Tolak Pengesahan RUU KKS, DPR Diminta Utamakan RUU PDP

DPR dan pemerintah diminta mengkaji ulang atas kebutuhan keamanan siber, identifikasi aktor dan kebutuhan tiap sektor.

oleh Muhammad Ali diperbarui 27 Sep 2019, 15:32 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2019, 15:32 WIB
RUU KKS
Koalisi Masyarakat Sipil menggelar jumpa pers terkait RUU KKS. (Istimewa)

 

Liputan6.com, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil mendesak DPR agar menunda pembahasan Rancangan Undang-undang Kemanan dan Ketahanan Siber pada periode ini. Pemerintah dan DPR dinilai seharusnya lebih fokus membahas RUU tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) ketimbang RUU KKS yang berpotensi mengancam kebebasan sipil.

“Sebab RUU Perlindungan Data Pribadi akan memberi jaminan bagi perlindungan warga negara,” kata Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar dalam konferensi pers penolakan Koalisi Masyarakat Sipil atas pengesahan RUU KKS di Kantor Setara, Jakarta Selatan, Jumat (27/9/2019).

DPR dan pemerintah diminta mengkaji ulang atas kebutuhan keamanan siber, identifikasi aktor dan kebutuhan tiap sektor, perumusan ulang rancangan, serta pelibatan pemangku kepentingan yang lebih luas dalam proses perumusan RUU KKS ini. Mengingat besar dan luasnya materi yang akan diatur.

“DPR seharusnya membuka ruang lebih panjang dan luas dengan pemangku kepentingan, tidak hanya pemerintah, tapi rakyat dan pemangku kepentingan bisnis,” pesan Wahyudi.

Hal lain yang menjadi perhatian serius Koalisi Masyarakat Sipil yaitu perlunya secara tepat menerjemahkan pendekatan berbasis hak asasi manusia (HAM) dalam perumusan aturan mengenai keamanan siber, demi menjamin keamanan individi, protokol, perangkat, data, jaringan dan infrastruktur penting lainnya, bukan sebaliknya, justru mengancam kebebasan sipil dan menciptakan ketidakamanan individu.

Negara, kata Wahyudi, memegang tanggung jawab penuh untuk melindungi hak dan keamanan warganya. Dan bila diperlukan kelompok bisnis dan pemangku kepentingan lainnya dapat terlibat secara konstruktif dan secara kritis dalam setiap pengembangan dan impelementasi kebijakan siber.

“Oleh karenanya pengembangan kebijakan dan upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah untuk menangani keamanan siber, harus dilakukan secara terbuka dan inklusif, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan,” paparnya.

Hal senada disampaikan peneliti HAM dan sektor keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie. Dia berpendapat secara umum pembahasan RUU KKS cenderung dilakukan secara tergesa-gesa dan minim partisipasi publik.

Kondisi ini menurutnya menimbulkan dugaan kecurigaan adanya kepentingan di balik pembahasan RUU KKS.

 

Panduan Keamanan Siber

KKS
Koalisi Masyarakat Sipil menggelar jumpa pers terkait RUU KKS. (Istimewa)

Sebagai sebuah rancangan aturan yang akan menjadi panduan dalam keamanan siber di Indonesia, rumusan RUU ini sangat menekankan pendekatan “state centric”, sehingga gagal memberikan kejelasan untuk memastikan perlindungan keamanan indovidu, perangkat, dan jaringan dalam ruang siber.

Di samping itu, pada ketentuan umumnya, RUU ini juga lebih banyak memberikan definisi yang identik dengan pengaturan keamanan nasional pada aspek pertahanan. Sedangkan elemen-elemen dalam keamanan siber seperti sistem komputer, perangkat dan jaringan siber terlupakan.

Hal lain yang disoroti Koalisi Masyarakat Sipil, kata Iksan, perihal terciptanya ambiguitas dalam tata kelola dan kerangka kerja kelembagaan yang berwenang. Kondisi ini berpotensi overlapping kewenangan, bahkan memunculkan sengketa kewenangan.

“RUU ini bekum mampu mengidentifikasi dengan baik kebutuhan kebijakan dan peran bagi tiap sektor dalam penyelenggaraan keamanan siber, sehingga belum bisa menghadirkan kerangka kerja dan tata kelola keamanan siber yang baik dan jelas," ujar dia.

Kondisi ini justru menciptakan kerentanan dalam keamanan siber, khususnya bagi bisnis dan masyarakat sebagai pengguna. Sejumlah pasal yang dianggap bermasalah dalam RUU ini antara lain Pasal 1, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 10 ayat (4), Pasal 11 ayat (2), Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 28, Pasal 31, Pasal 38, Pasal 47, Pasal 48.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya