Liputan6.com, Jakarta - Cendikiawan sekaligus mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudi Latif menganggap ada dua faktor munculnya gelombang fasisme baik di dunia, maupun di Indonesia.
Menurut Yudi, faktor pertama ialah karena ruang-ruang pertemuan seakan hilang. Hal tersebut, menurut Direktur Eksekutif Reform Institute itu adalah sebuah paradoks.
"Di satu sisi, media sosial banyak memfasilitasi komunikasi, tapi tersegmentasi," kata Yudi di Hotel Sahid, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, Sabtu (31/8/2019).
Advertisement
Menurutnya, media sosial yang seharusnya bisa melekatkan hubungan dan bisa mengetahui perspektif berbeda dari identitasnya. Namun, lanjut Yudi, yang terjadi justru anak muda Indonesia banyak yang mengakses media sosial berdasarkan kesamaan identitas dirinya.
Hal itu, menurut Yudi Latif, bisa mengarahkan kepada kesempitan pikiran.
Sedangkan faktor kedua, hadirnya sekolah-sekolah di Indonesia terfragmentasi berdasarkan agama maupun suku atau ras. Selain itu, perumahan-perumahan juga mengalami hal yang sama.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Pemicu Pikiran Rasisme
Hal itu akhirnya pertemuan antarindividu cenderung terbatas dan pandangan berbeda minim diketahui. Bagi Yudi, hal itu akan mendorong pemikiran fasis dan rasisme.
"Kalau di Singapura, apartemen bahkan ada kuotanya berdasarkan ras. Jadi apartemen itu harus multi ras. Dan jika kuotanya untuk Melayu, maka ras atau bangsa lain tidak bisa menempatinya," ungkap Yudi.
Ditambah juga, pakaian-pakaian seragam yang dikenakan oleh beberapa pihak, kata Yudi juga akan cenderung mendekatkan pada perilaku radikalisme.
"Kerudung ala Indonesia ini lebih seragama dari pada kerudung dari dunia Arab," katanya.
Advertisement