Resensi Buku Indonesia Rumah Kita: Potret Keberagaman di Rumah Indonesia

Buku ini memuat buah pemikiran dari banyak tokoh di negeri ini. Nama-nama pemikir itu juga tidak asing, seperti Buya Syafi’i Maarif, Alissa Wahid, Mahfud MD, Butet Kertaradjasa, dan lain lain.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Apr 2021, 21:30 WIB
Diterbitkan 27 Des 2019, 16:00 WIB
Banner Indonesia Rumah Kita
Indonesia Rumah Kita adalah buku perdana Liputan6.com yang mengulas soal toleransi dalam bingkai keberagaman.

Liputan6.com, Jakarta Pemilu 2019 boleh dibilang peristiwa besar di Republik ini yang memakan anggaran besar sekaligus menjadi momen terberat dalam ujian keberagaman kita. Masa-masa pra dan pascapemilu pertama Pilpres, cukup sering terjadi pertikaian sebab pilihan berbeda yang kemudian merembet ke ragam isu SARA. Hingga sekarang, Republik ini masih diuji dengan isu-isu keberagamaan dan usaha-usaha untuk membuat homogen.

Di tengah itu, muncul beragam respons masyarakat. Mulai dari anak-anak muda yang giat menyuarakan keberagaman dalam berbagai aktivitas, hingga banyak pemikir yang tampil di publik. Dan salah satunya adalah hadirnya buku Indonesia Rumah Kita (Liputan 6, 2019).

Dalam buku ini dihimpun buah pemikiran dari banyak tokoh di negeri ini. Nama-nama pemikir itu juga tidak asing, seperti Buya Syafi’i Maarif, Alissa Wahid, Mahfud MD, Butet Kertaradjasa, dan lain lain. Juga muncul nama-nama sastrawan yang seperti Faisal Oddang dan Linda Christanty. Semuanya ibarat sebuah parlemen sidang, sedang menguatkan keragaman Republik ini dari sudut kepakaran masing-masing.

Boleh disimpulkan bahwa keberagaman yang dipotret dalam banyak tulisan buku ini adalah keelokan ragam budaya dan anomali gesekan akibat keelokan tersebut.

Fokus yang dibahas Agni Malagina adalah potret keberagaman Indonesia dari sepotong kain batik Tiga Negeri. Batik tiga warna yang memadukan pola batik dari Lasem, Pekalongan, dan Solo. Pun tiga warga: merah, biru, dan cokelat sogan. Perpaduan tiga kawasan ini juga yang dijadikan potret betapa cair budaya Indonesia, khususnya batik. Sepotong wastra tersebut mampu mengadopsi khazanah masing-masing daerah. Lebih dari itu Batik Tiga Negeri juga menjadi cawan peleburan atas budaya Nusantara, Tiongkok, dan Belanda.

Tiga ciri warna dipercaya memiliki arti merah getih pitik (merah darah) cerminan tradisi Tionghoa dari Lasem, biru indigo Belanda Pekalongan, dan cokelat sogan yang sarat makna filosofi Jawa (hlm 20).

Selain wastra, negara kita juga kaya akan bahasa daerah. Ini yang dipotret oleh Joni Endardi. Kepala Bidang Pengembangan Strategi Kebahasaan, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kemedikbud ini mengutarakan perihal betapa kayanya bahasa daerah kita.

Sumpah Pemuda memang memproklamirkan bahwa rumpun-rumpun bahasa itu akan menjungjung hormat pada bahasa kesatuan Bahasa Indonesia. Tampak bahwa itu kelak akan menafikan bahasa-bahasa daerah demi unggulnya bahasa persatuan. Namun ternyata, peristiwa paling sastrawi dalam sejarah Indonesia itu--meminjam kalimat Butet Kartarejasa--menyediakan ruang netral untuk saling berinteraksi, tanpa melukai, dan merasa bahasanya lebih tinggi dari bahasa lain.

Endardi membuktikan dengan kosakata malam dan mata saja bisa memunculkan banyak sekali lema dari bahasa daerah. Keberagamaan ini adalah kekayaan linguistik yang bila tidak dirawat dapat musnah dan digerus bahasa-bahasa prokem dan bahasa asing.

 

Indonesia Rumah Kita

Wayang Beber, Karakter Budaya Indonesia yang Dituangkan Ghea Panggabean dalam Koleksi Tablewear
Mengintip koleksi tablewear bermotif wayang beber yang dirancang oleh Ghea Panggabean (Foto: Vinsensia Dianawanti)

Kebudayaan Indonesia beragam bukan hanya dalam perkara wastra dan bahasa. Beberapa esai dalam buku ini memaparkan pundi-pundi kebudayaan yang harus diterima beragam. Mulai dari kesenian daerah, teater, atau ritual-ritual kebudayaan dari penjuru Indonesia. Namun, bila boleh yang sepertinya belum banyak dibahas adalah hal kuliner. Hanya satu esai membahas makna toleransi agama Islam dan Hindu dari semangkuk soto Kudus.

Urusan soto, sambal, satai, misalnya, memiliki ragam dan wujud asimilasi budaya di setiap daerah. Keberagaman racikan tidak kemudian memunculkan pertikaian antarpenggemar masing-masing soto. Pelajaran menghargai perbedaan dari ragam kuliner akan membuat pembicaraan dalam buku semakin komprehensif. Dan ketidakhabisan kekayaan Indonesia untuk dibahas dalam kerangka keberagaman justru menguatkan klausa di awal bahwa Indonesia memang lahir untuk heterogen.

Menarik adalah mencermati dua esai milik Faisal Oddang dan Linda Christanty. Dua esai cukup panjang ini tidak berusaha membeberkan keberagaman lewat data maupun jawaban-jawaban sekadar formalitas dan normatif. Keduanya justru mengambil sisi lain dari indahnya keragaman: bahwa muncul konflik yang entah sengaja atau tidak dibiarkan begitu saja.

Di balik kebudayaan bissu di Toraja, muncul persoalan lain, yaitu musnahnya bissu sebab muncul kecenderungan homogen dalam masyarakat juga soal kepentingan ekonomi. Eksistensi bissu sebagai produk kebudayaan Toraja dewasa mulai terkikis oleh budaya lain yang tampil lebih dominan.

Gesekan-gesekan lain akibat perbedaan juga ditengarai menjadi sebab banyak peristiwa berdarah. Linda Christanty mencoba membalik fakta di balik keragamaan bernama Indonesia ada banyak kasus berdarah yang sengaja disimpan di bawah permadani zamrud khatulistiwa. Perbedaan bila diperlakukan keliru terbukti menjadi bahan bakar konflik horizontal, hingga berdarah.

Topik-topik pembahasan dalam buku sejatinya adalah tamparan halus kepada kelompok-kelompok yang berusaha membuat wajah Indonesia homogen. Fakta-fakta lapangan yang diejawantahkan penulis dalam buku ini bukti telak hal tersebut. Hingga tidak sekadar menjadi bangsa besar yang menghargai sejarah, juga memberikan perbedaan.

Jelas di luar buku ini, masih banyak unsur-unsur di tengah masyarakat yang menyuratkan keragaman Indonesia. Buku ini sekelumit dari lautan perbedaan dalam kehidupan bangsa kita. Mengutip kalimat Gus Dur dalam tulisan Alissa Wahid: yang sama, jangan dibeda-bedakan. Yang beda, jangan disama-samakan. Kemajemukan harus bisa diterima, tanpa ada perbedaan (hlm. 39).

Namun, menjaga kemajukan bukan sekadar dengan peneriman. Gus Dur mengajukan syarat utama penopang hal tersebut, yakni kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan.

Bangsa kita mau tidak mau harus diakui belum sepenuhnya memenuhi tiga syarat tersebut. Bangsa kita masih terus mengupayakan. Oleh sebab itu, buku ini hadir tatkala bangsa ini diuji kekuatan dalam menjaga kesatuan di tengah perbedaan.

 

Informasi Buku:

Judul      : Indonesia Rumah Kita

Penulis   : Ahmad Syafi’i Maarif, Mahfud MD, Benny Susetyo, Alissa Wahid, Faisal Oddang, dkk.

Penerbit : Liputan Enam

Edisi      : Pertama, 2019

Tebal     : 255 halaman

ISBN     : 978623918509 

 

[]

 

Teguh Afandi

Penulis adalah editor buku.

 

 

 

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya