Liputan6.com, Jakarta - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putri Sandjojo mengungkapkan, berdasarkan data penyedia jasa auditor PricewaterhouseCoopers (PwC) potensi Indonesia merangkak naik dalam peringkat ekonomi dunia.
"Kalau kita bisa mempertahankan stabilitas politik, kita bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi," ujar Menteri Eko dalam keterangan tertulis, Jakarta, Kamis (26/4/2018).
Dilansir dari situs resmi PwC, John Hawksworth, Chief Economist PwC mengatakan Indonesia akan berada di peringkat 5 pada 2030 dengan estimasi nilai GDP US$ 5.424 miliar.
Advertisement
“Indonesia juga berpotensi naik menjadi peringkat 4 pada 2050 dengan estimasi nilai GDP US$ 10.502 miliar berdasarkan nilai GDP dengan metode perhitungan urchasing Power Parity (PPP),” ujar ujar Eko .
Lebih lanjut, Mendes Eko mengatakan, posisi itu akan menjadikan Indonesia dengan perekonomian big emerging market, dengan perekonomian terkuat di Asia Tenggara. Karena itu, dia meyakini pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen, dengan tingkat inflasi 3,5 persen pada tahun ini oleh pemerintah akan terwujud.
"Belanja negara juga dianggarkan sebesar Rp 2.204,4 triliun, dengan defisit mencapai Rp 325,9 triliun, total subsidi yang dianggarkan juga semakin meningkat menjadi Rp 172,4 triliun," beber Eko.
Namun begitu, Eko tak menampik masih ada sejumlah kendala untuk menaikkan potensi ekonomi Nasional, yakni potensi perekonomian di tingkat yang masih belum focus dan terpetakan.
"Sekarang desa harus memetakan fokusnya apa. Dan nanti akan dicarikan pihak swasta untuk pengembangannya. Solusinya seperti itu. Karena dari sekian banyak dana desa yang disalurkan pemerintah selama ini, hanya mampu terserap 30 persen terserap pada sektor lapangan kerja," katanya.
Terkait perputaran perekonomian desa juga masih berkutat dengan tengkulak yang lebih memanfaatkan peluang potensi ekonomi di desa. "Kalau masalah ini tidak segera dipetakan dan diselesaikan, yakinlah tengkulak akan meraja lela dan hasil panen petani akan diambil dengan harga murah," sesal Eko.
Masalah lain yang dialami masyarakat dampak dari kondisi tersebut yakni risiko kerugian yang besar sehingga perbankan dan swasta memilih untuk tidak menyalurkan bantuan kreditnya.
"Kalau pola seperti ini yang dipertahankan maka masyarakat dan desa tidak punya skala ekonomi yang besar. Akibatnya masyarakat kesulitan untuk memasarkan produknya," ujar Eko.