Liputan6.com, Jakarta - Kisah mengharukan terjadi dalam keluarga Muhammad Izhak. Pemuda berusia 22 tahun itu rela meninggalkan bangku kuliah di universitas ternama demi mengasuh sembilan adiknya.
Kondisi itu bermula saat sang ibu, Samiah, terbaring sakit. Izhak yang belajar di ITB memutuskan pulang ke Dusun Tojangan, Desa Pasiang, Kecamatan Matakali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, untuk merawat orangtuanya. Namun, Tuhan mentakdirkan lain. Ibundanya meninggal pada 13 Februari 2017 karena penyakit tumor yang dideritanya.
Ujian terus berlanjut. Sang ayah, Ilyas, ayah Izhak, berpulang pada 22 November 2017. Sang ayah meninggal karena penyakit tuberkolosis.
Advertisement
Izhak, yang merupakan anak tertua, berpikir ulang untuk kembali menempuh pendidikan sarjana. Dia lantas memutuskan untuk tetap berada di tengah keluarga guna mengasuh sembilan adik-adiknya.
Di balik kesulitannya, Izhak tidak pernah mengeluh. Dia tetap semangat melakukan kegiatan untuk memenuhi kehidupan adik-adiknya.
Berikut ini tiga fakta mengharukan di balik sosok Muhammad Izhak, mantan mahasiswa ITB yang mengasuh adik-adiknya:
1. Tinggalkan ITB demi Urus Adik
Izhak menerima beasiswa Bidikmisi pada 2013 di Institut Teknologi Bandung (ITB). Mimpinya menjadi sarjana harus kandas. Dia berhenti kuliah dari jurusan Teknik Kimia untuk mengurus adik-adiknya.
Bangku kuliah itu hanya dinikmatinya selama empat semester. "Saya mundur hampir dua tahun lalu, pada 2016," dia menjelaskan.
Sepeninggal ayahnya, tak ada lagi yang menafkahi 10 anak ini. Adik bungsu Izhak, Muhammad Khaerul, baru berusia 19 bulan.
Dia menuturkan, saat ini sejumlah bantuan dari pemerintah tetap diterimanya. Bantuan itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
"Saya tetap terima bantuan dari pemerintah. Ada program keluarga harapan (PHK). Adik-adik saya sekolah juga terima dari program peÂmerintah Kartu Indonesia Pintar (KIP)," ujar dia.
Advertisement
2. Putra Sulung dari 10 Bersaudara
Izhak merupakan sulung dari 10 bersaudara. Dia pun berperan sebagai ayah sekaligus ibu bagi adik-adiknya yang membutuhkan perhatian.
Setiap pagi, Izhak sudah sibuk mempersiapkan kebutuhan seluruh adik-adiknya yang hendak pergi ke sekolah. Mulai dari memandikan mereka sampai menyiapkan sarapan.
"Adiknya itu ada yang masih kelas 2 SMP, kelas 1 SMP, kelas 6 SD, bahkan ada yang masih TK. Dan yang paling kecil itu masih usia 19 bulan, saya tidak hapal semua. Yang jelas pagi-pagi dia urus semua adiknya sebelum berangkat sekolah, termasuk urus makannya mereka," kata April Myathi, salah seorang anggota Gerakan Peduli Sosial Polewali Mandar kepada Liputan6.com, Jumat 15 Desember 2017.
Rumahnya saja, ujar April, sudah lapuk dan nyaris tidak layak untuk dihuni. Kehidupan yang dijalani oleh mantan mahasiswa Jurusan Teknik Kimia di ITB itu benar-benar perlu diperhatikan.
3. Hidup dari Gula Aren
Untuk mencukupi kebutuhan adik-adiknya, Izhak sehari-hari mengandalkan usahanya. Dia membuat gula aren yang kemudian menjualnya ke pasar. Selain itu, dia juga sibuk merawat dua ekor sapi peninggalan ayahnya.
"Per empat hari dia bisa bikin 20 sampai 30 bungkus gula merah (gula aren), per bungkusnya itu dijual Rp 6 ribu. Ada juga sapi dia rawat peninggalan dari bapaknya," ujar April Myathi, salah seorang anggota Gerakan Peduli Sosial Polewali Mandar kepada Liputan6.com, Jumat, 15 Desember 2017.
Sang adik kedua, Aslan, setia membantu Izhak untuk membuat gula aren tersebut. Aslan (19) ikut menyokong kegiatan sang kakak mulai dari mencari dan mengolah nira enau hingga menjadi gula aren.
"Aslan putus sekolah semenjak kelas IV SD. Sekarang usianya 18-19 tahun. Penghasilan dari gula merah itu cukup," ujar Izhak.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement