Liputan6.com, Jakarta - Gempa berkekuatan 6,1 skala Richter menggoyang Jakarta dan sekitarnya, Selasa kemarin. Gempa tersebut berpusat di Banten. Menurut Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Moch Riyadi, gempa Banten tersebut terjadi pada pukul 13.34 WIB. Gempa tektonik itu terjadi di Samudra Hindia selatan Jawa.
Tak hanya warga Banten, gempa tersebut juga membuat karyawan yang berada di gedung tinggi di Jakarta panik dan berhamburan keluar gedung. Tak jauh beda dengan gempa lainnya yang kerap dirasakan warga Ibu Kota, sumber lindu tersebut umumnya terjadi di wilayah lain.
Baca Juga
"Jabodetabek termasuk daerah rawan gempa yang sumbernya bukan di wilayah itu, tetapi dari daerah sekitarnya," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho.
Advertisement
Untuk itulah, dia menambahkan, bangunan-bangunan tinggi harus dibangun dengan konstruksi tahan gempa. "Bukan hanya bangunan yang perlu disiapkan, tetapi manusianya juga harus disiapkan agar siap menghadapi gempa yang dapat terjadi kapan saja."
Peringatan Sutopo punya dasar yang kuat. Wilayah Indonesia berada di lingkaran "cincin api Pasifik" atau "Pacific Ring of Fire" dan daerah kedua yang paling aktif di dunia -- sabuk Alpide.
Terjepit di antara dua wilayah kegempaan berarti, Tanah Air menjadi lokasi sejumlah letusan gunung berapi dan gempa terdahsyat yang pernah terjadi di muka Bumi. Jakarta pun tak steril dari bencana.
Encyclopedia of World Geography mencatat, Jakarta, seperti halnya mayoritas kota besar di Indonesia, dibangun di atas tanah relatif tak stabil. Meski jauh dari pusat gempa, kota seperti itu rentan guncangan. Tanah yang tak stabil itu membuat rambatan gempa jadi lebih hebat.
Sejumlah catatan sejarah menyebut, Jakarta pada masa lalu pernah "rata dengan tanah" akibat bencana. Berikut tiga gempa dahsyat yang pernah mengguncang Ibu Kota.
Gempa 1669
Pada 5 Januari 1699, Batavia yang tak lain cikal bakal Jakarta, diguncang gempa hebat.
"Lindu berlangsung sangat kencang dan kuat, tak pernah hal seperti itu terjadi sebelumnya. Guncangan berlangsung selama tiga perempat jam," seperti dikutip dari makalah Indonesia’s Historical Earthquakes dari Geoscience Australia.
Gempa tersebut merenggut setidaknya 28 nyawa manusia. Sebanyak 21 rumah dan 29 lumbung hancur.
Saat itu, Gunung Salak yang terletak di antara Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi meletus. Dari puncaknya setinggi dua ribu meter, gunung itu menyemburkan abu dan batu. Ribuan kubik lumpur muncrat. Puluhan ribu pohon tumbang, menyumbat aliran Sungai Ciliwung, membekap kali dan tanggul di Batavia.
Banjir lumpur tak terelakkan. Oud Batavia mendadak menjadi rawa.
Bencana itu dicatat Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java. "Gempa 1699 memuntahkan lumpur dari perut bumi. Lumpur itu menutup aliran sungai, menyebabkan kondisi lingkungan yang tak sehat kian parah."
Makalah Historical Evidence for Major Tsunamis in the Java Subduction Zone dari Asia Research Institute juga menggambarkan kejadian gempa itu. Pada 5 Januari 1699, Batavia mengalami gempa yang tak pernah terjadi sebelumnya, yang tak pernah dibayangkan.
Kala itu, sejumlah guncangan terjadi selama tiga perempat jam hingga satu jam dan juga beberapa hari sesudahnya. Dilaporkan 28 orang tewas, 49 gedung batu nan kokoh hancur, hampir semua rumah mengalami kerusakan.
Apa penyebab terjadinya gempa tak diketahui pasti. Diduga, pusat gempa saat itu ada di selatan Batavia, gempa seismik.
Akan tetapi, beberapa orang menghubung-hubungkannya dengan letusan Gunung Salak. Hingga saat ini apa penyebab pasti gempa kala itu masih jadi misteri.
Advertisement
Gempa 1834
Malam itu, 10 Oktober 1834, tanah beberapa kali bergetar di wilayah Batavia (Jakarta), Banten, Karawang, Buitenzorg (Bogor), dan Priangan.
Pagi harinya, giliran guncangan dahsyat terjadi. Saking kuatnya, getaran bahkan dirasakan hingga Tegal, Jawa Tengah dan Lampung di Sumatera.
Gempa tersebut merusak sejumlah rumah dan bangunan kokoh berdinding batu, termasuk sebuah istana di Weltevreden. Paleis van Daendels/Het Groot Huis, nama bangunan itu, kini menjadi Gedung Kementerian Keuangan RI.
Sejumlah gudang dan rumah juga rata dengan tanah, pun dengan bangunan berdinding batu di Cilangkap yang rusak sebagian.
"Guncangan tersebut diyakini sebagai gempa paling parah yang menimpa wilayah tersebut. Kepanikan meluas di Batavia, namun tak ada korban yang dilaporkan jatuh," seperti dikutip dari makalah Indonesia’s Historical Earthquakes dari Geoscience Australia.
Sementara itu, di Bogor, sebagian besar Buitenzorg Palace atau Istana Bogor runtuh. "Termasuk bagian utara bangunan utama. Pun dengan tembok luar sayap timur."
Gempa 2009
Gempa dengan kekuatan 7,3 skala Richter mengguncang Tasikmalaya pada Rabu, 2 September 2009 pukul 14.55 WIB.
Gempa tektonik tersebut terjadi akibat tumbukan lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia. Lindu memicu kerusakan di sekitar episentrum.
Salah satu daerah terdampak paling parah adalah Kabupaten Cianjur, di mana tanah longsor yang dipicu gempa menewaskan 40 orang.
Tak hanya di Jawa Barat, gedung-gedung tinggi di Jakarta --yang berjarak 200 km dari pusat lindu-- pun bergoyang hebat karenanya.
Ribuan orang di Ibu Kota berlarian keluar dari gedung-gedung tinggi juga pusat perbelanjaan.
"Saat itu, saya menuju ke ruang rapat. Saya langsung berlindung di bawah meja. Guncangan terjadi sekitar semenit. Sungguh menakutkan," kata Jonathan yang kala itu berada di lantai 28 sebuah gedung, seperti dikutip dari BBC.
"Rasanya seperti berada di dalam perahu di tengah air yang bergolak. Gedung bergoyang. Pintu-pintu terbuka dan tertutup, buku-buku berjatuhan dari rak," imbuh dia.
Setidaknya, 27 orang di Jakarta cedera akibat guncangan gempa itu.
Total, gempa mengakibatkan 80 orang meninggal dunia, 47 lainnya hilang, sementara 1.250 warga luka-luka.
Â
Advertisement