Liputan6.com, Jakarta - Bulan suci Ramadan disambut suka cita seluruh umat muslim di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Kendati masih dalam situasi pandemi COVID-19, antusiasme warga tak surut menjalankan ibadah puasa dan salat tarawih. Meski, dengan sejumlah pembatasan.
Sudah menjadi rahasia umum, di awal-awal Ramadan, biasanya masyarakat bakal memenuhi masjid-masjid. Bahkan kerap disebutkan bahwa tingkat religiusitas warga meningkat kala memasuki bulan Ramadan.
Di masa lalu, malah ada beberapa kelompok yang menunjukkan religiusitasnya di bulan Ramadan secara berlebihan lewat aksi agresif, seperti merazia warung makan di siang hari dan membubarkan tempat-tempat hiburan malam. Tindakan tersebut tidak jarang memicu kontroversi di masyarakat.
Advertisement
Baru-baru ini, Pemerintah Kota Serang, Banten, juga melarang restoran, rumah makan, warung nasi, dan kafe berjualan pada siang hari selama bulan Ramadan. Hal ini tertuang dalam Himbauan Bersama Nomor 451.13/335-Kesra/2021.
Tak urung, kebijakan ini langsung menimbulkan protes masyarakat, karena dianggap melanggar hak asasi manusia. Kebijakan itu juga ditanggapi tegas oleh Kementerian Agama.
Juru Bicara Kementerian Agama, Abdul Rochman, menyebut langkah Pemkot Serang melarang restoran, rumah makan, warung nasi, dan kafe berjualan di siang hari selama Ramadan, sangat berlebihan. Pemkot Serang dianggap membatasi akses sosial masyarakat dalam bekerja atau berusaha.
"Keberadaan rumah makan di siang hari juga dibutuhkan bagi umat yang tidak berkewajiban menjalankan puasa. Kebijakan ini tidak sesuai dengan prinsip moderasi dalam mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, dan cenderung berlebih-lebihan," kata Abdul Rochman dalam rilis yang diterima wartawan, Kamis (15/4/2021).
Abdul menegaskan, kebijakan tersebut diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia terutama bagi orang atau umat yang tidak berkewajiban menjalankan puasa Ramadan, aktivitas pekerjaan jual beli, dan berusaha.
Pria yang akrab disapa Adung ini mengatakan, Himbauan Bersama Pemkot Serang bertentangan dengan peraturan di atasnya, yaitu, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dia mendesak Pemkot Serang meninjau ulang kebijakan tersebut.
"Semua pihak harus bisa mengedepankan sikap saling menghormati. Bagi mereka yang tidak berpuasa, diharapkan juga bisa menghormati yang sedang menjalankan ibadah puasa. Sebaliknya, mereka yang berpuasa agar bisa menahan diri dan tetap bersabar dalam menjalani ibadah puasanya," ucap Staf Khusus Menteri Agama ini.
Keputusan ini sendiri diambil Pemkot Serang, Senin, (12/4). Walikota Serang, Syafrudin menyebut hal itu berdasarkan kesepakatan antara Pemkot, Kemenag dan MUI Kota Serang melalui rapat resmi.
"Prinsipnya menyesuaikan dengan surat edaran 4 menteri. Kota Serang dibolehkan melaksanakan ibadah tarawih, tadarus, perayaan Idul Fitri. Tempat hiburan umum, karoke, kafe, bilyard dan sejenisnya agar diberhentikan selama bulan Ramadan demi mencegah timbulnya kerusakan masyarakat," kata Sayfrudin, Kamis.
Pemkot Serang juga melarang warganya mudik atau pulang kampung. Sesuai anjuran dari pemerintah pusat.Â
Terkait hal ini, Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas, menekankan bahwa tidak perlu restoran atau rumah makan ditutup selama Ramadan, khususnya di siang hari. Namun, Anwar meminta ada penutup atau tirai yang digunakan restoran atau rumah makan demi menghormati orang yang sedang berpuasa.
"Seorang yang berpuasa harus menghormati orang yang tidak berpuasa. Dan agar sempurna, orang yang tidak berpuasa juga harus menghormati orang yang berpuasa. Nah timbul pertanyaan bagaimana caranya? Cara ya kalau akan membuka restoran ya ditutup lah sedikit, sehingga orang yang berpuasa tidak melihat orang makan," ujar Anwar Abbas saat dihubungi Liputan6.com.
Abbas menambahkan, "Restoran tentu saja silakan buka, tapi pakai tirai atau penutup, sehingga orang dari luar tidak bisa melihat orang yang di dalam sedang makan. Nah, itu berarti orang yang tidak berpuasa juga sudah menghormati orang yang berpuasa dan orang yang berpuasa menghormati orang yang tidak berpuasa."
Polri Siap Bertindak
Sedangkan terkait kemungkinan razia terhadap rumah-rumah makan atau tempat hiburan oleh kelompok-kelompok tertentu, Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri (Kabaharkam) Polri Komjen Agus Sulistyanto, memberikan imbauannya. Dia meminta masyarakat saling menghormati dalam konteks toleransi kehidupan beragama dengan mematuhi norma sosial/agama dan aturan undang-undang. Tidak melakukan tindakan melawan hukum dan tidak melakukan pelanggaran hukum.
Agus juga meminta masyarakat mengembangkan sikap saling menjaga dan memelihara kamtibmas baik selama bulan Ramadan maupun setelahnya.
Jika ada pihak-pihak yang coba-coba melakukan hal itu, Agus menjamin Polri akan mengambil tindakan hukum. "Sebab, tindakan penertiban terhadap kegiatan masyarakat, hanya boleh dilakukan oleh petugas yang diberi wewenang oleh undang-undang," ujar Agus kepada Liputan6.com.
Dia menambahkan, "Apabila ada pihak yang melakukan tindakan tidak berdasar ketentuan undang-undang maka tindakan itu ilegal dan merupakan perbuatan melawan hukum yang bisa dilakukan tindakan hukum."
Patuhi protokol kesehatan dengan tetap memerapkan prinsip 5 M walaupun sudah ada vaksinasi untuk mengefektifkan pencegahan dan menghentikan pandemi Covid-19 di Indonesia.
Sebelumnya, (MUI) juga sudah mengeluarkan Fatwa No 24/2021 tentang Panduan Penyelenggaraan Ibadah untuk Bulan Ramadan dan Syawal 1442 Hijriyah. Panduan itu diterbitkan menyikapi pelaksanaan ibadah dalam situasi pandemi Covid-19.
Pada intinya, MUI mengeluarkan tata cara pelaksanaan ibadah puasa, pelaksanaan salat fardu, tarawih, witir, tadarus, qiyamullail dan iktikaf. Selain itu, Fatwa MUI kali ini pun menjelaskan mengenai zakat fitrah, zakat mal, fidyah dan sedekah. MUI juga menjabarkan perihal pelaksanaan takbir, salat Idulfitri serta halal bihalal.
Saksikan Video Berikut Ini
Bukan Sekadar Ritual Keagamaan
Dalam ajaran Islam, bulan Ramadan adalah momentum umat muslim berlomba-lomba meningkatkan ibadah, karena bakal dilipatgandakannya pahala oleh Allah SWT. Selain puasa, bulan Ramadan identik dengan ibadah lain seperti salat tarawih, witir, tadarus, qiyamullail, dan iktikaf.
Sayangnya, seperti tahun lalu, suasana Ramadan tahun ini juga masih belum bisa seperti sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Masjid-masjid membatasi beberapa kegiatan selama Ramadan dan berkomitmen menerapkan protokol kesehatan.
Masjid Istiqlal di Jakarta, misalnya, yang membatasi sejumlah aktivitas ibadah selama Ramadan 2021. Kegiatan buka puasa bersama, sahur bersama, dan iktikaf ditiadakan demi mencegah penularan Covid-19. Pihak pengurus Istiqlal hanya membolehkan kapasitas 30 persen diisi oleh jamaah yang ingin melakukan salat lima waktu. Kebijakan yang hampir sama juga dilakukan berbagai masjid di Indonesia selama Ramadan tahun ini.
Perjalanan Panjang
Berdasarkan penelitian ADA, digital agency yang fokus pada pengembangan strategi pemasaran digital berbasis data, sebelum pandemi COVID-19, perilaku masyakarat Indonesia sepanjang Ramadan adalah sebuah perjalanan panjang yang tidak hanya melibatkan sisi konsumsi, tapi juga emosi.
Data yang dirilis ADA pada Februari 2020 menunjukkan adanya tren sepanjang bulan Ramadan seperti penggunaan aplikasi berbasis religi yang meningkat drastis. Menurut data ADA, peningkatan mencapai 327 persen untuk penggunaan aplikasi berbasis religi di Indonesia. Pemakaian aplikasi religi mulai naik jelang Ramadan dan mengalami puncaknya pada minggu pertama hingga minggu ke dua bulan Ramadan.
Selain itu, umat Muslim lebih memilih untuk menjalankan ibadah di masjid. Kebanyakan masyarakat rela meluangkan waktu beribadah di masjid selama Ramadan. Catatan ini tampak dari data milik ADA yang menunjukan adanya peningkatan kunjungan ke masjid dibandingkan mushola. Sedangkan beberapa minggu setelah Ramadan, kunjungan ke mushola berangsur naik.
Kemudian, data ADA juga menyebut bahwa mayoritas masyarakat lebih memilih makan di rumah, walaupun ada tradisi buka bersama yang sering dibarengi untuk ajang berkumpul atau reuni. Data ADA justru memperlihatkan bahwa selama Ramadan, banyak orang memilih makan di rumah. Pada saat yang sama, masyarakat juga ternyata menunjukkan antusiasme terhadap kegiatan memasak.
Dalam pandangan Pengamat Sosiologi Universitas Indonesia, Daisy Indira Yasmine, Ramadan di Indonesia bukan lagi sekadar ritual keagamaan. Daisy menilai, bagi orang Indonesia, Ramadan mungkin sudah menyatu menjadi bagian dari budaya atau kebiasaan, sehingga tingkat religiusitas setiap orang berbeda-beda.
"Ada yang tingkat religiusitasnya lebih condong mengarah kepada pemahaman bahwa bulan Ramadan ini dimaknai secara khusus sebagai bagian dari keimanan, tapi ada juga yang memaknainya religiusitas ini bagian dari kebiasaan budaya, walaupun semuanya budaya, tapi penekanannya ke mana itu beda-beda, sehingga polanya juga beda-beda," terang Daisy ketika dihubungi Liputan6.com.
"Ada yang secara serius menjalankan ini, ada yang lebih karena kebiasaan dan gaya hidup. Kalau yang ketiga mungkin yang nasional, yang artinya dia memaknai kegiatan di bulan Ramadan ini sesuai situasi dan kondisi," ujarnya.
Advertisement
Fenomena Sejak Dulu
Dosen Psikologi Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta, Ghazi Shalom mengatakan, perilaku masyarakat yang memenuhi masjid di awal Ramadan, tapi kemudian tidak ikut ibadah lagi di pertengahan, adalah fenomena yang sudah terjadi sejak dulu.
"Saya kira itu terkait dengan dinamika psikologi kita sebagai manusia. Di awal kita memang, segala sesuatu yang kita kerjakan, biasanya di awal periode itu semangat, motivasinya tinggi. Tapi seiring berjalannya waktu ada kejenuhan karena rutinitas. Akhirnya apa yang kita sering lihat, itulah yang terjadi," kata Ghazi kepada Liputan6.com.
"Pertanyaannya apakah semua orang begitu? Tentu tidak. Sebagian besar begitu, tapi sebagian kecil umat Islam tidak seperti itu. Siapa sebagian kecil itu? Yang betul-betul niatnya dan motivasinya kuat untuk beribadah puasa."
Menurut Ghazi, pada akhirnya semua tergantung pada niat dan motivasi dari tiap-tiap individu. "Kalau niat dan motivasi hanya untuk menjalankan rutinitas tahunan dan tidak dimasukkan unsur yang intrinsik bahwa puasa itu adalah kebutuhan untuk kita. Ketika itu tidak kita sadari, maka yang terjadi religiusitas di pertengahan atau di 3/4 Ramadan akan menurun."
"Kalau dalam bahasa agama itu niat, semua perilaku termasuk ibadah puasa itu tergantung motivasi dan niatnya. Dan kualitas seseorang itu sangat tergantung kepada motivasi apa yang ada di balik perilakunya."
Ghazi mengatakan, dalam perspektif psikologi juga sama. Kalau motivasi intrinsik yang kuat, maka kemungkinan besar dalam menjalankan puasa akan tetap stabil.
"Tapi kalau motivasinya entrinsik, maka di tengah jalan akan layu. Itu menjelaskan semua perilaku manusia, bukan hanya saat puasa," ucap Mitra Peneliti Laboratorium Psikologi Universitas Indonesia tersebut.
Di bulan Ramadan, toleransi antarumat beragama sangat penting. Contohnya adalah menghormati umat muslim dengan tidak makan atau minum di tempat umum. Menurut Ghazi, pada dasarnya sikap toleransi dibangun berdasarkan pergaulan sosial.
"Ketika kita bersama teman-teman setiap hari, sikap toleransi akan muncul. Rasa pemakluman, empati, simpati, ikut juga melakukan apa yang dilakukan teman, itu contoh toleransi dan terjadi. Jadi, efek pergaulan sosial bisa menambah toleransi kita. Jadi, semakin banyak kita bergaul dengan yang berbeda, kita akan semakin toleran."
"Mereka yang tidak toleran itu yang tidak kenal. Misalnya ada acara Lebaran, Natal atau Galungan, itu biasanya dengan teman dekat, kita akan toleran karena sudah kenal. Kalau belum kenal, pintu toleransi itu agak susah dibuka karena kurangnya informasi tentang orang tersebut," kata Ghazi.
Bahaya Fanatisme
Pengamat Sosiologi Universitas Indonesia, Daisy Indira Yasmine, juga berbicara terkait sikap masyarakat yang mengklaim religius, tapi dengan bertindak lewat razia warteg dan tempat hiburan. Daisy berpendapat bahwa secara sosiologis, fanatisme seperti itu kurang baik. Apabila tindakan seperti itu dilakukan, maka harus sesuai dengan nilai dan aturan yang dipakai di sebuah daerah.
"Maksudnya, kepercayaan seseorang terhadap suatu agama harus sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama itu, tapi kalau misalnya dibilang dia menganut kepercayaan kepada sesuatu hal yang berlebihan, bahkan tidak sesuai dengan merugikan masyarakat lain, kemudian merugikan atau bahkan mendiskreditkan orang lain atau sampai melakukan tindakan kekerasan, berarti kan ada masalah secara sosial," papar wanita yang meraih gelar Magister Ilmu Sosiologi di National University of Singapore ini.
"Fanatisme itu selalu bisa membahayakan, baik diri sendiri maupun orang lain. Kalau fanatisme yang seperti itu (razia tempat makan), kalau menurut saya tergantung ketegasan aturan yang berlaku, karena harusnya ada kejelasan informasi buat masyarakat apakah misalnya hal tersebut itu memang disepakati sebagai nilai yang tidak boleh dilaksanakan pada masa bulan Ramadan."
Apabila berbicara soal toleransi, Daisy menekankan, tingkat religiusitas orang memang berbeda-beda, namun toleransi harus menjadi suatu nilai umum yang berlaku untuk semua orang. Menurut dia, pengadut agama non-muslim di Indonesia juga punya toleransi tinggi dalam menghormati muslim yang tengah berpuasa.
Lestarikan Toleransi
Daisy menyatakan, di Indonesia toleransi menjadi nilai yang cukup kuat, karena sudah diajarkan sejak dini. Dia berharap nilai toleran ini harus dilestarikan dan berlaku untuk semua kelompok agar terus tercipta rasa saling menghormati antar pemeluk agama.
"Memang pada intinya, bulan ramadan itu bagi masyarakat Indonesia bukan sekadar ritual agama tertentu, karena sudah terintegrasi menjadi sebuah budaya masyarakat Indonesia. Kan banyak unsurnya, bukan sekadar ritual keagamaannya, tapi ada unsur misalnya buka bersama bareng, jenis makanannya sudah spesial seperti takjil, dan lain-lain," tuturnya.
"Akhirnya itu menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia, sehingga seluruh kelompok yang bukan muslim pun sebenarnya, akhirnya menikmati situasi atau bisa menerima situasi Ramadan ini dengan berbagai pembatasan, misalnya kalau makan tertutup atau dibatasi dengan tirai."
Dia berpendapat, asal ada aturan yang bisa diterima dan disepakati dengan baik oleh muslim maupun non-muslim, nilai-nilai toleransi bisa dilaksanakan dengan baik di masyarakat.
"Karena semua menikmati kok kalau bulan Ramadan ini, bukan hanya yang muslim. Artinya seperti yang saya bilang, kalau bukber bareng kan enggak mesti yang muslim, yang non-muslim juga datang," kata Daisy.
Setiap pemerintah daerah memiliki aturan yang berbeda-beda ketika bulan Ramadan. Hal ini menunjukkan sisi komposisi agama dan kelompok masyarakat di Indonesia yang sangat beragam, sehingga perlunya pemahaman yang luas.
"Jadi, nilai dan peraturan yang berlaku disesuaikan dengan konteksnya. Misalnya, kalau Bali kan mayoritas Hindu, aturan yang berlakunya beda. Misalnya di Sulawesi mayoritas Kristen ya aturan akan berbeda. Itu yang penting perlu ditekankan karena Indonesia masyarakatnya sangat beragam," jelasnya.
"Aturan-aturan yang diterbitkan ya seharusnya kontekstual dengan kondisi masyarakatnya dan toleransi sebenarnya juga konsep yang seperti itu. Toleransi kan harusnya secara konseptual adalah saling menerima perbedaan di semua konteks. Jadi, seluruh kelompok agama harus menerima perbedaan-perbedaan yang ada," kata Daisy.
Advertisement
Meningkatnya Kerukunan Antarumat Beragama
Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, menyebut bahwa datangnya Ramadan membuat suasana kehidupan keagamaan menjadi menarik dan meningkat. Menurut dia, syiar-syiar keagaam betul-betul tampak dan terasa selama bulan suci tersebut.
Anwar mengungkapkan, dalam kesempatan hari-hari besar dan suci masing-masing agama, suasana kehidupan keagamaan di Indonesia terbilang cukup semarak. Dia menilai itu menjadi hal baik bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa beragama.
"Kalau dalam Ramadan ya jelas umat Islam, tapi dalam hari sucinya umat agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu juga kita lihat semarak. Kesimpulan saya bahwa kita bergembira bahwa bangsa kita adalah bangsa yang beragama. Meskipun agama mereka berbeda-beda, tetapi satu hal yang sangat kita syukuri adalah ya toleransi di antara kita cukup tinggi," tutur Anwar ketika dihubungi Liputan6.com.
"Ini bagi saya suatu hal yang menggembirakan meskipun ada satu-dua tindakan-tindakan intoleransi, tetapi menurut saya, jangan sampai ya karena ada tindakan intoleransi satu-dua, kemudian kita sampai proses generalisasi bahwa di Indonesia tidak ada toleransi. Itu adalah kesalahan dalam mempergunakan logika dalam membuat kesimpulan," imbuhnya.
Pria yang meraih gelar Doktor Syariah dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini menegaskan, tindakan yang dapat membuat kerukunan beragama terus terjaga adalah dengan saling menghormati dan menghargai antar sesama.
"Kalau dalam ajaran Islam, itu jelas sekali dalam hal teologis Surat Al-Kafirun. Kita harus menghormati keyakinan orang lain dan orang lain juga harus menghormati keyakinan kita. Di dalam pergaulan sehari-hari, kita orang Islam dilarang saling mencela, dalam hal Ketuhanan, orang Islam dilarang mencela Tuhan agama lain. Kenapa dilarang? Karena kalau kita mencela Tuhan agama lain, maka orang agama lain juga akan mencela Tuhan agama kita. Jadi kesimpulan saya, di dalam Islam itu tidak ada yang mendorong orang Islam itu untuk intoleran," kata Anwar.
Hakikat Puasa
Pria yang pernah menjabat sebagai Bendahara Umum PP Muhammadiyah ini menerangkan bagaimana pengendalian diri merupakan hakikat puasa. Lewat puasa, menurut Anwar, pengendalian diri dilakukan agar manusia dapat mengatur ritme dan aktivitas kehidupan sesuai ketentuan agama.
"Jadi betul-betul diujilah keimanan dan ketakwaan kita. Apakah kita betul-betul patuh atau tidak kepada Tuhan. Ukurannya adalah, dia (manusia) penuhi ketentuan-ketentuan agama itu atau tidak, selama dalam melaksanakan ibadah puasa. Jadi, inti dari puasa adalah bagaimana puasa itu bisa mencetak umat Islam menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT," jelasnya.
Rintangan bagi umat muslim di Indonesia untuk konsisten beribadah sepanjang bulan suci Ramadan pun cukup banyak. Anwar sedikit memaklumi fenomena di mana pada pertengahan bulan Ramadan, jemaah di masjid berkurang ketika salat.
"Kalau tidak ada COVID-19, saya lihat itu biasa di tengah Ramadan sampai ujung itu sudah sibuk mempersiapkan diri untuk pulang kampung. Kemudian sudah siap untuk menyiapkan makanan dan hidangan untuk kepentingan Lebaran. Tetapi mungkin barangkali, itu bentuk beribadahnya yang mungkin agak berbeda. Sebenarnya membuat kue atau masakan kan juga ibadah. Menyenangkan hati istri dan suami, menyenangkan hati orang lain dan tetangga, saya rasa ibadah juga," kata pria berusia 66 tahun ini.
"Ketika di awal-awal Ramadan belum banyak yang merintangi. Kita belum banyak dirintangi kegiatan-kegiatan lain. Tapi, ketika sudah di tengah-tengah Ramadan, kita sudah dirintangi membeli pakaian untuk anak, memasak untuk kepentingan Lebaran, membuat kue dan segala macam. Kalau di awal-awal belum banyak yang merintangi. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan supaya kita tidak dirintangi oleh hal-hal yang pahalanya sedikit."
INFOGRAFIS
Advertisement