Liputan6.com, Jakarta - Kondisi 14 Anak Buah Kapal (ABK) Warga Negara Indonesia (WNI) yang diduga mengalami eksploitasi di kapal ikan berbendera Tiongkok saat ini semakin membaik setelah dipulangkan ke Tanah Air. Mereka terlebih dahulu menjalani karantina dan rehabilitasi sosial.
"Saat ini seluruh PMI ABK sudah terlihat lebih segar dan siap mendapatkan pelayanan rehabilitasi sosial di RPTC sesuai protokol dari Kementerian Kesehatan, seluruhnya dikarantina di sini selama 14 hari sambil menunggu proses hukum yang bergulir," kata Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat seperti dikutip dari Antara, Senin (11/5/2020).
Harry mengatakan, saat dijemput dari Korea Selatan dan dibawa ke Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Bambu Apus pada Jumat, 8 Mei 2020, ke 14 ABK tersebut tampak lelah dan kondisi psikologis mereka tertekan. Hal itu karena selama 14 bulan di laut mereka dieksploitasi.
Advertisement
Setiba di Tanah Air, mereka menjalani tes cepat atau rapid test untuk memastikan kondisi kesehatan dan dinyatakan semua negatif Covid-19.
Lebih lanjut Harry menjelaskan bahwa fokus RPTC adalah untuk melayani dan melindungi agar mereka tetap sehat. Selain itu, seluruh ABK diarahkan untuk mengikuti aktifitas layanan di RPTC yang bersifat penyegaran seperti olahraga, mengikuti pelatihan keterampilan, dan mengikuti aktifitas musik.
Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengurangi kejenuhan dan mengubah pola pikir supaya para ABK dapat lebih terbuka dalam menyampaikan perasaannya sebelum nantinya dikembalikan kepada keluarganya masing-masing.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Terapi Psikososial
Selanjutnya, RPTC Kementerian Sosial akan memberikan pendampingan dan advokasi sosial selama proses hukum berlangsung, memberikan terapi psikososial terutama penyembuhan trauma bagi apabila terindikasi mengalami gangguan traumatis.
Gangguan traumatis tersebut dimungkinkan terjadi pada para WNI ABK Kapal Long Xing karena diketahui bahwa seluruhnya mengalami tindak eksploitasi secara fisik, ekonomi, dan mental saat melaut.
Seluruhnya tidak memiliki waktu istirahat yang cukup, bahkan mereka harus bekerja selama 18 jam perhari, tidak diberikan pemenuhan kebutuhan gizi dan hak lainnya secara layak, dan bahkan tidak diberikan gaji yang sesuai dengan perjanjian awal.
Advertisement