KPK Beberkan 26 Poin Pelemahan di Revisi Undang-Undang Komisi Antirasuah

Pelemahan itu antara lain terkait pengaturan Pimpinan KPK adalah penanggung jawab tertinggi, kini dihapus dalam undang-undang hasil revisi.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 25 Sep 2019, 11:05 WIB
Diterbitkan 25 Sep 2019, 11:05 WIB
Tolak RKUHP dan UU KPK, Mahasiswa Geruduk DPR
Mahasiswa dari berbagai kampus menggelar demonstrasi di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (19/9/2019). Dalam aksinya, para mahasiswa membawa spanduk dan poster yang menunjukkan dukungan kepada KPK. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menganalisis Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) hasil revisi yang disahkan DPR para rapat raripurna 17 September 2019.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, dalam analisis yang dilakukan, KPK mengidentifikasi 26 persoalan dalam UU KPK yang berisiko melemahkan kerja KPK. Pertama, kata Febri yakni soal independensi KPK.

"KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif," ujar Febri saat dikonfirmasi, Rabu (25/9/2019).

Dalam hal ini, Febri mengatakan rumusan undang-undang hanya mengambil sebagian dari putusan MK, namun tidak terbaca posisi KPK sebagai badan lain yang terkait kekuasaan kehakiman dan lembaga yang bersifat constitutional important.

Pegawai KPK juga akan menjadi aparatur sipil negara (ASN), sehingga ada resiko independensi terhadap pengangkatan, pergeseran dan mutasi pegawai saat menjalankan tugasnya.

Kedua, terkait pengaturan bahwa pimpinan KPK adalah penanggung jawab tertinggi dihapus. Ketiga, soal adanya Dewan Pengawas yang lebih berkuasa dibanding pimpinan.

"Keempat, kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Bagaimana jika Dewan Pengawas tidak mengizinkan? Siapa yang mengawasi Dewan Pengawas?," kata Febri.

Kelima, standar larangan etik, dan antikonflik kepentingan untuk Dewan Pengawas lebih rendah dibanding pimpinan dan pegawai KPK. Dalam Pasal 36 tidak berlaku untuk Dewan Pengawas, sehingga, dewan ini tidak dilarang menjadi komisaris, direksi, organ yayasan hingga jabatan profesi lainnya.

"Dewan pengawas tidak dilarang bertemu dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara yang ditangani KPK. Sementara itu pihak yang diawasi diwajibkan memiliki standar etik yang tinggi dengan sejumlah larangan dan ancaman pidana di UU KPK," kata Febri.

Poin keenam, yakni dewan pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun.

Ketujuh, pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga akan beresiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.

Kedelapan, salah satu pimpinan KPK pasca UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur, yakni kurang dari 50 tahun.

"Terdapat ketidakcermatan pengaturan untuk usia pimpinan KPK minimal 50 tahun, padahal keterangan dalam kurung tertulis 'empat puluh' tahun (Pasal 29 huruf e)," kata Febri.

Kesembilan, pemangkasan kewenangan penyelidikan. Yakni penyelidik tidak lagi dapat mengajukan pelarangan terhadap seseorang ke luar negeri. Menurut Febri, ini beresiko untuk kejahatan korupsi lintas negara dan akan membuat para pelaku lebih mudah kabur ke luar negeri saat penyelidikan berjalan.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Kewenangan Penyadapan

Poin ke-10 terkait dengan pemangkasan kewenangan penyadapan, di mana penyadapan tidak lagi dapat dilakukan di tahap penuntutan dan jadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi yang harus dilalui.

Poin ke-11, operasi tangkap tangan (OTT) menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK.

Bahkan, pada poin ke-12, terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi, yaitu Pasal 6 huruf a yang menyebutkan KPK bertugas melakukan tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi.

Poin ke-13, ada risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan karena aturan yang tidak jelas di UU KPK. Terdapat ketentuan pemusnahan seketika penyadapan yang tidak terkait perkara, namun tidak jelas indikator terkait dan tidak terkait, ruang lingkup perkara dan juga siapa pihak yang menentukan ketidakterkaitan tersebut.

Sedangkan pada poin ke-14, ada risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus. Di satu sisi UU meletakkan KPK sebagai lembaga yang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi. Namun di sisi lain, jika Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, ada resiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri.

Poin ke-15 dan ke-16 terkait dengan berkurangnya kewenangan penuntutan, di mana dalam pelaksanaan penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait. Tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.

Poin ke-17, pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN.

Poin ke-18, terdapat ketidakpastian status pegawai KPK, apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat resiko dalam waktu dua tahun bagi penyelidik dan penyidik KPK yang selama ini menjadi Pegawai Tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN.

Poin ke-19, jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara.

Melumpuhkan Kerja KPK

Poin ke-20, diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara, seperti: Perlunya izin untuk memeriksa pejabat tertentu.

Pasal 46 UU KPK yang baru terkesan menghilangkan sifat kekhususan (lex specialis) UU KPK, padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harusnya dihadapi dengan cara-cara dan kewenangan yang luar biasa.

Poin ke-21, terdapat pertentangan sejumlah norma, seperti: Pasal 69D yang mengatakan sebelum Dewan Pengawas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah. Sementara di Pasal II diatur UU ini berlaku pada tanggal diundangkan.

Poin ke-22, hilangnya posisi Penasihat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan, apakah Penasihat menjadi Dewan Pengawas atau Penasihat langsung berhenti saat UU ini diundangkan.

Poin ke-23, hilangnya kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik

Poin ke-24, KPK hanya berkedudukan di ibu kota negara. KPK tidak lagi memiliki harapan untuk diperkuat dan memiliki perwakilan daerah. Dengan sumber daya yang tersedia saat ini dan wilayah kerja seluruh Indonesia KPK dipastikan akan tetap kewalahan menangani kasus korupsi di seantero negeri.

Poin ke-25, tidak ada penguatan dari aspek pencegahan. Kendala pencegahan selama ini ketika rekomendasi KPK tidak ditindaklanjuti juga tidak terjawab dengan revisi ini. Seharusnya ada kewajiban dan sanksi jika memang ada niatan serius memperkuat Kerja Pencegahan KPK.

Poin ke-26, kewenangan KPK melakukan supervisi dikurangi.

"Dari 26 poin di atas kami pandang sangat berisiko melemahkan atau bahkan riskan bisa melumpuhkan kerja KPK. Karena beberapa kewenangan yang dikurangi adalah kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini," kata Febri.

Menurut dia, jika ada pihak-pihak yang mengatakan revisi UU KPK saat ini memperkuat KPK, baik dari aspek penindakan ataupun pencegahan, dilihat dari 26 poin di atas hal tersebut tidak dapat diyakini kebenarannya.

"Selain itu terdapat ketidaksingkronan antarpasal, hingga menimbulkan tafsir yang beragam sehingga menyulitkan KPK dalam penanganan perkara korupsi ke depan," kata Febri.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya