Mahyudin: Pendidikan dan Kemiskinan Bagai Saudara Kandung

Mahyudin: Rendahnya kualitas pendidikan dan kemiskinan masih menjadi masalah bangsa Indonesia.

oleh Cahyu diperbarui 16 Nov 2018, 10:51 WIB
Diterbitkan 16 Nov 2018, 10:51 WIB
MPR RI
Mahyudin: Rendahnya kualitas pendidikan dan kemiskinan masih menjadi masalah bangsa Indonesia. (foto: dok MPR)

Liputan6.com, Jakarta Pendidikan dan kemiskinan bagai ‘saudara kandung’ yang menjadi masalah bangsa Indonesia. Andai saja, masyarakat Indonesia bisa mengenyam pendidikan dan tak lagi merasakan kemiskinan, tentu tak akan ada lagi rakyat Indonesia yang menjadi pekerja kasar di negara orang dan mendapatkan perlakuan tidak layak. Juga tak akan terdengar lagi ‘kawin kontrak’ atau ‘pengantin pesanan’ karena desakan ekonomi.

“Soal-soal seperti ini memang sangat mengkhawatirkan kita semua. Maka dari itu saya pribadi dan sebagai Pimpinan MPR juga sebagai Wakil Rakyat sangat mendukung berbagai upaya, antara lain karya-karya tulis yang mengangkat masalah yang nyata terjadi di masyarakat seperti kemiskinan dan terbatasnya rakyat menikmati pendidikan yang berkualitas,” ujar Wakil Ketua MPR RI Mahyudin, dalam diskusi ‘Bicara Buku Bersama Wakil Rakyat’ membahas buku berjudul Pengantin Pesanan karya Mya Ye, di Ruang Presentasi, Perpustakaan Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Gedung Nusantara IV, Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Kamis (15/11/2018).

Ia menjelaskan bahwa apa yang dikatakannya tentang pendidikan dan kemiskinan bagai saudara kandung, merupakan hasil Mahyudin membaca buku Pengantin Pesanan tersebut. Potret buram yang dialami sebagian rakyat Indonesia terpapar baik secara tersurat maupun tersirat di buku tersebut.

“Awalnya saya tidak paham apa yang mau disampaikan dalam buku tersebut. Tetapi, setelah saya membacanya, buku ini ternyata sarat akan pesan moral, sosial, kesetaraan gender dan terutama sekali pergulatan moral yang berawal dari isu kemiskinan yang memang masih terjadi di tengah masyarakat kita. Kisah dalam buku tersebut menceritakan seorang perempuan keturunan, berlatar daerah Singkawang karena kemiskinannya dan berpendidikan minim, tak ada pilihan memperbaiki kehidupan kecuali menjadi pengantin pesanan sebagai satu-satunya jalan keluar dari lingkaran kemiskinan,” ucapnya.

Mahyudin mengatakan bahwa fenomena pengantin pesanan memang bukan budaya daerah tapi realitas yang muncul karena kemiskinan dan kurangnya pendidikan. Fenomena ini juga ada di daerah lain dan di negara-negara berkembang lainnya, sebab masalah kemiskinan dan minimnya pendidikan adalah masalah besar dan sangat dilematis buat negara-negara berkembang.

“Keterkaitan antara pendidikan dan kemiskinan sangatlah besar, sebab pendidikan yang baik akan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan. Pendidikan juga menanamkan kesadaran akan pentingnya martabat manusia dan semua itu penting untuk menggapai masa depan,” kata dia.

Pada intinya, lanjut Mahyudin, rakyat Indonesia harus bersemangat untuk terus melakukan berbagai upaya mencerdaskan bangsa dan terus memperjuangkan keadilan dalam memperoleh pendidikan. Pemerintah harus berada di garda terdepan untuk mewujudkan itu semua.

“Kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat atau di level daerah harus diminimalkan, bahkan harus dihilangkan dengan mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” tandasnya.

 

 

(*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya