Cegah Kisruh PPDB, Komisi X Usul Konsep Sekolah Swasta yang Dibiayai APBN

Apa yang menjadi pemicu kekisruhan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di setiap tahun ajaran baru?

oleh Yopi Makdori diperbarui 08 Jul 2020, 10:44 WIB
Diterbitkan 08 Jul 2020, 10:44 WIB
Memantau Pendaftaran PPDB DKI Jalur Zonasi
Petugas melayani pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Jalur Zonasi di SMA Negeri 21, Jakarta, Senin (24/6/2019). Pendaftaran PPDB DKI Jakarta Jalur Zonasi SMP-SMA dibuka pada 24-26 Juni 2019 mulai pukul 08.00-16.00 WIB. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Keterbatasan daya tampung sekolah-sekolah negeri menjadi salah satu pemicu kekisruhan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di setiap tahun ajaran baru.

Untuk itu pemerintah pun diminta membuat terobosan dengan menerapkan konsep Sekolah Amanat Undang-Undang (SAU). 

"Konsep SAU adalah sekolah swasta yang dibiayai APBN sehingga mempunyai kualitas seperti sekolah negeri. Dengan SAU ini calon siswa maupun orangtua siswa kian banyak opsi dalam memilih sekolah yang berkualitas," ujar Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, Selasa (7/7/2020).

Huda menjelaskan, keterbatasan akses menjadi salah satu persoalan besar pendidikan di Indonesia. Kondisi ini salah satunya tercermin dari angka partisipasi murni (APM) nasional baik di tingkat SMA, SMP, maupun SD. Di setiap jenjang Pendidikan tersebut angka anak usia didik yang tidak bisa bersekolah masih cukup besar. 

Huda menjelaskan, di jenjang sekolah menengah atas, APM nasional di kisaran 40 persen, SMP 30 persen dan SD 3 persen.

"Keterbatasan akses ini salah satunya dipicu karena daya tampung sekolah negeri yang terbatas sehingga tidak bisa menampung seluruh anak usia didik di masing-masing jenjang. Maka wajar jika setiap tahun PPDB akan kisruh apapun metodenya karena banyaknya pihak-pihak yang kecewa," ungkapnya.

Dia menilai SAU bisa menjadi solusi jangka pendek dan murah, mengingat saat ini banyak sekolah-sekolah swasta yang menyediakan layanan Pendidikan. Hanya saja sebagian besar sekolah-sekolah tersebut dikelola sekedarnya karena keterbatasan biaya. 

"Jika konsep SAU ini dilaksanakan maka pemerintah hanya wajib menyediakan biaya operasional sekolah tanpa terbebani dengan urusan infrastruktur maupun ketersediaan sumber daya manusia (SDM)," ujarnya. 

Konsep ini lanjut Huda, terbilang jauh lebih murah dibandingkan jika pemerintah harus membangun unit-unit sekolah baru untuk menampung seluruh peserta didik. Apalagi dalam satu dua tahun ke depan, anggaran pemerintah akan lebih banyak digunakan untuk memulihkan berbagai sektor terdampak wabah Covid-19.

"Saat ini dengan keterbatasan anggaran tidak mungkin dalam waktu singkat pemerintah bisa membangun unit sekolah baru yang dibutuhkan agar sesuai dengan jumlah peserta didik. Sedangkan Konsep SAU bisa diterapkan dalam waktu 1-2 tahun ke depan," paparnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Sudah Diterapkan di Banyak Negara

Untuk menjaga kualitas SAU, kata Huda bisa digunakan sistem diskualifikasi. Jika sekolah-sekolah swasta yang dibiayai oleh APBN tidak mampu memenuhi standar akademik, maka pada tahun berikutnya mereka didiskualifikasi dengan tidak lagi menerima biaya operasional sekolah. 

"Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud tinggal menentukan standar akademik yang harus dicapai sekolah-sekolah swasta. Jika tidak tercapai ya tinggal didiskualifikasi," jelasnya. 

Politikus PKB ini mengungkapkan konsep SAU telah diterapkan di banyak negara.

Di Amerika Serikat misalnya ada konsep Carter School. Konsep ini telah diterapkan sejak tahun 2000 dan meningkatkan akses pendidikan bagi banyak anak usia didik. Konsep ini juga telah banyak disuarakan oleh peggiat pendidikan di Tanah Air. 

"Saya mempunyai komitmen untuk mengusulkan konsep ini agar terakomodasi dalam pembahasan revisi UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang akan dibahas tahun depan," ujarnya. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya