Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan, komunikasi politik di era disrupsi membuat siapa pun dapat membangun persepsinya di publik. Namun jika tidak autentik, mereka hanya akan capek karena terus berpura-pura.
Hal itu disampaikan Bamsoet saat menghadiri acara 'Tren 2018: Branding Autentik Tokoh Politik' yang digelar konsultan riset dan analisis data Polaris di SCBD, Jakarta Selatan, Kamis (20/12/2018). Dia kemudian menyontohkan gaya natural Presiden Jokowi yang lebih disukai publik.
"Orang Indonesia suka dengan yang natural. Presiden Jokowi kalau posting foto meresmikan proyek, sedikit yang merespons. Tapi kalau bersama keluarga atau sama anak-anaknya pasti banyak yang suka," ujar Bamsoet.
Advertisement
Bamsoet juga mengalaminya. Setiap kali dirinya memosting kegiatan resmi di akun Instagramnya, respons publik tidak terlalu banyak. "Tapi begitu saya posting soal motor, banyak yang suka," katanya.
Politikus Partai Golkar itu menyatakan, dirinya tidak terlalu suka berpura-pura. Hobinya mengoleksi motor gede dan super car tidak pernah ia tutup-tutupi hanya agar terlihat sederhana di masyarakat.
"Saya sewajarnya saja. Justru dengan saya apa adanya, banyak masyarakat yang mengajak saya berkomunikasi. Dari situlah engagement positif saya tercipta," ucap Bamsoet.
Engagement positif tersebut menjadi modal tersendiri bagi Bamsoet untuk mengelola komunikasi dengan masyarakat yang banyak mengeluhkan kinerja DPR. Setidaknya ada tiga isu yang dikeluhkan masyarakat, yakni masalah korupsi, pengesahan RUU yang hanya sedikit, dan anggota DPR yang malas.
Kepada masyarakat, Bamsoet menjelaskan bahwa tidak semua anggota dewan yang terlihat bolos saat kegiatan DPR berarti mangkir dari tugas. "Biasanya mereka sedang turun ke konsituennya. Bertemu masyarakat untuk menyerap aspirasi. Itu bukan membolos, tapi juga bagian dari tugas mereka seperti diatur undang-undang," ujarnya.
Lebih lanjut, Bamsoet mengakui pola komunikasi para politikus sudah banyak berubah di era disrupsi. Saat ini bahkan peran konsultan politik dalam mengelola percakapan di media sosial tidak terlalu sentral. Sebab, mereka sejatinya bisa mengelolanya sendiri.
"Misalnya seperti yang saya lakukan. Saya bisa melihat apa selera dan kebiasaan orang-orang yang menyukai postingan saya. Dari situ saya bisa membuat kesimpulan-kesimpulan sendiri," tuturnya.
Â
Branding Politikus Berbeda
Di lokasi yang sama, CEO Polaris, Iman Sjafei menuturkan, branding setiap politikus berbeda-beda dan tidak bisa dibuat-buat. Branding juga tidak bisa diperlihatkan secara tiba-tiba, harus melalui proses yang cukup panjang.
"Semisal sebelumnya orang itu bersikap A kemudian tiba-tiba jadi Z, ya ada apa ini," kata Iman.
Dia kemudian menyontohkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang cukup melekat dengan sikap tegasnya dan kerap memarahi anak buahnya yang dianggap tidak sesuai aturan. Menurutnya, orang tetap akan respect karena memang sudah menjadi bawaannya untuk keras dalam hal membenahi pelayanan publik.
"Tapi ketika Zumi Zola (Gubernur Jambi) berusaha meng-copy paste Risma, tiba-tiba marah ke anak buah, ya aneh. Malah jadi citra negatif. Begitu juga Ridwan Kamil yang kerap menyindir jomblo dalam setiap unggahannya. Kalau ada politikus lain yang meniru, bisa aneh, nggak match," tutur Iman.
Â
Saksikan video menarik berikut ini:
Advertisement