Liputan6.com, Jakarta - Komisi III DPR telah memilih Ketua KPK yang baru, yaitu Irjen Firli Bahuri. Sebagaimana yang telah diprediksi sejak awal, Komisi III DPR RI akan memilih Pimpinan KPK yang sesuai dengan selera politik mereka.
Meskipun hal tersebut harus dengan mengabaikan berbagai catatan negatif terkait dengan calon Pimpinan KPK tertentu.
Sejatinya, sinyal komposisi Pimpinan KPK yang baru saja terpilih sudah menguat sejak di Panitia Seleksi Calon Pimpinan (Pansel Capim) KPK.
Advertisement
"Ini artinya, proses yang terjadi di Pansel Capim KPK, termasuk sikap politik Presiden Jokowi kemarin, dengan apa yang terjadi di DPR RI adalah sebuah proses yang seirama seolah menjadi bagian dari rencana besar," tulis Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui keterangan tertulisnya, Jumat (13/9/2019).
Menurut ICW, dengan kondisi seperti hari ini, pemberantasan korupsi di Indonesia kian menjauh dari harapan awalnya, yakni menciptakan pemerintahan yang sepenuhnya bersih dan bebas dari KKN. ICW memaparkan, setidaknya ada tiga isu besar jika melihat komposisi Pimpinan KPK terpilih.
"Pertama, terkait rekam jejak buruk di masa lalu. Salah seorang figur yang dipilih oleh DPR merupakan pelanggar kode etik, hal ini diambil berdasarkan konferensi pers KPK beberapa waktu lalu. Tak hanya itu, bahkan KPK telah membeberkan terkait pertemuan yang bersangkutan dengan salah seorang tokoh politik," papar ICW.
Kedua, lanjutnya, masih terdapat Pimpinan KPK terpilih yang tidak patuh dalam pelaporan LHKPN di KPK. Padahal, ini merupakan mandat langsung dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 dan Peraturan KPK Nomor 07 Tahun 2016. Akan tetapi, menurut ICW, persoalan ini terlewat begitu saja pada setiap tahapan seleksi.
"Ketiga, tidak mengakomodir masukan dari masyarakat. Sedari awal berbagai elemen masyarakat, organisasi, serta tokoh sudah mengungkapkan bahwa ada persoalan serius pada seleksi Pimpinan KPK kali ini," ucap ICW.
Tokoh-tokoh itu mulai dari Shinta Wahid, Buya Syafii Maarif, Romo Magnis, Romo Benny, Pimpinan Muhammadiyah, Prof Mahfud MD, dan puluhan Guru Besar dari berbagai universitas di Indonesia.
"Akan tetapi masukan tersebut juga tidak diakomodir, baik oleh Pansel, Presiden, maupun DPR. Sehingga dapat dikatakan bahwa seleksi Pimpinan KPK kali ini hanya dijadikan urusan segelintir elite politik saja, tanpa melibatkan masyarakat luas," tutur ICW.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Revisi UU KPK
Apalagi kemudian, menurut ICW, langkah pararel DPR RI dan Pemerintah adalah dengan merevisi UU KPK melalui jalur cepat, di mana, masukan dari berbagai elemen masyarakat tidak didengar sama sekali.
"Seluruh calon Pimpinan KPK juga sangat terikat dengan komitmen menyetujui revisi, sebagai syarat untuk terpilih sebagai Pimpinan KPK. Para calon Pimpinan KPK diminta untuk menandatangani kontrak politik saat fit and proper test yang berkaitan dengan persetujuan revisi UU KPK," kata ICW.
Keadaan yang sangat tidak ideal tersebut dinilai ICW dapat membawa dampak langsung bagi agenda pemberantasan korupsi.
"Namun demikian, kita sebagai elemen bangsa yang masih dan terus perduli dengan upaya perbaikan, pembenahan dan upaya melawan korupsi tidak boleh putus asa, karena apa yang kita lakukan selama ini telah membawa manfaat besar bagi bangsa ini," terang ICW.
Sebagai anak kandung reformasi yang dilahirkan antara lain oleh TAP MPR XI/ 1998, pelemahan tebadap KPK adalah pengkhianatan terhadap mandat reformasi dan mimpi bangsa soal demokrasi yang sehat.
Advertisement
Keluarkan 4 Sikap
Oleh karena itu, berkaca pada hasil seleksi Capim KPK dan rencana revisi UU KPK dan rencana pengesahan RKUHP yang terus dikebut oleh DPR dan Pemerintah, ICW pun menyatakan empat sikap.
"Pertama, mendorong agar seluruh komponen masyarakat, akademisi, mahasiswa, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil untuk makin memperkuat kerjasama dan sinergi untuk terus mendesak pemerintah agar agenda pemberantasan korupsi tidak dikooptasi oleh kepentingan politik kelompok dan golongan," ucap ICW.
Kedua, mendorong agar seluruh komponen masyarakat, akademisi, mahasiswa, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil untuk kian memperkuat pengawasan terhadap lembaga antirasuah agar KPK tetap berjalan sesuai dengan harapan publik.
"Ketiga mendorong agar para pegawai KPK dan seluruh jajarannya membangun soliditas untuk memperkuat sistem pengawasan internal dan kapasitas organisasi agar Pimpinan KPK terpilih tidak mudah melakukan kesewang-wenangan," tutur ICW.
Dan keempat, mendesak Presiden Jokowi untuk bertanggungjawab dan menepati janji politiknya untuk memperkuat KPK dan pemberantasan korupsi.
"Janji politik itu perlu diwujudkan dalam sikap presiden terhadap revisi UU KPK yang telah disetujui untuk dibahas. Presiden harus mengambil sikap tegas dengan menolak segala usulan yang akan memperlemah KPK dan tidak menyerahkan proses serta pengambilan keputusan pada perwakilannya, yaitu Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi saja," tegas ICW.