HNW: Ada yang Dilupakan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Ancaman dan teror kepada siapapun, bertentangan dengan nilai demokrasi dan prinsip negara hukum, yang sudah disepakati berlaku di Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Agu 2020, 11:44 WIB
Diterbitkan 21 Agu 2020, 11:31 WIB
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid atau HNW
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid atau HNW (Foto:MPR)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid atau HNW menyatakan prihatin terhadap aksi teror, intimidasi, dan perundungan yang menimpa para ulama.

Perundungan itu terjadi menurut Hidayat karena pelakunya tidak menyadari betapa besar jasa dan peran para ulama bagi kemerdekaan serta keutuhan NKRI. Akibatnya, tanpa merasa bersalah sedikitpun, mereka terus meneror ulama.

Ancaman dan teror kepada siapapun, bertentangan dengan nilai demokrasi dan prinsip negara hukum, yang sudah disepakati berlaku di Indonesia.

Nilai-nilai demokrasi dan prinsip negara hukum itu seharusnya ditegakkan dan dipatuhi, bukannya malah dilanggar. Lebih memprihatinkan, karena pihak yang dintimidasi dan diancam, itu adalah para ulama.

"Ada yang tengah dilupakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yaitu relasi antara umat Islam dan negaranya. Seolah-olah ulama dan umat Islam Indonesia, tidak memiliki jasa apapun terhadap kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945," kata HNW di hadapan peserta Mukernas Pimpinan Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Pernyataan itu disampaikan HNW secara daring, saat menjadi narasumber Sosialisasi Empat Pilar MPR dan Narasi Kebangsaan KAMMI. Acara berlangsung di Aula Rumah Jabatan Anggota DPR, Komplek Kalibata, Jakarta Selatan Rabu (19/8/2020) malam.

Dalam berbagai catatan sejarah Indonesia, peran Ulama dan umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan dan keutuhan NKRI sangatlah jelas. Bersama-sama dengan para pejuang nasionalis, ulama dan umat Islam bahu membahu menegakkan pergerakan kemerdekaan.

Salah satu bukti pengorbanan ulama adalah kerelaan menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta dan menerima Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila pertama Pancasila.

"Kalau dulu, para ulama yaitu, Ki Bagus Hadikusumo, K.H Wachid Hasjim, Teuku M. Hasan, dan juga Kasman Singodimedjo tidak mau menghilangkan tujuh kata dalam piagam Jakarta, lalu balik mengancam akan keluar dari NKRI jika Piagam Jakarta tidak disahkan, niscaya proklamasi kemerdekaan 17 Agustus akan sia-sia saja. Tetapi, itu tidak dilakukan oleh para ulama, dengan ikhlas mereka menerima sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, demi menyelamatkan kemerdekaan dan menjaga kedaulatan NKRI," kata Hidayat menambahkan.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

NKRI

Lalu, ketika NKRI hilang, akibat perjanjian meja bundar dan digantikan dengan Republik Indonesia Serikat, umat Islamlah yang mengembalikan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Adalah Muhamad Natsir, Ketua Fraksi Partai Masyumi, pada 3 April 1950 menyampaikan pidato di depan DPR RIS. Dalam pidato yang dikenal sebagai Mosi Integral Natsir, itu Ia mengusulkan agar Indonesia kembali menjadi NKRI, sesuai cita-cita UUD 1945.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya