Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan, pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi terkait hukuman mati hanyalah retorika ketegasan. Sebab, hukuman mati hanya seolah terlihat tegas padahal dalam praktiknya lembek.
"Studi hukuman mati seperti di Kanada tidak menimbulkan efek jera karena lebih mencerminkan kegagalan sistem pemerintahan, seperti kalau ada gratifikasi, berarti sistem pencegahan yang tidak beres. 143 negara mengakhiri eksekusi hukuman mati dan itu adalah negara penandatangan konvensi antikorupsi," kata Usman dalam diskusi Cross Check by Medcom di Upnormal Coffee, Jakarta, Minggu (15/12/2019).
Baca Juga
Jokowi Turun Gunung di Jakarta dan Jateng, PDIP: Tanda Elektabilitas RK dan Luthfi Merosot
Top 3 Berita Hari Ini: Demi Dukung Maarten Paes di Laga Timnas Indonesia vs Arab Saudi, Model Top Luna Bijl Datang ke Jakarta
4 Fakta Pertemuan Jokowi dan Ridwan Kamil di Jakarta, Ajak Blusukan hingga Undang Kampanye Akbar
Dia juga mengutip studi di California, Amerika Serikat yang mengatakan bahwa pelaksanaan hukuman mati lebih mahal dari hukuman seumur hidup. Sebab, saat praktiknya banyak tenaga sumber daya disiapkan seperti pengamanannya, proses dan sebagainya.
Advertisement
Selain itu, Usman memandang, soal metode eksekusi hukuman mati, seperti dipenggal atau suntik mati adalah hukuman kejam dan tak manusiawi.
"Saya tak melihat argumen atau bukti yang memadai untuk mendukung hukuman mati, jadi apa pun kejahatannya harus menghindari praktik hukuman mati ini," Usman menandasi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Hukuman Mati Koruptor
Wacana hukuman mati bergulir usai Presiden Jokowi mengutarakannya saat Hari Antikorupsi Sedunia 2019. Kala itu Presiden Jokowi coba menjawab pertanyaan hukuman mati bagi koruptor dari seorang siswi SMK 57 Jakarta.
Â
Advertisement