Sejarah Menteng, Hutan Sarang Binatang Buas hingga Jadi Pemukiman Elite

Letaknya yang teramat strategis, menjadikan kawasan Menteng, Jakarta Pusat, dikenal sebagai wilayah elite.

oleh Devira PrastiwiFadjriah Nurdiarsih diperbarui 21 Jun 2019, 17:03 WIB
Diterbitkan 21 Jun 2019, 17:03 WIB
Menteng Tempo Dulu
Metropole Theater atau sekarang lebih dikenal Megaria Theater. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Jakarta akan merayakan ulang tahun ke-492 esok hari. Selama hampir setengah abad berlalu, Jakarta menjelma sebagai kota impian.

Banyak orang berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk mengadu nasib. Salah satu alasannya, seluruh akses dapat mudah didapat di Ibu Kota Indonesia ini. Hal itulah yang membuat orang berbondong-bondong datang ke Jakarta.

Di balik ingar bingar dan gemerlapnya, Jakarta memiliki beragam cerita dan kisah masa lalu. Terdiri dari lima Kota Administrasi, yaitu Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan Kepulauan Seribu terdapat sejarah yang terkait masa penjajahan.

Salah satu pusat Kota Jakarta yang terkenal adalah kawasan Menteng. Letaknya yang teramat strategis, menjadikan kawasan Menteng, Jakarta Pusat, dikenal dengan wilayah elite.

Mulai dari Gubernur DKI Jakarta, presiden, pejabat, para duta besar, hingga para pengusaha banyak yang memilih bermukim di kawasan yang termasuk wilayah administrasi Jakarta Pusat ini. Bahkan, mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama pernah menghabiskan masa kecil di Menteng.

Konon, Menteng memang sudah menjadi permukiman elite sejak zaman kolonial Belanda. Kawasan Menteng yang berada di selatan Kota Batavia, kadang juga disebut sebagai Untung Jawa. Hal itu lantaran letaknya yang berada di sebelah utara Kampung Melayu.

Sebelum menjadi permukiman elite seperti yang dikenal sekarang ini, Menteng merupakan daerah yang kurang dikenal, bahkan dihuni binatang buas.

Semula, daerah ini merupakan hutan yang ditumbuhi pohon Menteng atau Beccaurea racemosa. Pohon buah tersebut akhirnya dikaitkan oleh masyarakat untuk menyebut nama lokasi ini.

Namun, sejak lokasi tersebut dibuka untuk umum dan pengembangan Kota Batavia pada 1810, tempat tersebut mulai ramai.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Jadi Perumahan

Libur Nasional, Taman Menteng Sepi Pengunjung saat Puasa
Pengunjung beraktivitas di sekitar Taman Menteng, Jakarta, Kamis (1/6). Meskipun pada 1 Juni merupakan libur nasional, aktivitas di Taman Menteng lebih sepi disebabkan bersamaan dengan pelaksanaan ibadah puasa. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Kemudian sekitar 1912, Gubernur Jenderal Wilem Herman Daendels menjadikan Menteng sebagai perumahan untuk pegawai pemerintah Hindia Belanda.

Menteng merupakan perumahan villa pertama di Batavia yang dikembangkan antara 1910 dan 1918. Perancangnya adalah tim arsitek yang dipimpin PAJ Mooijen, arsitek asal Belanda yang merupakan anggota tim pengembang yang dibentuk Pemerintah Kota Batavia.

Dalam perkembangannya, Menteng terbagi menjadi beberapa nama lainnya. Sehingga terdapat kampung kecil di dalamnya seperti Menteng Atas, Menteng Dalam, dan Menteng Pulo.

Selain itu, daerah Guntur juga dikembangkan sebagai Niew-Menteng, dan pada akhirnya bersama kampung Menteng kecil lainnya masuk bagian Jakarta Selatan.

Kawasan Menteng tidak hanya bekas dari tanah partikelir atau tuan tanah dari Menteng, tetapi juga dari partikelir​ Gondangdia. Seperti kepemilikan tanah di Gondangdia pada 1969 dari Tuan A Hanking dan Nyonya A Meijer pada 1884.

Selanjutnya​, oleh Pemerintah Belanda pembelian tanah pribadi tersebut digunakan untuk permukiman elite Weltevreden--sekarang kawasan Gambir hingga Lapangan Banteng. Namun, wilayah Menteng tersebut kini menjadi wilayah Jakarta Pusat.

 

Menteng Kota Taman

20151129-Taman Suropati-Jakarta-Angga Yuniar
Pengunjung menikmati suasana bersama keluarga di Taman Suropati, Jakarta, Minggu (29/11/2015). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Rancangan awal Menteng memiliki kemiripan dengan model kota taman dari Ebenezer Howard, seorang arsitektur pembaharu asal Inggris. Bedanya, Menteng tidak dimaksudkan berdiri sendiri, namun terintegrasi dengan kawasan lainnya.

Thomas Karsten, seorang pakar tata lingkungan pada masanya menilai, Menteng memenuhi semua kebutuhan perumahan untuk kehidupan yang layak.

Proyek Menteng dinamakan Nieuw Gondangdia dan menempati lahan seluas 73 hektare. Pada 1890 kawasan ini dimiliki 3.562 pemilik tanah. Batas selatan kawasan ini Banjir Kanal Barat yang selesai dibangun 1919.

Rancangan Mooijen kemudian dimodifikasi FJ Kubatz dengan mengubah tata jalan dan penambahan taman-taman, hingga mencapai bentuk yang tetap antara 1920 dan 1930.

Menteng dibangun mengikuti tata cara Eropa. Namun, arsitekturnya dibuat mengikuti cita rasa lokal agar sesuai dengan iklim tropis.

Rumah-rumah dibangun dengan tiang-tiang yang tinggi, jendela yang besar, taman yang luas, dan sistem ventilasi yang baik, sehingga nyaman ditempati walau tanpa penyejuk ruangan.

Saluran air dan jalan-jalan dibangun, begitu juga sekolah dan bioskop. Sekolah yang dibangun adalah Sekolah Dasar Theresia yang dibuka pada 1927.

Bioskop Menteng dibangun dalam gaya Indo-Eropa pada 1950, tapi kini telah berubah menjadi Plaza Menteng. Selain itu, dibangun pula sarana ibadah seperti Gereja Paulus.

Asal Adanya Masjid Cut Meutia

Kawasan Menteng merupakan kawasan yang asri, nyaman dan indah. Ini adalah sebuah permukiman yang disenangi oleh masyarakat Eropa dan masyarakat pribumi kelas menengah ke atas.

Karakteristik arsitektural dari bangunan rumah di kawasan Menteng secara umum dapat dibedakan menjadi beberapa gaya.

Ada yang berciri klasik atau Old IndischeNieuwe Zakelijkhed, Indis Baru, Art Nouveau/Art Deco, Amsterdam, De’ Stijl, Le Corbusier yang menerapkan unsur-unsur rumah tradisional Eropa, tradisionalisme Indonesia yang menerapkan detail-detail berakar dari arsitektur tradisional Indonesia, gaya Art Deco atau moderen tahun 1930-an. Selain itu, ada gaya villa atau bungalow Belanda.

Adapun gedung yang menjadi kantor pengelola, yakni NV de Bouwploeg, yang oleh lidah pribumi disebut Boplo, berdiri di Jalan Bulevar Cut Mutiah, persis sebelum jalan layang stasiun kereta api Gondangdia. Gedung ini sangat mungkin dibangun oleh Moojen dan NV de Bouwplog.

Moojen adalah direktur perusahaan de Bouwplog. Sepeninggalnya, perusahaan real estate ini mengalami kebangkrutan pada 1925.

Sejak saat itulah gedung ini beralih fungsi. Gedung Boplo pernah digunakan sebagai kantor pos pembantu, lalu dipakai oleh Angkutan Laut Jepang waktu Perang Dunia II.

Sesudahnya, gedung ini dimanfaatkan oleh Staatssporweg (jawatan kereta api), oleh berbagai dinas perumahan (1957-1964), sebagai kantor sekretariat DPRD-GR dan MPRS (1964-1970), dan Kantor Urusan Agama.

Lalu pada 1985, gedung ini mulai dipakai sebagai masjid dengan nama Masjid Cut Meutia dan berstatus milik Pemprov DKI Jakarta. Sejak tahun 1971, masjid ini termasuk bangunan yang dilindungi undang-undang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya