Liputan6.com, Kupang - Tak tinggal diam melihat warga eks Timor Timur di perbatasan RI-Timor Leste buta aksara, seorang anggota Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) Desa Kenebibi, Kecamatan Kakulukmesak, Kabupaten Belu, NTT, Brigade Polisi Kresna Ola membentuk sebuah komunitas. Komunitas ini membantu warga untuk melek huruf agar dapat membaca dan menulis.
Inisiatif pria kelahiran Kolimasang, Adonara, Kabupaten Flores Timur inipun terdengar hingga telinga Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian.
"Saya baru selesai terima penghargaan dari Kapolri," kata Kresna Ola kepada Liputan6.com, Rabu (12/6/2019).
Advertisement
Menurut dia, penghargaan yang diterimanya itu tak lepas dari jasa masyarakat Desa Kenebibi, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu tempatnya bertugas.
Penghargaan yang diterimanya tersebut adalah penghargaan yang ketujuh. Pada periode 2017-2018, dia telah meraup enam penghargaan. Salah satu penghargaan diperolehnya dari Kepala Desa Kenebibi.
Rumah Merah Putih
Dia pun menuturkan soal komunitas yang dibangunnya. Rumah Merah Putih namanya. Berkat gagasan Kapolres Belu dan dukungan warga setempat, Agustus 2018, Rumah Merah Putih didirikan.
Warga pun memberikan sebuah lahan untuk Rumah Merah Putih itu.
Alhasil, bukan cuma melek aksara, kasus pencurian di perbatasan RI-TImor Leste pun berhasil ditekan.
"Lewat pendidikan tersebut, banyak orangtua mulai menasihati anak-anaknya yang suka mencuri agar menghentikan kebiasaan buruk tersebut," ujar Kresna Ola.
Â
Bermula dari 2015
Bermula pada 2015, saat Kresna ditugaskan ke wilayah tersebut. Dia lalu berupaya mempelajari karakter warga setempat.
Dia kemudian menemukan fakta, rendahnya kualitas sumber daya manusia berhubungan dengan sikap anak muda yang sulit diatur.
Menyadari hal itu, Kresna berpikir untuk meningkatkan pengetahuan warga sekitar. Bintara lulusan SPN Kupang Polda NTT 2005 itu mulai menghimpun warga sejak Oktober 2016.
"Saya mulai membentuk komunitas sekolah buta aksara di Desa Kenebibi," ujar Kresna.
Dia mengatakan, tujuan awalnya adalah ingin mengajari warga mengenal huruf, sehingga bisa membaca dan menulis.
Di samping mengajar, Brigpol Kresna mengimbau warga agar menasihati anak-anak mereka agar tidak berbuat kejahatan.
"Intinya warga bisa membaca dan menulis," ucap Kresna tentang alasan memilih menjadi pengajar kelas buta aksara.
Awalnya, kelompok ini beranggotakan 60 bapak dan ibu buta aksara. Namun, karena terkendala jarak rumah yang berjauhan, kelompok dibagi menjadi dua.
Waktu belajar disesuaikan dengan waktu luang warga. Setiap minggu, pertemuan digelar setiap Rabu petang antara pukul 15.00-16.00 Wita.
Â
Advertisement
Fasilitas Seadanya
Warga pun belajar dengan kondisi serba kekurangan alat tulis. Peralatan belajar mengajar yang ada, seperti buku dan pensil, disediakan sendiri oleh Brigpol Kresna dibantu Kapolsek Kakulukmesak, Polres Belu.
Tak hanya soal fasilitas belajar, Kresna juga harus memutar otak agar bisa mengumpulkan warga. Warga seringkali enggan berkumpul kalau tidak mendapatkan apa-apa.
Namun, dengan berbagai pendekatan, puluhan bapak dan ibu itu luluh juga.
Kresna menuturkan, setelah berhasil merayu warga, ada hal lebih menyulitkan yang dihadapi, yakni kendala bahasa. Rata-rata warga eks Timor Timur itu tidak menggunakan bahasa Tetun, tetapi memakai bahasa Tokodede, salah satu bahasa asli masyarakat asal Maubara Timor Leste yang hanya digunakan masyarakat tertentu.
Kendala bahasa itupun perlahan bisa diatasi. Para ibu rumah tangga yang tak pernah mengenyam pendidikan perlahan bersemangat mencari ilmu. Para pria paruh baya yang putus sekolah saat duduk di bangku kelas III SD juga tak kalah semangatnya.
Untuk menampung warga yang mau belajar, Kresna meminjam halaman rumah Ketua RT 11/RW 03, Laurindu do Santos. Di bawah pohon, masing-masing peserta kelompok belajar membawa kursi sendiri dari rumah untuk belajar. Sementara, Kresna menyiapkan papan tulis dan spidol sebagai alat bantu mengajar.
Setiap akhir pelajaran, masing-masing peserta diberikan tugas menulis huruf dan kata seperti nama hari atau nama bulan dan nama masing-masing peserta. Pada pertemuan berikutnya, tugas tersebut dievaluasi bersama peserta.
Hingga kini, buta aksara di desa tersebut sudah berkurang. Warga yang masuk di komunitas buta aksara rutin diberi bimbingan belajar olehnya di Rumah Merah Putih.
Bagi Kresna, satu-satunya cara sederhana untuk membangun Indonesia dari tapal batas adalah meningkatkan SDM warga perbatasan.