Membaca Makna Wayang yang Jadi Latar Hangatnya Makan Siang Jokowi-Prabowo

Ada latar wayang saat hangatnya makan siang kedua tokoh politik, Jokowi dan Prabowo. Apakah ada makna tertentu latar tersebut dengan pertemuan yang digelar?

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 14 Jul 2019, 10:20 WIB
Diterbitkan 14 Jul 2019, 10:20 WIB
Jokowi-Prabowo makan siang di pusat perbelanjaan FX Sudirman, Jakarta, Sabtu (13/7/2019). (Liputan6.com/Lizsa Egeham)
Jokowi-Prabowo makan siang di pusat perbelanjaan FX Sudirman, Jakarta, Sabtu (13/7/2019). (Liputan6.com/Lizsa Egeham)

Liputan6.com, Jakarta - Pertemuan Jokowi dan Prabowo yang digadang sebagai momen rekonsiliasi pasca Pemilu Presiden 2019, tak surut dibahas. Cuitan seniman Sudjiwo Tedjo memantik perhatian warga net.

"Horeee! Ada aku dalam pertemuan Pak Jokowi - Pak Prabowo. Wayang no 2 dari kiri itu TEJO ...Lengkapnya Tejo Mantri alias Togog, kakaknya Semar ..heuheuheu," tulis sang seniman, sore kemarin, seperti dilihat Liputan6.com, Minggu (14/7/2019).

Pria yang karib disapa Presiden Jancukers ini melanjutkan, bahwa yang dimaksud adalah Big Bang dalam kisah pewayangan.

Alkisah, Tejo Mantri adalah salah satu dari tiga anak Sang Hyang Tunggal dan Rekathawati. Sebagai sulung, dia memiliki dua saudara, Ismaya atau Semar, dan Manikmaya atau Bathara Guru. Ketiganya lahir dari sebuah telur.

"Adalah telur yang pecah, kulitnya jadi Togog, putihnya jadi Semar, kuningnya jadi Bathara Guru," masiih kata Sudjiwo Tedjo dalam cuitannya.

Lalu apa hubungannya dengan pertemuan dua tokoh politik nasional ini dengan latar pewayangan?

Latar keduanya, seperti disinggung Sudjiwo saat santap siang tersebut sejajar persis dengan posisi duduk Jokowi dengan sosok Tejo Mantri atau Togog dan posisi Prabowo dengan Semar atau Ismaya. Keduanya hanya dipisahkan oleh Gunungan, dimana dalam filosofisnya mengartikan kehidupan.

Pada kisahnya, Tejo Mantri dan Ismaya, adalah saudara yang ketat persaingan. Keduanya ingin berlomba sebagai yang terhebat. Satu hari, mereka hendak menguji kesaktian, mengetahui siapa terpantas mengganti tahta sang ayah, sang penguasa Kahyangan Jongring Salaka.

Atas saran dari Manikmaya, adu kuat keduanya disepakati dengan menelan gunung dan memuntahkannya kembali. Gunung menurut filosofi tadi dianggap mewakili ilmu siapa yang paling hebat dalam kehidupan.

Tejo Mantri mendapat kesempatan pertama, namun sayang dia gagal menujukkan ajinya. Dia hanya mampu menelannya sebagian karena sisanya meletus dan membuat mulutnya sobek. Mulutnya pun menjadi besar dan melebar.

 

Tau Mau Gegabah

Keakraban Jokowi dan Prabowo Saat Bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus
Presiden terpilih Joko Widodo atau Jokowi (kanan) bersalaman dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto saat bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu (13/7/2019). Prabowo mengatakan masyarakat tidak boleh lagi berseteru sebab Pilpres sudah lewat. (Liputan6.com/JohanTallo)

Ismaya tak mau gegabah, dia menelan gunung dengan cara sedikit demi sedikit. Celakanya, dia tak bisa berbuat banyak saat bongkahan gunung ditelannya tak bisa dimuntahkan kembali. Akibatnya, perutnya membesar dan giginya habis. Kondisi ini tak membuat rupanya kalah buruk dengan sang kakak.

Aksi ini membuat sang ayah murka, membuat tongkat tahta kuasa diteruskan kepada si bungsu Manikmaya. Kemudian pada Tejo Mantri dan Ismaya, mereka diutus oleh ayahanda turun ke bumi untuk menjaga kehidupan dan memelihara keturunan Manikmaya sebagai penduduk bumi.

Karena inilah, Sang Hyang Wenang mengganti nama mereka. Tejo Mantri menjadi Togog, Ismaya menjadi Semar, dan Manikmaya menjdi Bathara Guru.

Sebagai Togog, dia memiliki tugas untuk membimbing kelompok raksasa dan kurawa, identik dengan kejahatan dan ketidakadilan. Sedangkan Semar, tugasnya adalah menjadi pemomong kestaria dan pandawa, atau identik dengan baik, adil, dan bijaksana. Diceritakan, nantinya Semar akan memiliki tiga anak angkat, Gareng, Petruk, dan Bagong.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya