Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pesimis bisa mengungkap kasus-kasus korupsi besar jika revisi UU Nomor 30/2002 diterapkan. Pasalnya, dalam UU tersebut terdapat Pasal 40 tentang penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Dalam pasal tersebut berbunyi lembaga antirasuah dapat menghentikan proses penanganan perkara jika tak kunjung rampung dalam waktu paling lama dua tahun.Â
"Kalau penanganan perkara di KPK dibatasi waktunya dua tahun, mungkin kasus seperti TPPU atau kasus seperti TCW (Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan) ini tidak mungkin terbongkar," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Kamis (10/10/2019).
Advertisement
Dalam kasus Wawan, KPK membutuhkan waktu setidaknya 5 tahun untuk membongkar dan mengembalikan aset setengah triliun dari hasil korupsi adik dari mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah itu.
Tak hanya itu, masih banyak kasus-kasus dengan nilai kerugian negara yang besar dan membutuhkan waktu yang lama dalam proses penyidikan. Salah satu kendala lamanya menelisik kasus megakorupsi lantaran sifatnya lintas negara.Â
"Kasus e-KTP, BLBI, korupsi di sektor kehutanan, pertambangan, atau kasus lain yang butuh perhitungan kerugian keuangan negara yang signifikan, atau kasus besar yang bersifat lintas negara, itu tidak mungkin atau katakanlah sulit untuk selesai dalam waktu dua tahun," kata Febri.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Kejahatan Luar Biasa
Febri mengatakan, penerbitan SP3 oleh KPK hanya satu dari puluhan poin dalam revisi UU KPK yang akan melemahkan pemberantasan korupsi.
Menurut Febri, pemberantasan korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang membutuhkan kekhususan untuk menanganinya.
"Sementara untuk kasus tindak pidana umum saja tak ada batas waktu. Nah ini yang kami lihat ada pertentangan antar satu dan yang lain. Sehingga kami menyimpulkan pada saat itu, ini ada salah satu poin yang sangat beresiko melemahkan KPK," kata dia.
Advertisement