Liputan6.com, Jakarta - Kerusuhan 22 Mei sudah diprediksi. Ditengarai bakal ada yang menunggangi. Itu mengapa, banyak peserta demonstrasi di depan Bawaslu dicegat sebelum sampai Jakarta.
Termasuk, 14 bocah belasan tahun asal Sukabumi, Jawa Barat. Naik truk tronton, kucing-kucingan dengan aparat, dilakukan demi ikut aksi 22 Mei. Nyawa pun siap dikorbankan. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Bahkan, sampai ada yang menulis surat wasiat.
"Diwakafkan Untuk Agama dan Negara," kalimat itu yang tertera di sepucuk surat wasiat yang ditemukan dalam penggeledahan.
Advertisement
Kabar itu bikin Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berang. Diduga kuat ada pihak-pihak yang sengaja memobilisasi anak di bawah umur untuk menjadi peserta aksi menentang pengumuman rekapitulasi KPU yang memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.
"Kami meminta polisi mengungkap secara cepat dan cermat. Negara tidak boleh kalah dengan pelaku eksploitasi anak," kata Ketua KPAI Susanto pekan lalu.
Sesuai prediksi, aksi jauh dari damai. Rusuh bermula lepas pukul 22.00, Selasa 21 Mei 2019. Kala itu, demonstran di depan Bawaslu mulai membubarkan diri. Massa beringas tiba-tiba muncul dan memprovokasi. Mereka merusak kawat berduri. Batu, botol kaca, petasan, hingga molotov dilempar ke aparat.
Bentrok kemudian meluas. Area depan Bawaslu, Jalan Sabang, Tanah Abang, hingga Slipi mencekam. Mobil-mobil yang diparkir di depan asrama Brimob Petamburan dibakar, sejumlah kios dijarah dan tinggal arang, korban luka jatuh, delapan orang kehilangan nyawa -- beberapa di antaranya diduga akibat luka tembak.
Kerusuhan diperparah oleh kabar hoaks yang menyebar di media sosial, dari isu aparat impor asal China hingga informasi-informasi dusta yang menyulut emosi.
Sudah 300 orang dijadikan tersangka terkait kerusuhan. Latar belakangnya beragam, dari preman hingga mantan jenderal. Sejumlah politikus juga diperkarakan atas dugaan menyebar hoaks atau kabar dusta.
Polisi saat ini tengah memburu dalang dan penyandang dana kerusuhan 22 Mei. Siapa identitasnya? Dan, sampai level mana? Masih gelap.
Polisi mendapatkan petunjuk kuat bahwa kerusuhan telah direncanakan. Setidaknya ada tiga kelompok yang diduga menunggangi aksi di depan Bawaslu.
"Kami kembali menemukan bukti-bukti fakta hukum ada pihak ketiga penunggang yang ingin menciptakan martir. Apa yang disampaikan kapolri, menko polhukam, dan saya sendiri pada saat konpers beberapa waktu lalu bahwa massa ini bukan massa spontan. Massa atau peristiwa ini adalah yang di-setting atau by design," kata Kadiv Humas Polri Irjen Mohammad Iqbal di Kantor Kemenkopolhukan, Jakarta, Senin 27 Mei 2019.
Bukti itu didapat dari penangkapan enam tersangka kunci dalam kerusuhan 21 dan 22 Mei lalu.
Enam tersangka kerusuhan 22 Mei itu diduga melakukan jual beli senjata api (senpi) ilegal. Keenam tersangka itu masing-masing berinsial HK alias Iwan, AZ, IR, TJ, AD, dan AF.
"Tersangka AF ini seorang perempuan. Yang tadi lima tersangka laki-laki," ujar Iqbal.
Mereka ditangkap di lokasi berbeda pada Selasa 21 Mei dan Jumat 24 Mei 2019. HK ditangkap di lobi sebuah hotel di kawasan Menteng, Jakarta Pusat pada Selasa 21 Mei. Sementara AZ ditangkap pada hari yang sama di Terminal 1 C Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 13.00 WIB.
Tersangka IR ditangkap di sebuah kantor sekuriti di Kebon Jeruk, Jakarta Barat pada Selasa 21 Mei sekitar pukul 20.00 WIB. Sedangkan tersangka TJ yang merupakan warga Cibinong, Bogor itu ditangkap di Sentul, Bogor pada Jumat 24 Mei sekira pukul 08.00 WIB.
Tersangka AD yang merupakan warga Koja, Jakarta Utara ditangkap di daerah Swasembada, Jakarta Utara pada Jumat 24 Mei pagi. Dan terakhir tersangka AF ditangkap di sebuah bank di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat pada Jumat 24 Mei.
Tokoh Nasional Jadi Target Pembunuhan
Penelusuran polisi melalui keterangan tersangka, kelompok ini akan menggunakan senjata api ilegal tersebut untuk membunuh tokoh nasional.
Iqbal menuturkan, pada 14 Maret 2019, HK menerima uang Rp 150 juta dan TJ mendapat bagian uang Rp 25 juta dari seseorang.
"Seseorang itu sudah kami kantongi identitasnya dan saat ini tim sedang mendalami, di mana tersangka TJ diminta membunuh dua orang tokoh nasional. Saya tidak sebutkan di depan publik. Pihak kami TNI dan Polri sudah paham siapa tokoh nasional tersebut," tutur Iqbal.
Lalu, 12 April 2019, tersangka HK mendapat perintah kembali untuk membunuh dua tokoh nasional lainnya. "Jadi target kelompok ini menghabisi empat nyawa tokoh nasional," lanjut jenderal bintang dua itu.
Iqbal mengungkapkan, para tersangka juga mendapat perintah untuk membunuh seorang pimpinan lembaga survei. Perintah membunuh target ini diperoleh pada April 2019. Tersangka bahkan sudah menyurvei sang target.
"Sekitar April 2019, selain ada perencanaan untuk membunuh target tokoh nasional yang telah ditentukan, terdapat perintah lain melalui HK untuk membunuh seorang pimpinan satu lembaga swasta. Lembaga survei. Dan tersangka tersebut sudah beberapa kali menyurvei rumah tokoh tersebut, diperintahkan untuk mengeksekusi dan tersangka IR sudah dapat uang sebesar Rp 5 juta," ungkap Iqbal.
Menurut Iqbal, 21 Mei 2019, HK membawa satu pucuk senpi Revolver Taurus cal 38 dan timnya ikut aksi bersama massa. Senpi ini merupakan senjata rakitan yang diperoleh dari Cipacing, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Sementara, satu senjata yang didapat dari tersangka perempuan (AF), diduga senjata organik yang ilegal.
"Ini coba dilihat, ada teleskopnya. Jadi diduga kuat memang ingin menghabisi dari jarak jauh. Walau rakitan, ini efeknya luar biasa. Bayangkan kalau misalnya kami tidak bergerak cepat," kata Iqbal.
Kelompok ini juga memiliki rompi antipeluru bertuliskan 'Polisi'. "Ini kami dapat dari tersangka. Ini untuk apa? Kami sedang dalami apakah ada kaitannya dengan kelompok ini yang mencoba meminjam profesi kami dan melakukan kekerasan di lapangan," ucap Iqbal.
Sebelumnya, polisi membekuk 11 tersangka kerusuhan Jakarta pada aksi 21-22 Mei yang ditangkap pada Kamis 23 Mei dini hari di Kampung Bali, Jakarta. Mereka tergabung dalam satu kelompok yang di antaranya beranggotakan A alias Andri Bibir.
Kesebelas tersangka itu memiliki peran berbeda-beda saat kericuhan berlangsung.
"Andri Bibir bertugas mengumpulkan batu dan membawa dua jerigen air yang fungsinya mencuci mata pelaku apabila mereka terkena gas air mata," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Polisi Dedi Prasetyo saat jumpa pers di Jakarta, Sabtu 25 Mei 2019 lalu.
Arya, Asep, Masuki, Robiansyah, Syahfudin, dan Markus bertugas sebagai pelempar batu. Mereka juga melempar bambu, pipa paralon, botol minumam keras, dan molotov yang dibuat dari botol kaca.
Dedi menambahkan, tersangka Andi bertugas menyiramkan air ke pelaku serta memberi mereka minuman saat kerusuhan Jakarta berlangsung.
Kelompok terakhir, diduga terafiliasi dengan ISIS. Polisi menemukan bukti kelompok pendukung ISIS berupaya menunggangi aksi 22 Mei.
Polisi menduga kelompok Gerakan Reformasi Islam (Garis), yang juga pendukung gerakan terorisme ISIS, berada di balik kerusuhan 22 Mei. Bukan sekali saja kelompok ini mencuat namanya. Terakhir nama ini muncul saat capres Prabowo Subianto berkampanye di Cianjur, Jawa Barat, Selasa, 12 Maret 2019.
Bukti ini terungkap berdasarkan penyelidikan dari dua tersangka perusuh yang ditangkap Polda Metro Jaya. Berdasarkan keterangan dua tersangka itu pula diketahui bahwa kelompok ini ingin menjalankan amaliyah atau jihad di momen tersebut.
Kepolisian sudah mengantongi identitas dari tokoh Garis.
Polisi berjanji mengusut tuntas kerusuhan 22 Mei. Terlebih, identitas orang yang memberi uang kepada salah satu kelompok sudah dikantongi. Meski, Dedi masih bungkam soal identitas penyandang dana ini. Termasuk kemungkinan penyandang dana dan dalang kerusuhan adalah orang yang sama.
"Tunggu dulu. Kalau sudah diperiksa baru nanti akan disampaikan," ujar Dedi kepada Liputan6.com.
Di sisi lain, penegakan hukum oleh Polri ini diwarnai dugaan pelanggaran HAM. Gabungan kelompok masyarakat yang terdiri dari YLBHI, KontraS, LBH Jakarta, AJI, Lokataru Foundation, Amnesty Internasional Indonesia, dan LBH Pers mengaku menemukan 14 dugaan pelanggaran HAM dalam aksi massa yang berujung ricuh pada 21-22 Mei 2019.
Mulai dari adanya korban tewas, salah tangkap, hingga dugaan kesalahan penanganan kericuhan itu sendiri.
Lalu, bagaimana pendapat pakar hukum tentang hal ini?
Pakar Hukum dari Universitas Trisakti, Asep Iwan Iriawan, menilai polisi sudah melakukan penanganan kerusuhan 22 Mei sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dia pun heran ketika polisi disebut melanggar HAM. Sebab, polisi sudah bertindak sesuai standar operasional prosedur.
Polisi tidak serta merta melakukan tindakan tegas. Mereka terlebih dulu melakukan pendekatan persuasif. Malah, dia menyebut polisi terlalu sabar dalam menghadapinya.
"Sudah tepat, polisi sudah baik dalam penanganannya. Malah terlalu baik, terlalu sabar menurut saya. Maghrib itu belum dibubarkan. Coba lihat bagaimana Kapolres Jakarta Pusat seruan-seruannya yang bikin kita terenyuh. Sementara ada pihak-pihak lain yang ingin mengacaukan republik dengan cara-cara seenaknya," ujar mantan hakim itu kepada Liputan6.com, Senin 27 Mei 2019.
Oleh karena itu, dia heran ketika ada yang menyebut polisi melanggar HAM. Apalagi, polisi dalam bertugas menegakkan hukum dilindungi oleh undang-undang.
"Yang bicara HAM, baca UU HAM dan UU Peradilan HAM. HAM itu kejahatan kemanusiaan dan genosida, itu pahami. Jadi suruh baca dulu UU-nya. HAM apa? Polisi sudah melaksanakan tugas tiba-tiba pada bikin rusuh, sudah untung polisinya baik," kata Asep.
Menurut dia, polisi pun sudah memperingatkan akan potensi adanya pihak ketiga yang akan memanfaatkan aksi 22 Mei. Namun, imbauan Polri agar tidak perlu berdemonstrasi, tidak diindahkan. Massa tetap turun ke jalan.
"Kan sudah dikasih tahu jangan datang demo, nanti ada penunggang gelap. Lalu siapa yang menembak, kan polisi enggak bawa senjata tajam. Siapa yang menembak? Kan itu bukan pelurunya polisi. Jangan salahkan polisi dong," ucap dia.
Dia percaya polisi mampu mengungkap kasus ini. Dia juga meminta agar dalang dan penyumbang dana kerusuhan 22 Mei menyerahkan diri.
"Gentle dong, jangan bikin rusuh di republik ini. Aktor intelektual ini lho, gentle dong. Jangan suruh orang enggak ngerti dengan cara cuci otak," kata Asep.
Pakar hukum Indriyanto Seno Adji juga berpendapat serupa. Dia mengatakan, ketika demonstran berubah anarkistis dan menimbulkan chaos, sudah sewajarnya Polri mengambil tindakan hukum.
Terlebih, ketika kekerasan itu dianggap sebagai kondisi darurat. Polisi dilindungi oleh perundangan untuk menegakkan hukum.
"Tindakan hukum yang dilakukan oleh Polri saat 22 Mei, yang apabila dianggap sebagai kekerasan adalah dilakukan dalam kondisi yang darurat, adanya suatu keadaan yang dikategorikan clear and present danger dan karenanya tindakan tegas Polri sudah sesuai hukum, dan tindakan tegas Polri tidak melanggar UU (Pasal 212 KUHP), bahkan mekanisme tahapan tindakan hukum telah dilakukan Polri secara bertahap dan persuasif, sebelum pada akhirnya dilakukan tindakan hukum secara tegas. Sama sekali tidak ada pelanggaran hukum," jelas Seno Adji kepada Liputan6.com.
Pembagian Uang di Ambulans
Sebuah video rekaman CCTV yang beredar mengungkap bagaimana perusuh 22 Mei 2019 mengambil upahnya. Rekaman itu memperlihatkan sejumlah orang berkerumun di sebuah ambulans di Jalan MH Thamrin pada Rabu malam.
Tak lama, ambulans meninggalkan lokasi dan orang-orang yang berkerumun kemudian berlarian. Pada video itu terdapat tulisan rekaman 'CCTV Bali Tower'.
Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Mohammad Iqbal mengatakan, polisi menemukan sebuah mobil ambulans dengan logo partai politik yang disiapkan untuk memobilisasi massa aksi 22 Mei 2019. Namun, belum diketahui apakah itu ambulans yang sama dengan yang terpampang di CCTV.
Di ambulans berlogo parpol, polisi menemukan batu-batu di dalam mobil tersebut yang diduga disiapkan untuk massa aksi. Ambulans tersebut ditemukan saat kerusuhan di Asrama Brimob, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
"Ada bukti-bukti ada satu ambulans, saya enggak sebut ambulans itu ada lambang partainya, itu penuh batu dan alat-alat," ujar Iqbal di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Rabu 22 Mei 2019.
Polisi juga menemukan sejumlah uang dan amplop dalam ambulans tersebut. Polisi menduga, uang tersebut disiapkan untuk massa aksi bayaran.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo memaparkan cerita di balik operasi perusuh beberapa hari lalu.
Para perusuh datang dari berbagai daerah di luar Jakarta. Sebagian menumpang KRL dari Stasiun Rangkasbitung hingga tiba Stasiun Tanah Abang.
Selasa 21 Mei pagi, mereka merusak sejumlah fasilitas di Stasiun Tanah Abang. Sebagian menuju ke Bawaslu, lainnya bersiaga menyerang asrama Brimob di Petamburan.
"Masuknya itu dari Stasiun Tanah Abang. Dari Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dari Banten, masuk ke Tanah Abang," ujar Dedi di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Senin (27/5/2019).
Berlanjut pada 22 Mei, kelompok lainnya datang. Mereka datang ke Jakarta masih melalui Tanah Abang. Mereka merusak stasiun dan menuju ke Bawaslu.
"Jebol Stasiun Tanah Abang, langsung masuk ke Bawaslu, masuk ke Bawaslu langsung nyerang ke Petamburan. Makanya di tanggal 22 itu sempat disetop, ditutup Stasiun Tanah Abang, karena Stasiun Tanah Abang kita deteksi dia pintu masuk dari para perusuh," kata Dedi.
Advertisement
Mengapa Sulit Mengaku Kalah
Tim Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno telah melayangkan permohonan perselisihan hasil rekapitulasi Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka mengajukan tujuh poin tuntutan. Mulai dari menyatakan Jokowi-Ma'ruf Amin melakukan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif, hingga meminta MK menyatakan Prabowo-Sandi sebagai pemenang pemilu.
Sosiolog Universitas Indonesia Daisy Indira Yasmine menilai langkah hukum tersebut merupakan contoh yang baik untuk masyarakat. Namun, ada hal yang lebih penting untuk dilakukan oleh Prabowo-Sandi, yakni mengakui kekalahan jika MK menolak gugatannya.
"Yang dibutuhkan masyarakat itu role model. Bagaimana memberikan, menanamkan nilai yang baik, nilai sportivitas, kalau ada ketidakbenaran diselesaikan melalui jalur yang disediakan negara. karena negara itu kan memberikan sistem. Kalau tahapan itu sudah diikuti ya memberikan contoh yang sportif, bagaimana yang harus dilakukan, kalau hasilnya sudah keluar bagaimana kita menanggapi, apapun hasilnya itu," ujar Daisy ketika dihubungi Liputan6.com.
Menurut dia, partisipasi membangun bangsa tidak harus dilakukan ketika seorang warga menduduki sebuah jabatan. Warga biasa pun, lanjut dia, bisa memberikan kontribusi untuk kemajuan bangsa.
"Kalau tujuannya membangun negara ya sudah pakai cara lain kan bisa jangan maksa. Kecuali niatnya memang bukan untuk membangun negara memang ingin merebut kekuasaan. Kok aneh, ini di negara demokrasi atau di zaman perang," kata Daisy.
Dia mengatakan contoh yang baik dari role model dapat mencegah adanya kekisruhan saat putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa hasil Pilpres 2019 dibacakan. Namun, peran aktif masyarakat tetap diperlukan dalam menerima segala informasi, terutama dari media sosial.
"Lagi-lagi masyarakat harus kritis cerdas dalam membaca informasi yang masuk bahkan ajakan-ajakan yang masuk. Kita punya hukum, aturan, enggak ada kan aturan yang mengajak kita berperang? Enggak ada. Kecerdasan dan kekritisan warga diperlukan," sambung dia.
Seperti dikutip dari VOA Indonesia, Agus Harimurti Yudhyono sebagai sosok pertama yang memperkenalkan tradisi politik baru ini ketika kalah dalam pilkada putaran pertama di DKI Jakarta.
Beberapa jam setelah hasil penghitungan cepat atau quick count beberapa lembaga survei menunjukkan bahwa ia jauh tertinggal dibanding dua pasangan lain yaitu Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, Agus Harimurti menyampaikan pidato kekalahannya.
"Secara ksatria dan lapang dada, saya terima kekalahan di pilkada ini. Sekali lagi, secara ksatria dan lapang dada, saya terima kekalahan di pilkada gubernur DKI Jakarta. Allah belum izinkan saya dan ibu Sylvi (cawagub yang mendampinginya.red) untuk pimpin Jakarta. Tapi saya yakin rencana Allah selalu lebih baik dan benar dari rencana manusia. Saya akan dharma baktikan hidup saya untuk memajukan Indonesia," ujar tokoh muda ini di Wisma Proklamasi, Jakarta Pusat.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pun berlapang dada mengakui kekalahannya dalam Pemilu 2019. Sambil menunggu real count sebagai standar konstitusional, PSI sudah bisa mengambil kesimpulan mengenai hasil Pemilu 2019.
"Menurut quick count, PSI mendapat 2%. Dengan perolehan itu, PSI tidak akan berada di Senayan lima tahun ke depan. Kami telah berjuang dengan apa yang kami bisa. Tidak, kami tak akan menyalahkan siapa-siapa. Kader kami, pengurus PSI, caleg kami, telah bekerja keras siang dan malam meyakinkan rakyat. Tapi inilah keputusan rakyat melalui mekanasime demokrasi yang harus kami terima dan hormati," kata Ketua Umum PSI Grace Natalie.
Namun, dia menegaskan, tidak ada penyesalan. "Sama sekali tidak ada penyesalan atas setiap tetes keringat dan air mata yang jatuh selama membangun partai ini. Kami, anak-anak muda PSI, telah terlibat dalam sebuah perjuangan yang bagi kami sangat luar biasa."