Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mendorong langkah pemerintah melakukan revisi Undang-Undang Narkotika, untuk mengurai masalah over kapasitas penjara yang dipenuhi oleh pelaku kasus narkoba.
Sahroni menilai rehabilitasi bagi para pengguna narkoba perlu dikedepankan, dari pada sanksi kurungan.
“Soal penjara over kapasitas ini adalah masalah yang memang selalu menjadi pembahasan di Komisi III. Bahwa memang napi narkoba itu baiknya direhab saja, tidak usah dipenjara. Karena penjara yang penuh tidak hanya terjadi di satu saja, tapi juga banyak penjara di tanah air,” ujar Sahroni dalam keterangannya hari ini (9/9/2021).
Advertisement
Lebih lanjut, Sahroni mendukung upaya revisi UU Narkotika, khususnya terkait aturan rehabilitasi bagi napi narkoba.
Menurutnya, ini bisa jadi salah satu solusi jangka panjang dalam upaya menekan jumlah napi di lapas.
"Saya juga setuju, penjara bukan satu-satunya solusi hukuman, apalagi bagi pecandu narkoba. Lebih baik direhab saja, agar mereka bisa kembali ke masyarakat dengan layak. Di sisi lain, jika memang UU Narkotika ini perlu direvisi, saya tentunya sangat setuju,” Sahroni menandaskan.
Pemerintah Harus Minta Maaf
Pengamat Pemasyarakatan dan Kriminolog, Leopold Sudaryono mengatakan negara memiliki tanggungjawab yang sangat berat atas peristiwa kebakaran Lapas Kelas I Tangerang
Sebanyak 44 nyawa hilang lantaran tragedi ini. Untuk itu dia berharap negara meminta maaf kepada keluarga narapidana.
"Ini berat sekali, pada saat mereka dipidana negara hanya merampas kemerdekaan, bukan merampas nyawa mereka. Jadi ini tragedi dan pukulan berat bagi kemenkumham dan negara. Apapun yang dilakukan pemerintah tidak bisa mengembalikan jiwa yang sudah hilang," kata Leopold kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (8/9/2021).
Leopold mengatakan, insiden kebakaran ini adalah karena faktor keamanan fasilitas dan bangunan yang kurang memadai.
Leopold yakin Leopold mengatakan, insiden kebakaran ini adalah karena faktor keamanan fasilitas dan bangunan yang kurang memadai.lembaga pemasyarakatan tidak memiliki anggaran untuk melakukan perawatan rutin terhadap fasilitas dan bangunan lapas.
"Ini (listrik) seharusnya diperiksa oleh pihak yang punya keahlian untuk itu. Jadi jangan petugas sendiri. Tapi dari kanwil, misalnya ada kontraktor yang mengecek keamanan di setiap lapas, saya menduga ini nggak ada," ujar Leopold.
Kemudian, seharusnya di setiap lapas sudah ada prosedur keamanan dalam kondisi bencana. Di mana para tahanan bisa meninggalkan area bahaya.
"Apakah prosedur ini bisa dijalani di lapangan? Bayangkan di lapas ada puluhan ribu, petugasnya belasan itu fire drill-nya bagaimana?," kata dia.
Advertisement