Liputan6.com, Jakarta Nama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri muncul dalam sidang pembacaan nota keberatan atau eksepsi Bupati Muara Enim Nonaktif, Ahmad Yani, yang merupakan terdakwa kasus 16 paket proyek jalan senilai Rp 130 miliar.
Terkait hal itu, Firli menegaskan sama sekali tidak terlibat dengan permainan atau pun aliran dana dalam perkara tersebut.
"Saya tidak pernah menerima apapun dari orang, keluarga saya pun sudah kasih tahu jangan menerima apapun. Jadi pasti ditolak," tutur Firli saat dikonfirmasi, Selasa (7/1/2020).
Advertisement
Firli menyatakan, dirinya tidak pernah mencoba untuk menerima pemberian apapun dari orang lain. Termasuk saat menjabat sebagai Kapolda Sumatera Selatan.
"Semua pihak yang mencoba memberi sesuatu kepada saya atau melalui siapa pun, pasti saya tolak. Termasuk saat saya jadi Kapolda Sumsel. Saya tidak pernah menerima sesuatu," jelas Firli.
Bupati Muara Enim nonaktif Ahmad Yani menyampaikan eksepsi atas kasus yang menimpanya. Eksepsi disampaikan penasihat hukum terdakwa, Maqdir Ismail kepada majelis hakim dalam sidang lanjutan dugaan korupsi 16 proyek perbaikan dan peningkatan jalan tahun anggaran 2019 di Muara Enim di Pengadilan Tipikor Palembang, Selasa (7/1/2020).
Dalam nota keberatan, Maqdir menyebut nama Firli Bahuri saat penyidik KPK melakukan penyadapan terhadap Kabid Pembangunan Jalan Dinas PUPR Muara Enim Elfin Muchtar dan pengusaha Robi Okta Fahlevi. Elfin dan Robi saat ini juga tengah menjalani sidang dalam kasus yang sama.
Penyadapan mulai dilakukan ketika Elfin dan Robi berkomunikasi melalui pesan singkat pada 31 Agustus 2019 pukul 10.00 WIB. Mereka berinisiatif memberi uang kepada Firli Bahuri yang saat itu menjabat Kapolda Sumsel.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Atur Rencana Pemberian Uang
Pemberian uang rencananya dilakukan beberapa saat sebelum Ahmad Yani bertemu dengan Firli pada malam harinya dalam rangka silaturahmi.
Kemudian, Elfin meminta Robi menyuruh stafnya memberikan kopi kepada petugas patroli dan pengawal yang berjaga di rumah dinas Firli. Kemudian, Elfin menyuruh Robi menyiapkan uang USD 35 ribu atau senilai Rp 500 juta.
Elfin dan Robi pun kembali mengatur rencana tersebut pada percakapan selanjutnya pukul 12.00 WIB di hari yang sama. Komunikasi Elfin dan Ahmad Yani baru terjadi sore harinya, pukul 18.00 WIB.
Ketika itu, tidak ada permintaan yang jelas dari Ahamd Yani tentang rencana pemberian uang atau sesuatu kepada Firli. Elfin memberikan interpretasi sesuai dengan ide dan kepentingannya sendiri dalam rencana itu.
Untuk memudahkan realisasi pemberian uang, Elfin menghubungi ajudan Firli dan diberikan nomor telepon keponakan Firli, Erlan. Dalam sambungan telepon, Elfin menyebut ada titipan uang dari Ahmad Yani kepada Firli.
Erlan pun bersedia menyampaikan pesan itu kepada Firli. Namun sebelum itu, Erlan menyebut Firli tidak akan menerima uang sepeserpun dan dari siapapun.
"Erlan ketika itu menyebut rawan dan biasanya bapak (Firli) enggak mau (menerima uang)," ungkap Maqdir.
Maqdir mengatakan, meski pemberian uang tak teralisasi, rencana pemberian kepada Firli ini tidak dilaporkan KPK ke lembaga Polri. Padahal sudah ada perjanjian untuk supervisi.
Selain itu, kata dia, adanya upaya penyuapan kepada Firli ini tidak dikonfirmasikan penyidik KPK kepada Firli dan keponakannya Erlan. Justru jaksa KPK hanya mengandalkan penyadapan dan berita acara pemeriksaan untuk mengungkap fakta adanya upaya penyuapan.
"Dari penyadapan ke OTT itu jaraknya hanya tiga hari. Ini ada proses mereka mau menjegal Pak Firli. Apalagi ada perseteruan antara Firli dengan pimpinan KPK lama," kata dia.
Menanggapi hal itu, JPU KPK Roy Riyady menyebut eksepsi tersebut tidak masuk dalam nota keberatan, tetapi hanya tudingan. Namun, dirinya membenarkan pernyataan itu masuk dalam BAP terdakwa Elfin.
"Ini enggak akan dikonfrontir dengan ketua (Firli). Saya ambil contoh, misal ada orang pengen ngasih duit ke anda, yang mau dikasih tidak tahu. Fakta dari orang mau ngasih itu sah saja, tapi kan yang mau dikasih enggak tahu ceritanya," kata dia.
Advertisement