3 Bencana Tak Lazim selama 2018 di Tanah Air

Berikut ini, keanehan ketiga bencana tersebut yang dirangkum Liputan6.com, salah satunya tsunami Selat Sunda.

oleh Rita Ayuningtyas diperbarui 26 Des 2018, 05:08 WIB
Diterbitkan 26 Des 2018, 05:08 WIB
Pandangan Udara Wilayah Daratan Lampung Usai Dihantam Tsunami
Pemandangan dari udara wilayah Kota Lampung usai diterjang tsunami, Selasa (25/12). Lampung Selatan menjadi salah satu daerah terdampak Tsunami. (Liputan6.com/Zulfikar Abubakar)

Liputan6.com, Jakarta - Jelang akhir 2018, Tanah Air kembali berduka setelah Banten dan Lampung dihantam bencana tsunami Selat Sunda. Baik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Kemenko Kematiriman serta Badan Geologi Kementerian ESDM, sepakat menyebut bencana itu sebagai fenomena tak lazim.

"Penyebabnya bukan tunggal. Ini sangat tidak lazim dan ahli dari luar pun mengakuinya," ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, kepada Liputan6.com, Jakarta, Selasa (25/12/2018).

Menurut dia, fenomena ini merupakan ujian bagi badan pemantau bencana seperti BMKG, juga untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho menyebutkan, ada tiga bencana alam yang menimbulkan banyak korban jiwa selama 2018 yang dinilai sebagai fenomena langka.

"Ada tiga fenomena langka yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian ekonomi yang besar yaitu gempa beruntun di Nusa Tenggara Barat (Lombok), gempa Sulawesi Tengah disusul tsunami dan likuifaksi yang terbesar di dunia, dan tsunami Selat Sunda yang dipicu longsor bawah laut," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho di Jakarta, Selasa, seperti dilansir Antara.

Berikut ini, keanehan ketiga bencana tersebut yang dirangkum Liputan6.com:

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

1. Gempa, Likuefaksi, dan Tsunami Palu

Pandangan Udara Masjid Terapung Usai Diguncang Gempa dan Tsunami Palu
Warga melintas di depan Masjid Terapung Arqam Bab Al Rahman pasca gempa dan tsunami Palu di Pantai Talise, Sulawesi Tengah. Masjid yang dibangun tahun 2011 awalnya menampung 150 jamaah. (Liputan6.com/Fery Padolo)

Sutopo menyebut, dari tiga bencana tersebut, yang terbesar adalah gempa yang disusul tsunami dan likuefaksi di Sulawesi Tengah yang menyebabkan 2.101 orang meninggal, 1.373 orang hilang dengan kerugian ekonomi mencapai Rp 18,47 triliun.

"Gempa memicu tsunami yang tiba sangat cepat hanya dalam waktu empat menit lalu terjadi likuifaksi yang merupakan peristiwa terbesar di dunia," kata Sutopo.

Kuatnya lindu saat itu, membuat orang-orang berhamburan ke segala arah. Kepanikan kian menjadi-jadi saat sejumlah saksi mengaku melihat air surut dan mencium aroma asin air laut yang menusuk hidung.

Tak lama kemudian, tsunami menerjang. Ombak pertama menyeret sejumlah pedagang yang ada di pantai. Gelombang gergasi kedua menyusul lebih tinggi.

Korban jiwa yang jauh, pohon yang tumbang hingga akar, bangunan ambrol, kapal besar yang melintang di daratan, jalan raya yang terkelupas, dan Jembatan Kuning yang rusak menjadi bukti dahsyatnya tsunami yang menerjang Palu.

BNPB mengonfirmasi, tsunami Palu mencapai hampir 6 meter saat mencapai daratan.

Dampak tsunami Palu tak hanya bikin warga Indonesia shock. Gelombang kejut juga menyebar ke seluruh dunia. Bukan cuma orang awam, ilmuwan pun dibuat penasaran.  

Ahli gempa dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Danny Hilman Natawidjaja juga tak menyangka tsunami sebesar itu menerjang Palu.

"Kaget saya, tidak menyangka ada tsunami," kata dia kepada Liputan6.com, Senin 1 Oktober 2018.

Alumni California Institute of Technology (Caltech) itu mengaku tak mudah untuk menyimpulkan penyebab pasti munculnya gelombang gergasi setinggi hampir 6 meter di pantai Palu.

Apalagi, belum ada penelitian sampai ke bawah laut. "Kita saja tidak punya data soal bawah laut Palu. Saya baru dapat pagi ini," kata Danny.

Data tersebut didapatkan dari kolega asing. "Data-data itu yang punya perusahaan minyak karena mereka kan melakukan eksplorasi, tapi tidak dikasih ke peneliti. Ini saya dapat dari rekanan di luar negeri. Bagaimana coba? Malah orang luar yang kasih ke kita."

Danny menjelaskan, gerakan gempa bermagnitudo 7,4 SR terjadi di Palu dan Donggala dominan mendatar hingga 6 meter. "Tapi ada faktor vertikal sampai kurang lebih 2 meter. Pergerakan itu terjadi karena sesar di bawah laut," tambah dia.

Geografis Palu yang berupa teluk ikut andil membuat kekuatan gelombang berlipat. "Palu itu ada di teluk yang memiliki amplikasi lebih besar."

 

2. Gempa Beruntun di NTB

20151111-Ilustrasi Gempa Bumi
Ilustrasi Gempa Bumi (iStockphoto)

Setelah itu, adalah gempa bumi beruntun yang terjadi di Nusa Tenggara Barat tepatnya di Lombok dan Sumbawa. Bencana tersebut menyebabkan 546 orang meninggal, 1.886 orang luka-luka dan Rp 17,13 triliun.

Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi menjelaskan, rentetan gempa yang terjadi di Lombok karena sumber gempa bumi berasosiasi dengan zona pensesaran naik (Flores back- arc Thrust) yang berarah relatif barat-timur.

Kemudian, pusat gempa bumi berada di darat yang sebagian besar daerah tersebut tersusun oleh batuan sedimen dan batuan metamorf berumur Pra-Tersier hingga Tersier (batuan gunung api berumur Tersier hingga Kuarter, dan aluvium berumur Resen).

Pada daerah yang tersusun oleh batuan yang telah tersesarkan dan terlapukkan serta daerah aluvium, sangat rentan terhadap guncangan gempa bumi karena bersifat urai, lepas, dan belum terkonsolidasi, sehingga akan memperkuat efek getaran gempa.

Sampai saat ini, gempa masih membayangi Lombok, NTB, meski intensitasnya berkurang.

 

3. Tsunami Selat Sunda

Tsunami Anyer
Sebuah rumah terlihat antara puing-puing bangunan setelah tsunami menerjang kawasan Anyer, Banten, Minggu (23/12). Tsunami menerjang pantai di Selat Sunda, khususnya di daerah Pandenglang, Lampung Selatan, dan Serang. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan tsunami di Selat Sunda tak lazim. Oleh karena itu, air surut tak lagi menjadi penanda utama.

"Penyebab tsunami kemarin tidak tunggal. Ada beberapa faktor yang memicunya. Peristiwa ini sangat tidak lazim. Tsunami Sabtu lalu tidak disebabkan karena gempa tektonik, sehingga bukan air surut penandanya," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, kepada Liputan6.com, Jakarta, Selasa (25/12/2018).

Menurut dia, penyebab tsunami lalu adalah longsornya tebing Gunung Anak Krakatau karena tremor akibat aktifitas vulkanik. Longsor ini diperparah dengan curah hujan yang tinggi pada daerah tersebut.

"Itu kan dinding digempur terus menerus ya oleh tremor. Lalu cuaca di sana memang sedang tidak bagus. Saya cek memang cuaca sedang buruk. Semuanya tidak mendukung lah," ujar Dwikorita tentang tsunami Selat Sunda.

BNPB mencatat, hingga pukul 13.00 WIB, Selasa 25 Desember 2018, tercatat 429 orang meninggal dunia, sebanyak 1.485 orang luka-luka, 154 hilang dan 16.082 orang mengungsi akibat bencana tersebut. Sementara kerugian masih dalam pendataan.

"Ketiga bencana ini aneh dan langka terjadi sementara tsunami yang terjadi di Selat Sunda juga fenomena yang langka karena dipicu oleh longsoran bawah laut dan erupsi dari Gunung Anak Krakatau," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo seraya menambahkan longsoran tersebut tidak begitu besar tapi ternyata menimbulkan tsunami.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya