HEADLINE: Tekan Angka Gugat Cerai dengan Kelas Pranikah, Seberapa Efektif?

Sertifikasi nikah dinilai sebagai upaya untuk menekan angka perceraian yang sudah mengkhawatirkan. Apakah ini akan efektif?

oleh Muhammad AliPutu Merta Surya PutraMuhammad Radityo PriyasmoroYopi Makdori diperbarui 20 Nov 2019, 00:03 WIB
Diterbitkan 20 Nov 2019, 00:03 WIB
Ilustrasi Pernikahan
Ilustrasi Pernikahan (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Wacana sertifikasi nikah yang dicanangkan Kemenko PMK menimbulkan pro dan kontra. Ada yang menyebut program ini dibutuhkan, namun tak sedikit yang menilainya menambah daftar panjang yang bakal merepotkan calon pengantin.

Program sertifikasi nikah ini rencananya bakal diterapkan pada 2020 dan tidak dipungut biaya alias gratis.

Namun menurut Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama, Mohsen, pihaknya sebagai leading sector bimbingan pernikahan mengaku belum mengetahui formatnya. Perlu kajian mendalam sebelum menerapkan kebijakan itu.

"Ada rapat koordinasi di Kemenko PMK. Kami diundang di situ, saya kira Kemenko PMK akan mencari masukan dan bentuknya seperti apa. Apa yang kira-kira cocok untuk diterapkan nanti," kata Mohsen saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (19/11/2019).

Ia menduga, model yang bakal diterapkan tak jauh berbeda dengan yang sudah dipraktikkan Kementerian Agama. Dalam tiga tahun terakhir, Kemenag telah mengadakan kelas pranikah selama dua hari secara full day dengan materi beragam.

Dalam metodenya, lanjut Mohsen, para calon pengantin diajak berdiskusi dan aktif mengikuti beberapa games menarik. Mereka juga tidak mendengarkan ceramah dengan monoton. "Calon pengantin enjoy karena mendapatkan nilai tambah," ucap Mohsen.

Dia menjelaskan, sertifikasi merupakan hadiah yang didapat calon pengantin dari hasil pelatihan yang diikutinya. Karena setiap kegiatan, biasanya akan mendapatkan tanda kelulusan.

"Yang penting, mendapatkan pengetahuan dalam mempersiapkan rumah tangga baru. Itu intinya," tegas dia.

Namun begitu, dia menegaskan, perlu kajian mendalam jika sertifikasi nikah menjadi syarat untuk melangsungkan sebuah perkawinan. Sebab pihaknya tidak menerapkan hal demikian.

"Perlu kajian panjang dan mendalam, sejauh mana efektivitas ini. Kita tidak mau dikesankan mau menyulitkan padahal sesungguhnya kita ingin memudahkan," terang Mohsen.

Infografis Polemik Wacana Sertifikasi dan Kelas Pranikah. (Liputan6.com/Triyasni)

Lebih jauh dia menjabarkan, sebenarnya sertifikasi ini sebagai wujud tanggung jawab pemerintah tentang pentingnya dalam mempersiapkan sebuah perkawinan. Karena fenomena perceraian di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan.

"Tahun 2017 saja sudah mencapai 20 persen. Tiap tahun makin tahun meningkat. Dan lebih mengejutkan lagi, angka gugat cerai justru tinggi. Ini keprihatinan kita," ucap dia.

Dia meyakini nantinya program ini tidak hanya menyasar pada calon pengantin saja, tapi juga kepada mereka yang sudah berusia menikah. "Mungkin ini maksudnya kalau perspektif jangka panjangnya," ucap Mohsen.

Nantinya, program ini dapat diikuti dengan fleksibilitas waktu yang bisa disesuaikan. Sehingga ketika akan menikah, calon pengantin itu sudah mengantongi persyaratan utama ini.

"Andaikata mau dibuat seperti itu ya. Tapi ini juga belum ada konkretnya," ujar Mohsen.

Terlepas dari pro kontra, ia mengungkapkan ada sisi positif dari rencana program ini. Menurutnya, bimbingan terhadap calon pengantin sangat diperlukan sebelum keduanya menjalani kehidupan rumah tangga.

"Persiapan tentang seluk beluk berumah tangga. Karena mereka akan menghadapi kondisi yang rentan dengan perceraian," ujar dia.

Sementara itu, Psikolog Ni Made Diah Ayu Anggreni menilai program ini terlihat baru dari pemerintah. Tapi sebenarnya sudah berjalan.

"Misalnya di agama Katolik, sebelum menikah prasyaratnya mengikuti konseling pranikah. Ini kan sebenarnya pelaksanaannya diberikan pengetahuan seperti apa kehidupan setelah nikah, apa nanti perbedaannya sebelum dan sesudah nikah," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (19/11/2019).

Bahkan di daerah Yogyakarta, tempat yang dulu ia pernah praktik, calon pengantin juga diminta surat dari psikolog. "Jadi program ini sudah berjalan, sekarang kan pemerintah hanya ingin menstandarisasi," ucap dia.

"Yang perlu diperhatikan pelaksanannya. Kan sudah berjalan di agama dan beberapa daerah agar tidak double. Kan tujuannya sama," imbuh dia.

Made Diah meyakini sertifikasi nikah memiliki tujuan mulia. Namun agar manfaat itu terasa bagi calon pengantin, pemerintah hendaknya dapat menerapkan secara tepat.

"Tujuannya saya yakin positif. Dan pelaksanaannya harus benar dan tidak menyusahkan masyarakat. Karena dampaknya positif," demikian Psikolog di Personal Growth ini.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Jangan Terlalu Berat

Liputan 6 default 5
Ilustraasi foto Liputan 6

Sementara itu Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas menilai arahan Menko PMK Muhadjir Effendi merupakan sesuatu yang baik. Namun dalam penerapannya jangan membuat susah masyarakat.

"Bagus, cuma bagaimana cara menyelenggarakannya agar tak terlalu berat," ujar Abbas saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (19/11/2019).

Ia mengakui program sertifikasi nikah ini akan menjadi beban bagi masyarakat. Namun begitu, semua pihak harus berembuk guna mencari format yang tepat.

"Itu harus kita pikirkan bersama. Mungkin berat tapi jangan sampai memberatkan sehingga jangan sampai niat orang untuk berkeluarga terganjal sertifikasi itu," ucap dia.

Anwar meyakini, upaya ini akan dapat menekan angka perceraian di Indonesia. Karena dengan adanya pembekalan, calon pasutri akan mendapatkan pengetahuan-pengetahuan tentang hak dan kewajiban dalam rumah tangga.

"Misal istri merasa tak melanggar hak suami, begitu pun sebalikya, tapi kan untuk menjadi hal demikian, harus dijelaskan (dalam kelas pranikah)," ucap dia.

Hal senada disampaikan Wakil Sekjen MUI Bidang Fatwa, KH Salahuddin Al Ayyubi. Dia menilai program ini bagus untuk diterapkan sebagai upaya untuk menekan angka perceraian.

Sebab selama ini, banyak pihak memberikan saran kalau solusi menurunkan angka perceraian dengan menaikkan usia pernikahan. Namun hal itu belum cukup tanpa disertai bimbingan.

"Itu yang menjadi kunci di antaranya menyiapkan calon mempelai saat akan menikah," kata Salahuddin kepada Liputan6.com, Selasa (19/11/2019).

"Kita mendukung program yang dilakukan pemerintah dalam hal memberikan konseling terhadap para calon pranikah," imbuh dia.

Dalam Islam, lanjut Salahuddin, Nabi Muhammad SAW meminta umatnya yang sudah mampu agar segera menikah. Arti kata mampu ini bukan hanya terkait finansial semata, namun juga dari sisi kesiapan mental.

MUI pun menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah terkait konsep sertifikasi yang akan diterapkan. Yang terpenting, tujuan utama berumah tangga bisa tercapai. "Yaitu terciptanya kehidupan yang sakinah mawadah warahmah," kata Salahuddin.

 

Modul Bimbingan Perkawinan

pernikahan
ilustrasi menikah/Photo by wendel moretti from Pexels

Kemenko PMK terus menyiapkan langkah terkait wacana sertifikasi nikah. Pada Selasa (19/11/2019), Menko PMK Muhadjir Effendy menerima tim penyusun modul bimbingan perkawinan untuk calon pengantin Kementerian Agama.

Tim yang dipimpin Alissa Wahid ini sangat mendukung wacana Menko PMK untuk memberikan bimbingan pranikah kepada calon pengantin.

Di hadapan Muhadjir Effendy, Alissa Wahid mengapresiasi wacana ini untuk menyempurnakan dan memperkuat program bimbingan pranikah kepada calon pengantin.

Menurutnya, dia dan Tim penyusun modul bimbingan perkawinan untuk calon pengantin Kementerian Agama sudah lama menanti kebijakan pemerintah dalam memberikan bimbingan pranikah kepada calon pengantin.

“Jujur saja, selama ini isu keluarga belum sentral jadi kebijakan pemerintah,” jelas Alissa.

Sejak 2016, sebutnya, Kementerian Agama sudah ingin merevitalisasi kursus calon pengantin yang ada. Selama ini kursus calon pengantin yang berlangsung menjadi pertanyaan apakah sudah mampu menjawab tantangan zaman. Apalagi ketika itu, stunting belum menjadi isu utama.

Disisi lain, KUA selama ini hanya menyelenggarakan pernikahan saja tidak ada pembekalan bagi calon pengantin. “Kita tentu prihatin, di saat yang sama terjadi 1.100 perceraian setiap harinya,” paparnya.

Merujuk pada pengalaman gereja Katolik yang membekali calon pengantin, para praktisi keluarga dan hukum Islam kemudian mulai mendesain bimbingan perkawinan. Kecakapan hidup berkeluarga menjadi salah satu poin dalam bimbingan perkawinan.

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kemenko PMK, Agus Sartono Effendy menegaskan, Kemenko PMK telah dan akan mengumpulkan beberapa pihak untuk menyempurnakan gagasan yang telah dilakukan Kementerian Agama beberapa tahun terakhir.

“Jadi, tadi Pak Menko telah mendengarkan dengan baik gagasan dari tim dan akan ditindaklanjuti dengan mengundang seluruh stakeholder terkait,” ujarnya.

Menurutnya akan banyak Kementerian/ Lembaga (K/L) terkait yang terlibat dalam pembekalan bagi calon pengantin. Ada Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian PPPA, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hingga BKKBN.

“Kita akan sempurnakan modul bimbingan perkawinan. Disederhanakan agar mudah dipahami,” jelasnya.

Agus menambahkan, kelak informasi yang disampaikan dalam modul juga disesuaikan dengan bahasa masing-masing daerah di Indonesia. Termasuk dengan instrukturnya yang berasal dari tokoh adat setempat. Pertimbangannya, masih ada yang belum menguasai bahasa Indonesia dan masyarakat masih mau mendengarkan tokoh adat setempat.

Pemerintah, lanjut Agus, sejak awal memang ingin membangun ketahanan keluarga. Jika ini terbangun, ketahanan nasional akan kuat.

Terkait deadline pelaksanaan pembekalan calon pengantin, Agus menegaskan, bahwa program pembangunan manusia ialah never ending process.

“Kita tahu dalam setahun terdapat 2 juta pasangan baru, sementara APBN hanya mampu meng-cover tidak lebih 10% untuk melakukan pelatihan bagi calon pengantin,” terangnya.

Karenanya pemerintah juga menggandeng komponen masyarakat seperti Muslimat NU dan PP Aisyiyah dan lainnya yang biasa memberikan bimbingan bagi calon pengantin untuk bersinergi.

"Silakan saja, yang penting kontennya baik dan mudah dipahami,” pungkasnya. 

Dia juga menegaskan, seseorang masih dapat menikah meskipun tidak mengikuti kegiatan pranikah dan tak memiliki sertifikat. Karena, sertifikatnya sendiri belum sesuai dengan jumlah pengantin baru.

"Tetap bisa (menikah enggak dapat sertifikat). Karena kita juga dari 2 juta pasangan pengantin baru, kapasitas kelembagaan pemerintahan baru menjangkau 10 persen," tegasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya