Mengajar di Pulau Terluar hingga Rayu Petinggi GAM, Ini Kisah Inspiratif Para Guru

Memperingati HUT PGRI, berikut kisah para guru yang menginspirasi di Hari Guru Nasional.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Nov 2019, 20:42 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2019, 20:42 WIB
Ilustrasi guru
Ilustrasi (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Hari Guru Nasional menjadi simbol perjuangan para guru di Indonesia. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, Senin (25/11/2019), ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional.

Memperingati HUT ke-74 Persatuan Guru Republik Indonesia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menyampaikan pesannya kepada guru melalui rekaman video. 

Mantan CEO Gojek ini mengharapkan sebuah perubahan untuk pendidikan Indonesia yang semua dimulai dari seorang guru. 

"Perubahan tidak dapat dimulai dari atas. Semuanya berawal dan berakhir dari guru. Jangan menunggu aba-aba, jangan menunggu perintah. Ambilah langkah pertama," ucap Nadiem yang diambil dari penggalan naskah pidatonya. 

Dalam unggahan video yang tersebar di Twitter, Nadiem Makarim mengatakan menjadi seorang guru itu merupakan tugas mulai, namun juga tersulit .

Dia pun menyampaikam sederet pesan yang menggugah hati warganet di Hari Guru. Salah satunya Nadiem ingin agar para guru mulai mengajak anak didiknya berdiskusi dan beri kesempatan kepada siswa untuk mengajar di kelas. 

Berikut kisah inspiratif perjuangan seorang guru melakukan perubahan demi pendidikan yang dihimpun Liputan6.com:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Kisah Jein, Guru di Perbatasan Filipina

Jein Taruh, Bertaruh Nyawa Jadi Guru di Perbatasan Filipina
Sudah 10 tahun Jein mengabdikan diri menjadi guru di pulau terpencil Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina. (Liputan6.com/ Yoseph Ikanubun

Sudah 10 tahun Jein mengabdikan diri menjadi guru di pulau terpencil Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina.

Bagi perempuan bernama lengkap Jein Irene Taruh, menjadi guru di perbatasan punya tantangan tersendiri. Jumlah siswa yang sedikit, ditambah mahalnya transportasi jadi tantangannya.  

Bukan tanpa alasan alumnus Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Negeri Manado (Unima) bersedia mengajar di pulau terluar, di SMP Negeri 4 Lirung, Kecamatan Kalongan, Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara.

Jein menuturkan, dirinya lahir dan besar di dataran Dumoga, Kabupaten Bolmong, Sulawesi Utara. Darah sebagai putri daerah Talaud yang mengalir dari sang ayah yang membawanya untuk datang mengabdi di daerah leluhurnya itu.

"Saya mengajar di sekolah ini sesuai dengan Surat Keputusan penempatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah mulai Maret 2009," ungkap Jein, guru Matematika lulusan 2008 itu.

"Suka dukanya memang terasa di awal bekerja. Transportasi dan biaya hidup sehari-hari yang mahal. Belum lagi di sekolah jumlah siswa yang sedikit untuk pemenuhan kebutuhan rombongan belajar dalam mencapai target 24 jam pelajaran," sambungnya.

Wanita kelahiran Mogoyunggung, Kabupaten Bolmong, 2 Januari 1982 ini juga mengisahkan bagaimana harus menempuh laut yang bergelombang jika ingin mengurus keperluan ke ibu kota kabupaten.

"Apalagi lautan yang sewaktu-waktu cuacanya berubah-ubah," ujarnya.

Cuaca ekstrem merupakan suatu kendala besar baginya yang memang tidak terbiasa dengan kondisi daerah kepulauan. Apalagi jika harus kembali ke ibukota Provinsi Sulut, bisa menghabiskan waktu 12 jam perjalanan, dengan menggunakan kapal laut.

"Seiring berlalu waktu, semuanya itu sudah terbiasa," ujarnya.

Menjadi guru di pulau terpencil, dengan berbagai kendala yang dialami ternyata tidak menyurutan tekad Jein untuk memberikan yang terbaik bagi pendidikan anak-anak kepulauan.

"Bahagia mengajar anak-anak yang polos dan lugu, yang baru sedikit tersentuh modernisasi dan gaya hidup masa kini. Saya akbrab dengan mereka, tidak ada jarak yang memisahkan, layaknya orang tua dan anak. Punya masalah dibicarakan bersama sehingga dapat mencari solusi bersama. Dan itulah kami berada di sini,”"paparnya.

Lingkungan kerja yang nyaman, jauh dari kebisingan dan polusi juga membuat dia semakin mencintai daerah pengabdiannya. Jein mengaku sampai saat ini masih ingin bertahan di Talaud. Apalagi anggota keluarga berada bersamanya. Suaminya mengabdikan diri sebagai tenaga pendidik, sementara anak-anaknya juga bersekolah di Talaud.

"Saya bahagia di sini dengan mereka yang sudah saya anggap keluarga sendiri. Saya merasa nyaman, bukan hanya di sekolah, tapi juga dalam hidup bermasyarakat. Penduduk yang ramah yang mau menerima bahkan suka berbagi dengan kami," tutur Jein.

 


Niken Apriani, Guru SMP yang Tebar Spirit Lewat Membatik

Kisah Guru Niken Apriani Tebar Spirit Membatik dengan Teknik Pewarnaan Gutha Tamarin
Niken Apriani, guru SMP di Cimahi menjadi penggebrak teknik pewarnaan pada batik dengan menggunakan gutha tamarin. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Niken Apriani seakan tak pernah jemu membekali siswanya dengan pengetahuan membuat kriya. Gebrakannya dalam teknik pewarnaan batik menggunakan gutha tamarin atau serbuk biji asam, bikin proses membatik jadi lebih mudah dilakukan siswa.

Niken sehari-hari bertugas sebagai guru SMP di Cimahi. Dia telah 23 tahun mengajar mata pelajaran seni rupa di SMPN 3 Cimahi. Setelah bertugas di sana, Niken saat ini menjadi pelaksana harian (Plh) di SMPN 13 Cimahi.

Selama puluhan tahun mengajar, Niken melihat pelajaran seni rupa di sekolah kerap dipahami sebagai seni rupa murni, yang menghasilkan karya pada keindahan atau ekspresi seperti lukisan.

Niken lalu mencari tahu kegiatan seni rupa di luar seni murni yang bisa diterapkan ke siswanya. Ia pun mencoba memberikan pengetahuan tentang kriya. Saat itu ia ingin mengajarkan teknik batik pada siswa-siswinya.

Pada 2009, Niken mulai berkenalan dengan kriya yang diasuh Doddie K. Permana, seorang desainer tekstil dan konsultan tekstil asal Bandung. Dia mendapatkan pelatihan membatik dengan menggunakan malam dingin yang merupakan salah satu terobosan dalam industri tekstil.

"Saya belajar dari Pak Doddie, yang mengembangkan gutha dari pupuk urea. Tapi ketika beliau tak punya pupuk urea, saya mencari alternatif," kata Niken saat berbincang kepada Liputan6.com, Sabtu, 23 November 2019.

Niken pun tak langsung mempraktekkan pelajaran membatik yang diserapnya. Karena proses membatik sendiri menuntut banyak peralatan seperti kompor, api, lilin, canting, dan lain-lain. Pihak sekolah juga melarang penggunaan kompor atau segala jenis proses dengan menggunakan api.

"Sementara bahan guthanya yang dari urea itu sulit dicari," ujar Niken.

Niken memutar otak. Dia mencari alternatif bahan perintang pengganti malam atau lilin pada teknik membatik.

Bahan yang dicari Niken adalah pengental warna atau manotex. Ketika berbelanja bahan ini ke Tasikmalaya, Niken justru diberi tahu sang pedagang untuk menggunakan bubuk biji asam atau tamarin sebagai pengganti manotex. Dari sinilah muncul ide menggunakan tamarin sebagai pengganti lilin.

"Sebelum ke tamarin itu saya pakai manotex, bahan untuk perintang yang berfungsi sebagai pengental," ujarnya.

Niken lalu menjajal bisi asam jawa yang telah ditumbuk menjadi bubuk itu sebagai pengental warna. Tidak ada ukuran pasti untuk campurannya. Namun, diusahakan agar tak terlalu kental atau encer. Tamarin serbuk tersebut ditambah margarin untuk memberikan kandungan minyak. Sehingga pada proses pencucian, gutha bisa dibersihkan dengan cepat.

Bahan yang telah teraduk kemudian dimasukkan ke dalam pembungkus berbentuk kerucut. Bentuknya mirip alat penghias kue yang bagian ujungnya bolong agar bahan perintang bisa digoreskan ke kain batik.

Inovasi yang dilakukan wanita 54 tahun ini, membuat para siswa-siswinya menjadi lebih tertarik membatik. Risiko seperti tumpah lilin panas tidak ada lagi karena karena sifat gutha tamarin yang dingin.

 


Pak Guru Rasino, Berjuang dalam 'Kegelapan' Melestarikan Gamelan

Pak Guru Rasino, Berjuang dalam 'Kegelapan' Melestarikan Gamelan
Rasino penyandang tuna netra yang menjadi guru gamelan di SMKN 8 Surakarta sedang memainkan instrumen gender.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Saat memegang tabuh, kedua tanganna begitu lihai memainkan salah satu instrumen gamelan, gender. Walau tak bisa melihat, pria ini begitu hafal dengan nada dan ketukan nada pentatonis.

Pria ini adalah Rasino. Saat itu, Rasino sedang mengiringi siswa kelas 1 Jurusan Perdalangan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 8 Surakarta melaksanakan ujian pentas wayang kulit.

Rasino merupakan tenaga pendidik untuk kelas Jurusan Perdalangan SMKN 8 Surakarta. Meski statusnya masih Guru Tidak tetap (GTT), ia begitu gembira menjalani hari-harinya sebagai pendidik. Keterbatasannya sebagai penyandang difabel tunanetra tidak menyurutkan semangatnya menjalani peran sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Perjuangan Rasino menjadi guru tak kenal lelah. Sebelum dia menjadi guru SMKN 8 Surakarta, dia pernah menjadi guru di Sasana Rehabilitasi Penyandang Cacat Netra (SCPRN) Purworejo selama delapan tahun sejak 2003 hingga 2011. 

Tugas tersebut dilakukan dengan rasa keikhlasan hati yang begitu mulia. Padahal, jarak yang harus ditempuh Rasino lumayan jauh dari rumahnya di Ngringo, Palur, Karanganyar.

"Saya berangkat dari rumah di Palur (Karanganyar) jalan kaki ke terminal (sekitar 2 km). Lalu dari terminal ke Stasiun Balapan naik angkutan umum. Kemudian dari Balapan ke Purworejo naik kereta Prameks, " kata dia mengenang perjuangannya untuk tetap melestarikan gamelan tradisional.

Rasino tak mengajar di Purworejo setiap hari, tetapi dua kali dalam sebulan harus bolak-balik Solo-Purworejo yang berjarak sekitar 110 kilometer. Sekali mengajar di Purworejo bisa tiga hari.

Dia mengaku sengaja mengambil pekerjaan itu untuk membiayai kuliahnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Walaupun awalnya hanya digaji Rp 150 ribu per bulan, tetapi Rasino tetap bersyukur dan tidak mengeluh dengan gaji kecil itu.

"Besar kecil honor yang kita terima itu relatif. Mensyukuri semua yang diberikan Allah. Yang terpenting niatnya ikhlas," ujar Rasino.

Selama mengajar di Purworejo, Rasino harus berjibaku untuk lulus dari kuliahnya di Jurusan Karawitan ISI Surakarta. Belum lagi masalah keuangan yang menderanya. Ia menyelesaikan kuliahnya dalam waktu 11 tahun. Maklum menuntaskan kuliah adalah salah satu cita-citanya.

Walaupun memiliki keterbatasan tidak bisa melihat, tetapi Rasino mengaku selama menjadi guru di jurusan perdalangan ini belum pernah mengalami pelecehan dari para muridnya. Malahan mereka memberikan rasa hormat yang tinggi kepadanya. Alhasil, hubungan yang tercipta antara guru dan murid seperti halnya cinta kasih dan kasih sayang antara orangtua dengan anak.

"Sama sekali tidak (dilecehkan). Justru saya mendapatkan penghargaan yang luar biasa dari para siswa SMK ini. Mereka itu benar-benar tidak menganggap remeh kepada saya. Justru menurut pengakuan mereka maupun civitas malah menganggap saya itu sebagai sumber inspirasi," ujar dia.

Baginya, dengan memiliki kemampuan menguasai permainan instrumen gamelan memang menjadi nilai tambah. Dengan kelebihan yang dimilikinya itu, Rasino tidak menjadi sombong tetapi malah kian menunduk dengan penuh kerendahan hati. Ia pun berharap dengan kemampuan menguasai gamelan diharapkan akan memberikan manfaat kepada orang lain.

"Saya cuma ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain begitu saja. Jadi saya kepengin setiap orang yang kenal dengan saya itu ada manfaat yang bisa diambil dari diri saya," harapnya.


Zaimah, Manusia Laut dan Guru Pulau Terluar RI

Zaimah, Manusia Laut dan Guru Pulau Terluar RI
Zaimah, sarjana Matematika yang mengabdikan dirinya menjadi manusia laut demi bisa mengajar anak-anak SMP 48 di Pulau Pecong, Kepri. (foto: Liputan6.com/ajang nurdin)

Masih adakah seorang guru yang harus berburu murid agar ia utuh menjadi guru? Rupanya di pulau-pulau terluar di Republik ini, hal itu masih jadi pemandangan biasa.

Zaimah, adalah seorang guru perahu. Disebut guru perahu karena dari tempat tinggalnya menuju tempatnya mengajar harus berperahu. Ombak besar dan kecil, sudah biasa ia terjang. Mengajar dengan pakaian basah teriprat air laut, hampir selalu terjadi.

Zaimah bukanlah guru negeri dengan sertifikasi yang gaji dan fasilitasnya oke. Ia adalah guru honorer di SMP N 48 Pulau Pecong, Kecamatan Belakang Padang kawasan Hiterland Kota Batam. Sudah empat tahun ia mengabdi sebagai guru honorer.

Mengawali karier sebagai guru honorer, Zaimah sendiri lahir dan dibesarkan dari daerah yang tergolong tertinggal dalam bidang pendidikan. Dia lahir dari masyarakat nelayan, dimana pendidikan bukan menjadi prioritas.

"Saya tak mau anak-anak di Pulau Pecong putus sekolah seperti teman-teman saya. Apalagi dulu anak - anak nelayan tidak diperhatikan urusan sekolahnya," kata Zaimah.

Sebagai guru honorer, Zaimah mulai mengampanyekan pentingnya pendidikan anak pulau. Zaimah tak sendiri, ia juga mengajak guru-guru lain berkampanye pentingnya pendidikan. Kini anak-anak Pulau Pecong mayoritas sudah bersekolah.

"Penduduknya memang sekitar 200 KK, jenjang sekolah TK sampai SMA juga sudah ada. Tapi memang tak seperti di Batam," kata Zaimah.

Zaimah pandangannya menerawang seperti mengingat masa kecilnya. Ia lalu bercerita bahwa saat ia masih bocah, guru-guru yang mengajar didatangkan dari pulau lain. Guru-guru pendatang itu akhirnya banyak yang menikah dengan warga setempat.

"Ini juga memberi dampak bagus kesadaran pendidikan bagi pulau-pulau di perbatasan," kata Zaimah.

Perjuangan Zaimah seperti mendapat suntikan energi. Adalah awal 2019 saat Hinterland atau pulau-pulau terluar mendapat prioritas pembangunan. Ditandai dengan masuknya listrik di pulau-pulau terluar itu.

Belum juga energi baik dari masuknya listrik bisa dioptimalkan, dukungan juga datang dari operator seluler yang mulai memprioritaskan pembangunan tower seluler. Namun yang kedua ini selain membawa manfaat, juga membawa dampak buruk.

"Pendidikan di Pulau Pecong mendapatkan masalah setelah gawai atau telepon pintar masuk dan menjadi racun bagi anak. Game mengakibatkan semangat belajar anak- anak tidak fokus dan menyepelekan pelajaran," kata Zaimah.

Bercerita ini, mata Zaimah seperti menahan bendungan air. Sejurus nampak berkaca-kaca seperti menahan tangis. Barangkali ia teringat susahnya membangkitkan kesadaran akan pendidikan yang butuh waktu panjang, namun berantakan dalam sekejap.

 


Apudin, Guru SD Lulusan SD di Kampung yang Dikepung Lautan

Apudin, Guru SD Lulusan SD di Kampung yang Dikepung Lautan
Apudin, Guru SD berpendidikan SD yang kini sudah mengikuti sekolah persamaan, kejar paket B dan C. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Secara administratif, Dusun Bondan terletak di Desa Ujungalang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah. Tetapi, lokasinya benar-benar terpencil lantaran terpisah laguna, hutan mangrove dan sungai.

Kondisi ini tak ayal menyebabkan pendidikan di dusun ini jauh ketinggalan. Semenjak didiami kisaran 1997 lalu, hanya ada satu sekolah dasar (SD). Itu pun hanya Filial SD Negeri Ujungalang.

Seperti layaknya sekolah terpencil lainnya, jumlah siswanya pun minim, hanya 15 anak mulai kelas 1 hingga 6. Semuanya adalah anak-anak Dusun Bondan.

Lantaran terpisah, banyak guru yang enggan mengajar di sekolah terpencil ini. Lokasinya memang sulit dijangkau lantaran harus menembus laguna dan menyusur kanal yang merupakan urat laguna.

Satu-satunya guru yang bertahan adalah Apudin. Warga asli Bondan. Dia sebenarnya bukan warga asli Cilacap. Pada pertengahan 1990-an, dia pindah dari Tangerang ke wilayah ini untuk membuka tambak.

Tetapi, tambaknya gulung tikar. Beragam masalah membuat produksi tambaknya begitu minim. Toh, ia tetap bertahan di Dusun Bondan dan mengajar di sekolah terpencil ini.

"Jujur saya hanya lulus SD. Tapi saya prihatin dengan kondisi pendidikan di Dusun Bondan,” ucap Apudin.

Melihat pendidikan anak-anak Bondan yang mengenaskan, warga lantas mengusulkan pendirian sekolah. Pada 2002, sekolah itu berdiri.

Guru dari luar Bondan datang silih berganti. Nampaknya tak ada yang bertahan lama. Kalau pun memakai sistem piket, terkadang tak jalan.

Apudin yang semula hanya bantu-bantu mengajar, kini justru menjadi guru utama. Dia lah satu-satunya guru yang setia belasan tahun mengajar di sekolah terpencil ini.

"Saya sekolah persamaan. Sekarang sudah paket C," katanya.

Seringkali, Apudin mengajar sendirian, mulai dari kelas 1 hingga kelas 6. Bisa dibayangkan repotnya mengajar belasan anak yang berbeda tingkatan kelas. Apudin lalu mengembangkan sendiri metode belajar mengajar di sekolah terpencil ini. Dia tak menggunakan silabus maupun Rencana Pelaksanaan Pendidikan (RPP).

Di sekolah ini, total ada 15 siswa. Seluruhnya merupakan warga Dusun Bondan, Desa Ujungalang. Meski mengajar satu sekolah, Paudin tak lantas menuntut fasilitas yang berlebih. Terpenting, anak-anak bisa mengakses pendidikan di kampungnya sendiri.

"Jarak menjadi persoalan. Untuk menuju Ujungalang, harus dengan perahu. Kalau untuk ke Kawunganten, harus menempuh perjalanan sejauh tujuh kilometer. Anak-anak tidak akan sanggup," dia mengungkapkan.

Perjuangan Paudin mulai membuahkan hasil. Kini, jumlah anak putus sekolah di Dusun Bondan relatif rendah. Sejak 2002, sekolah ini telah meluluskan sembilan angkatan.

Namun, ia pun masih prihatin dengan rendahnya tingkat pendidikan anak-anak Dusun Bondan. Seringkali, anak-anak tak melanjutkan ke SLTP. Usai lulus SD, mereka terjun ke tambak, atau menjadi nelayan. Beberapa lainnya membantu ayah, paman atau kakeknya menggarap sawah.

Perjuangan Paudin mengajar di sekolah terpencil sendian selama belasan tahun tak lepas dari perhatian Pemda Cilacap. Paudin diangkat menjadi Pegawai Tidak Tetap (PTT) Kabupaten Cilacap.

"Transportasinya Rp 3 juta, tapi itu tiga bulan. Jadi per bulan Rp 1 juta," kata Paudin.

Dia mengakui, jumlah honor itu memang terlampau minim untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Karenanya, ia tak meninggalkan tambak.


Guru Aceh Rayu Petinggi GAM agar Anak-Anak Diizinkan Sekolah

Samsuir, Guru Aceh Rayu Petinggi GAM agar Anak-Anak Diizinkan Sekolah
Samsuir (Liputan6.com/Rino Abonita)

19 Mei 2003, pemerintah melancarkan sebuah operasi militer terpadu di Aceh. Lebih kurang 30.000 serdadu serta 12.000 ribu polisi dikirimkan ke Serambi Makkah.

Ini menjadi operasi terbesar dalam sejarah kemiliteran Indonesia selain Operasi Seroja di Timor Timur pada 1975. Provinsi paling barat pun mengalami masa-masa yang paling mencekam seiring baku tembak yang terjadi di mana-mana, belum lagi situasi kaos dan teror yang menyasar

Di tengah gelojak itu, seorang pria memberanikan diri mendatangi salah seorang petinggi separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sedang meriung bersama beberapa orang pasukannya di sebuah warung bekas pada suatu siang. Niatnya pada saat itu cuma satu.

Ia berharap bisa menggugah hati sang petinggi GAM agar dirinya diizinkan mengajak anak-anak yang ada di rayon militer tersebut bersekolah. Tentu saja ia tahu apa akibat dari tindakan nekatnya karena mengajukan sesuatu yang akan dianggap sebagai sikap terselubung membela NKRI.

Pada masa-masa itu, sekolah dianggap sebagai simbol pemerintah oleh GAM. Alasannya, sekolah mengindoktrinisasi anak-anak Aceh agar mencintai NKRI dengan pendidikan Pancasila-nya.

Apa yang ditakutkan pun terjadi. Petinggi GAM kawasan Tripa itu berang bukan kepalang mendengar permintaannya. Ia bahkan menyebut lelaki itu seorang Aceh yang hipokrit.

"Kalau kata-katanya memang tidak bisa saya ucapkan. Karena pribadi saya tersinggung sekali. Istilahnya, saya disebut tidak ada darah Aceh-lah. Saya sedih juga bagaimana saya dimaki-maki saat itu," kisahnya kepada Liputan6.com, Kamis, 21 November 2019.  

Namun, bukannya beranjak, Samsuir malah duduk menekur tak jauh dari para pemberontak yang sedang marah sambil menunjukkan air muka bersedih. Di dalam hati, ia masih berharap Tuhan akan membuka mata hati petinggi GAM tersebut.

Satu jam kemudian, sang petinggi GAM itu tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya. Dia menghampiri lelaki tersebut dengan sebatang rokok yang menyelip di antara bibirnya yang legam.

"Dia bilanglah, bolehlah. Kalau memang tujuan kamu itu baik. Yang kamu tidak boleh ajarkan Bahasa Indonesia. Sejarah Jawa. Itu, lambang-lambang Pancasila, bendera merah putih itu, yang ada di rumah sekolah turunkan, kalau perlu dibakar. Saya diam saja saat itu,'' cerita Samsuir. 

Berkat tindakannya di hari itu, jumlah anak-anak yang bersekolah di kawasan itu pun bertambah sedikit demi sedikit. Demi mewujudkan visinya, ia bahkan menyambangi setiap rumah untuk mendata anak-anak yang tidak bersekolah.

"Saat itu, saya berpikir, kalau saya biarin terus, sia-sia saja anak-anak ini. Bisa jadi korban semua ini," kata guru bernama Samsuir itu.

Samsuir menjadi tenaga honorer rangkap di beberapa sekolah di Kecamatan Tadu Raya sejak tahun 2000. Dirinya menjadi guru rangkap demi menutupi kekurangan tenaga pendidik di tempat itu karena jarang yang mau mengajar di daerah pelosok apalagi daerah yang dimarkahi sebagai basis separatis.

"Yang sudah Pegawai Negeri Sipil (PNS) pun keluar dari situ," cerita Samsuir.

Samsuir menjadi guru mata pelajaran olahraga dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) untuk tingkatan sekolah dasar hingga atas dengan gaji berdasarkan kebijaksanaan kepala sekolah. Dalam sebulan, dirinya mendapat upah jerih dengan total Rp 96.000.

Belakangan, Samsuir menjadi guru kontrak di salah Sekolah Menengah Atas (SMA), namun, tidak lama. 

Di Aceh Singkil, dia diminta menjadi guru untuk anak-anak tingkatan Sekolah Dasar (SD), tetapi, hanya bertahan selama 8 bulan. Kehidupan ekonomi yang morat-marit telah memaksa Samsuir untuk menitipkan istri dan calon jabang bayinya ke kampungnya di Aceh Selatan, sementara, ia merantau ke Ranah Minang.

"Saya kerja di salah satu perusahaan kelapa sawit di Sumatera Barat. Saya baru kembali ke Nagan Raya, pada 2006, setelah Memorandum of Understanding (MoU)," kata dia.

 

(Rizki Putra Aslendra)

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya