab, yang diuntungkan adalah para koruptor, sementara rakyat banyak bakal merugi.

"Yang dirugikan adalah negara dan rakyat masyarakat. Yang senang koruptor. Jika itu terjadi, uang rakyat tidak bisa dikembalikan," kata Haryono Umar. 

Nama baik Indonesia pun dipertaruhkan. "Kita bisa dianggap sebagai negara korup, kita akan jadi pasar terus, dan kita lemah. Di luar sana banyak yang menginginkan Indonesia lemah dan hancur," ucap dia.

Hubungan KPK dan Polri sempat diwarnai gelombang. Pada era KPK 2007-2009, pimpinan KPK Bibit R Samad menjadi tersangka karena menerbitkan surat cekal untuk Joko S. Tjandra, bos PT Era Giat Prima yang buron.

Pimpinan KPK lainnya, Chandra Hamzah juga menjadi tersangka karena menerbitkan surat permohonan cekal tertanggal 22 Agustus 2008 untuk bos PT Masaro Anggoro Widjojo. karena Kasus tersebut muncullah istilah 'Cicak versus Buaya'.

Periode setelahnya, pimpinan KPK  Bambang Widjojanto juga ditetapkan menjadi tersangka. Dia ditangkap paksa saat sedang menjalani aktivitasnya. Bambang dituding menghadirkan saksi palsu di depan sidang pengadilan Mahkamah Konstitusi pada 2010.

Sementara Ketua KPK Abraham Samad pada 9 Februari 2015 ditetapkan polisi sebagai tersangka pemalsuan kartu keluarga dan paspor milik Feriyani Lim.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya