Liputan6.com, Jakarta Ketua Dewan Ahli Badan Penelitian Pusat (Balitpus) PDIP, Sonny Keraf mengatakan, sejak ditetapkannya UU Nomor 11 Tahun 2020 (Omnibus Law) Tentang Cipta Kerja, menjadi perhatian adalah sektor kehutanan.
Menurut dia, adanya PP Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan sebagai turunan menyebut bahwa hutan dan alam menjadi salah satu peran penting bagi keberlangungan hidup manusia.
Baca Juga
Adapun ini disampaikan dalam webinar bertema “PP Nomor 23 Tahun 2021: PNBP Dan Dampaknya Bagi Hutan Lestari.
Advertisement
"Seperti yang kita hadapi saat ini, pandemi Covid-19 dianggap sebagai konsekuensi dari adanya ketimpangan lingkungan hidup yang berdampak sangat erat kepada manusia. Kita melihat kembali dan mengevaluasi, sejauh mana PP Nomor 23 Tahun 2021 ini berdampak kepada masa depan bangsa dan negara," kata Sonny, Kamis (15/4/2021).
Di kesempatan yang sama, Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin, tidak ada kewajiban untuk melakukan rehabilitasi hutan dalam Kewajiban Lahan Kompensasi terhadap PNBP Kompensasi.
"Negara tidak mengeluarkan biaya rehabilitasi hutan karena lahan diserahkan dalam bentuk hutan. negara mendapatkan nilai tambah dan manfaat lingkungan," kata politisi PDIP tersebut.
Di lain hal, tambah Sudin, perubahan aturan penggunaan kawasan hutan dari kewajiban lahan kompensasi menjadi PNBP mengancam kelestarian dan keberadaan hutan serta merugikan negara dan masyarakat.
"Penetapan nilai PNBP Kompensasi harus memperhatikan nilai ekonomi hutan dan jasa lingkungannya serta menjamin hutan tetap lestari. Jika hutan terus berkurang, banteng akan kehilangan habitatnya. Jadi, hutan harus tetap lestari dengan regulasi yang benar," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tidak Ada Batasan
Sementara itu, di kesempatan yang sama, Guru Besar Tetap Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, Prof Hariadi Kartodihardjo mengatakan, analisisnya terkait PP Nomor 23 Tahun 2021 memiliki tiga pendekatan. Pertama, teks Peraturan-Perundangan, kedua soal tatakelola (governance) dan ketiga terkait kelembagaan.
"Pada PP Nomor 23 Tahun 2021 ada pengecualian yang terdapat pada pasal 92: Larangan tambang terbuka di hutan lindung dikecualikan bagi kegiatan pertambangan yang dalam dokumen lingkungannya telah dikaji bahwa akan berdampak pada penurunan permukaan tanah, perubahan fungsi pokok kawasan hutan secara permanen, atau gangguan akuifer air tanah yang dilengkapi dengan upaya yang akan dilakukan untuk meminimalisir dampak dimaksud," kata Hariadi.
Menurut dia, terdapat kelemahan teks maupun konteks pelaksanaan PP Nomor 23 Tahun 2021. Ditambah dengan buruknya tatakelola dan lemahnya kelembagaan dalam pelaksanaannya dapat membelokkan arah tujuan dari UU No.11 Tahun 2020 (Omnibus Law) Tentang Cipta Kerja itu sendiri. Lebih lanjut dikatakan Hariadi, lahan pengganti berperan mengganti fungsi lingkungan hidup yang hilang. Fungsi lingkungan hidup dalam ekosistem semestinya tidak dapat diganti dengan uang.
"Harus dilakukan perbaikan, pelaksanaan regulasi ini perlu disertai keterbukaan informasi bagi publik. Publik, misalnya, perlu tahu apakah kuota penggunaan kawasan hutan telah dicapai atau belum," jelas Hariadi.
Advertisement