Liputan6.com, Jakarta Sinetron Anak Menteng di SCTV sangat digilai oleh penonton. Hal itu terbukti dari panjangnya masa tayang sinetron ini, yakni hingga mencapai 150 episode lebih.
Seperti judulnya, Menteng yang dilukiskan sebagai tempat tinggal dalam sinetron itu begitu indah, nyaman, dan teratur.
Menteng adalah daerah elite. Mulai dari Gubernur DKI Jakarta, presiden, pejabat, para duta besar, hingga para pengusaha banyak yang memilih bermukim di kawasan yang termasuk wilayah administrasi Jakarta Pusat. Bahkan Presiden Amerika Serita Barack Obama pernah menghabiskan masa kecil di Menteng.
Namun, tahukah Anda, Menteng dulunya adalah sebuah wilayah yang didesain khusus sebagai kota taman pertama di Batavia?
Berdasarkan penelusuran, ada beberapa versi mengenai asal-usul kata menteng. Salah satunya adalah berasal dari nama seorang perwira Inggris, yakni Muntinghe. Namanya juga diabadikan menjadi nama sungai di daerah ini, yakni Spruitje Menting yang berarti 'Sungai Kecil Menting'. Versi lain menyebutkan menteng adalah sejenis pohon berbuah putih yang waktu itu banyak terdapat di kawasan tersebut.
Pada awalnya Menteng adalah tanah partikelir. Adolf Heuken SJ dalam Menteng Kota Taman Pertama di Indonesia menyebutkan pada pertengahan abad ke-18 pemilik tanah Menteng adalah seorang Arab bernama Assan Nina Daud, kemudian berpindah kepada Pieter J du Chene de Vienne.
Lantas pada awal abad ke-19, Menteng dikuasai oleh Jakobs P. Barends. Sejak pertengahan abad ke-19, tanah partikelir Menteng dikuasai orang-orang Arab. Antara 1881-1910, regeringsalmanak (sumber tentang tanah-tanah partikelir) menyebut anggota keluarga Shahab sebagai landheeren (tuan tanah) dari Menteng.
Menteng pada abad ke-17 merupakan daerah di selatan Batavia dan merupakan daerah yang kurang dikenal serta masih dihuni binatang buas. Wilayah tersebut sejak 1810 dibuka oleh Gubernur Jenderal Daendels untuk dijadikan daerah pengembangan kota baru Batavia (Weltevreden).
Tanah partikelir Menteng dan Batavia lalu dibeli oleh perusahaan real estate De Bouwploeg. Perusahaan inilah, di bawah arahan arsitek PAJ Mooijen, yang membidani kelahiran Menteng sebagai permukiman yang sesuai dengan iklim Batavia yang cenderung panas. Mooijen bersama tim arsitek yang didatangkan langsung dari Belanda bekerja keras membangun Menteng sebagai permukiman modern pertama di Nusantara.
Rancangan awal Kota Menteng memiliki kemiripan dengan model kota taman dari Ebenezer Howard, seorang arsitektur pembaharu asal Inggris.
Karena itulah, Menteng dibangun mengikuti tata cara Eropa. Namun, arsitekturnya dibuat mengikuti cita rasa lokal agar sesuai dengan iklim tropis. Rumah-rumah dibangun dengan tiang-tiang yang tinggi, jendela yang besar, taman yang luas, dan sistem ventilasi yang baik, sehingga nyaman ditempati walau tanpa penyejuk ruangan.
Saluran air dan jalan-jalan dibangun, begitu juga sekolah dan bioskop. Sekolah yang dibangun adalah Sekolah Dasar Theresia yang dibuka pada 1927. Bioskop Menteng dibangun dalam gaya Indo-Eropa pada 1950, tapi kini telah berubah menjadi Plaza Menteng. Selain itu, dibangun pula sarana ibadah seperti Gereja Paulus.
Proyek Menteng yang disebut sebagai Nieuw Gondangdia menempati lahan seluas 73 hektare. Dalam rancangan Paijen yang dimodifikasi oleh FJ Kubatz, terdapat perubahan tata jalan dan penambahan taman-taman, sehingga mencapai bentuk yang tetap antara 1920-an hingga 1930-an.
Pada rancangan ini, porsi untuk ruang terbuka hijau amat diperhatikan, terbukti dengan adanya Taman Suropati dan lapangan bundar yang dikenal sebagai Lapangan Persija—kini menjadi Taman Menteng.
Begitu baiknya perencanaan Menteng saat itu hingga arsitek termasyhur Belanda, Berlage, mengatakan Menteng adalah suatu daerah dengan keseluruhan yang menyatu dan menarik.
Sementara Thomas Karsten, seorang arsitek yang pernah merancang Pasar Johar Semarang, berkomentar bahwa Menteng memenuhi semua kebutuhan perumahan untuk kehidupan yang layak. Dengan pesonanya, Menteng menjelma menjadi kawasan idaman kaum elite di Batavia, bahkan hingga kini.
Gedung Bouwploeg, Kini Masjid Cut Mutiah
Kawasan Menteng merupakan kawasan yang asri, nyaman dan indah. Ini adalah sebuah permukiman yang disenangi oleh masyarakat Eropa dan masyarakat pribumi kelas menengah ke atas. Karakteristik arsitektural dari bangunan rumah di kawasan Menteng secara umum dapat dibedakan menjadi beberapa gaya.
Ada yang berciri klasik atau Old IndischeNieuwe Zakelijkhed, Indis Baru, Art Nouveau/Art Deco, Amsterdam, De’ Stijl, Le Corbusier yang menerapkan unsur-unsur rumah tradisional Eropa, tradisionalisme Indonesia yang menerapkan detail-detail berakar dari arsitektur tradisional Indonesia, gaya Art Deco atau moderen tahun 1930-an. Selain itu, ada gaya villa atau bungalow Belanda.
Adapun gedung yang menjadi kantor pengelola, yakni NV de Bouwploeg, yang oleh lidah pribumi disebut Boplo, berdiri di Jalan Bulevar Cut Mutiah, persis sebelum jalan layang stasiun kereta api Gondangdia. Gedung ini sangat mungkin dibangun oleh Moojen dan NV de Bouwplog.
Moojen adalah direktur perusahaan de Bouwplog. Sepeninggalnya, perusahaan real estate ini mengalami kebangkrutan pada 1925. Sejak saat itulah gedung ini beralih fungsi. Gedung Boplo pernah digunakan sebagai kantor pos pembantu, lalu dipakai oleh Angkutan Laut Jepang waktu Perang Dunia II.
Sesudahnya, gedung ini dimanfaatkan oleh Staatssporweg (jawatan kereta api), oleh berbagai dinas perumahan (1957-1964), sebagai kantor sekretariat DPRD-GR dan MPRS (1964-1970), dan Kantor Urusan Agama. Lalu pada 1985, gedung ini mulai dipakai sebagai masjid dengan nama Masjid Cut Mutiah dan berstatus milik Pemprov DKI Jakarta. Sejak tahun 1971, masjid ini termasuk bangunan yang dilindungi undang-undang.
Selain Masjid Cut Mutiah, ada pula Gedung Bataviasche Kunstkring yang sekarang menjadi kantor Imigrasi. Bangunan ini merupakan bangunan awal yang ada di Menteng dan tetap terjaga keaslian arsitekturnya hingga kini.
Seperti dikutip dari Wikipedia, Bataviasche Kunstkring adalah organisasi (lingkar) seni yang didirikan pada zaman pemerintah Hindia Belanda. Aktivitas organisasi ini sangat menonjol pada1920-an lantaran diposisikan sebagai pusat dari semua Kunstkring yang tersebar di Batavia, Bandung, Surabaya, dan beberapa kota besar lain. Bataviasche Kunstkring kerap menyelenggarakan pameran yang merupakan kulminasi reputasi dari daerah-daerah. Batavia Kunstkring beranggotakan seniman-seniman Belanda atau Eropa yang berdiam di Indonesia.
Advertisement