Liputan6.com, Jakarta - Beragam tanggapan muncul usai kembali mencuatnya gelombang protes menuntut dibukanya kembali kasus kekerasan seksual perkosaan terhadap tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Salah satunya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Hak anak-anak korban pemerkosaan oleh ayah kandungnya sendiri itu diharap dapat dipenuhi pemerintah daerah.
Komisioner KPAI Retno Listyarti pun mengecam aksi kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh ayah kandungnya tersebut.
Advertisement
"Saya menyampaikan keprihatinan dan mengecam dugaan kekerasan seksual yang dilakukan seorang ayah terhadap ketiga putrinya," kata Retno Listyarti dalam keterangannya, Sabtu, 9 Oktober 2021.
Kantor Staf Presiden (KSP) pun juga angkat bicara. KSP menekankan bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak bisa mentolerir predator seksual terhadap anak.
"Peristiwa pemerkosaan dan kekerasan seksual kepada anak ini sangat melukai nurani dan rasa keadilan masyarakat. Presiden Jokowi sangat tegas dan tidak bisa mentolerir predator seksual anak," ujar Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani, dikutip dari siaran pers.
Berikut sederet tanggapan usai kembali mencuatnya gelombang protes menuntut dibukanya kembali kasus kekerasan seksual perkosaan terhadap tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel), dihimpun Liputan6.com:
Â
1. KPAI
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta pemerintah daerah memenuhi hak anak-anak korban pemerkosaan oleh ayah kandungnya sendiri di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Misalnya, mendapatkan rehabilitasi psikologis maupun medis dan juga perlindungan bagi anak-anak korban maupun ibunya.
Komisioner KPAI Retno Listyarti pun mengecam aksi kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh ayah kandungnya tersebut.
"Saya menyampaikan keprihatinan dan mengecam dugaan kekerasan seksual yang dilakukan seorang ayah terhadap ketiga putrinya," kata Retno Listyarti dalam keterangannya, Sabtu, 9 Oktober 2021.
KPAI juga mengapresiasi perjuangan ibu korban yang dengan gigih mencari keadilan bagi ketiga anaknya.
"Perjuangan sang ibu akan memberikan persepsi positif juga pada anak-anaknya bahwa sang ibu memperjuangkan mereka," ujarnya.
Retno juga mendorong pihak kepolisian untuk segera membuka kembali kasus tersebut. Apabila terbukti adanya tindak pidana, terduga pelaku harus dikenai UU Perlindungan anak.
"Karena dalam UUPA kalau pelakunya orang terdekat korban, dapat dilakukan pemberatan sebanyak 1/3 hukuman. Mengingat, orangtua seharusnya melindungi anak-anaknya, bukan malah menjadi pelaku kekerasan seksual pada anaknya," tegasnya.
KPAI pun menyarankan kasus ini tak lagi ditangani oleh Polres Luwu Timur usai adanya perbedaan antara hasil visum polisi dengan hasil visum yang dipegang sang ibu serta menghindari konflik kepentingan.
"Sebaiknya ditangani Mabes Polri di Jakarta, lalu visum, juga pemeriksaan psikologis secara independent dilakukan sebagai pembanding dengan temuan Polres Luwu Timur dan P2TP2A Luwu Timur," sambung Retno.
Retno mengatakan, waktu pasti akan mempengaruhi hasil pemeriksaan fisik, tapi trauma korban pasti membekas.
"Jika ada dua hasil yang sama (dari Kepolisian & P2TP2A Luwu Timur VS Pemeriksaan independen) baru bicara kasus ditutup," ucapnya.
"Jika hasil berbeda maka valid kan untuk memproses kasus ini secara transparan hingga proses pengadilan. Ini penting, agar korban2 kekerasan tidak dikorbankan lagi dan pelaku mendapatkan hukuman setimpal sesuai peraturan perundangan terkait anak," kata Retno.
Â
Advertisement
2. Menteri PPPA
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, mengaku akan menurunkan tim Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 untuk melakukan asesmen lanjutan atas penanganan kasus dugaan pemerkosaan anak di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
"Kami akan menurunkan tim untuk mendalami penanganan kasus ini. Kami harap semua pihak dapat bekerja sama dan saling mendukung dalam prosesnya," ujar Bintang melalui siaran pers di Jakarta.
Dia juga meminta semua pihak, khususnya pendamping kasus, untuk turut serta mengumpulkan setiap informasi penting terkait dugaan pemerkosaan anak di Luwu Timur ini. Sebab, bukan tidak mungkin kasus ini akan dibuka kembali, jika bukti-bukti yang diberikan kepada kepolisian sudah cukup.
Bintang menegaskan bahwa pemerintah tidak memberikan toleransi atas segala bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan seksual.
"Menyikapi polemik penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Luwu Timur dan saat ini menjadi isu viral di media dan masyarakat, saya mengajak semua pihak untuk bersama-sama mendalami dan memahami kembali kasus ini secara utuh dengan berbagai perspektif. Yang jelas, pemerintah tidak akan memberikan toleransi atas segala bentuk kekerasan terhadap anak," tutur Bintang.
Seperti dikutip dari Antara, Bintang menuturkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan serius. Penanganan terhadap korban dan pelaku harus mendapat perhatian serius dan mengutamakan hak-hak anak yang menjadi korban.
Dia mengingatkan bahwa semua pihak perlu berhati-hati dan cermat dalam menanggapi kasus ini dan perlu menghargai setiap proses hukum yang telah dilakukan, tetapi dengan tidak mengabaikan kepentingan terbaik anak.
Sejak tahun 2019 sampai 2020, Kementerian PPPA sudah berkoordinasi terkait kasus tersebut bersama Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dan Dinas PPPA Provinsi Sulawesi Selatan.
Saat koordinasi dilakukan, proses hukum sudah berjalan dengan semestinya dan ditemukan tidak cukup bukti untuk memproses kasus ini lebih lanjut. Untuk itu, pihak kepolisian menghentikan kasusnya sementara.
Namun, kasus ini bisa dibuka kembali dengan catatan ada bukti-bukti baru yang ditemukan. "Oleh karena itu, keterlibatan semua pihak menjadi penting untuk membantu mencari titik terang kasus ini," ucap Bintang.
Â
3. DPR
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ace Hasan Syadzily meminta kasus perkosaan yang diduga dialami oleh tiga kakak beradik di Luwu Timur, Sulawesi Selatan diusut tuntas. Diduga ketiga anak tersebut diperkosa oleh ayah kandungnya sendiri.
"Negara harus memastikan melindungi rakyat dari kejahatan seksual, termasuk anak-anak. Negara tidak boleh abai, apalagi membiarkan kasus-kasus kekerasan seksual lepas begitu saja," kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ace Hasan Syadzily dalam pesan singkat.
Ace menegaskan, kekerasan seksual terhadap anak harus dicegah dan dihentikan sebab sangat mempengaruhi terhadap tumbuh kembang anak. Apalagi jika kekerasan itu berupa pemerkosaan terhadap anak yang pasti akan berpengaruh secara psikologi.
"Selain keji, kekerasan seksual dapat menimbulkan trauma mendalam bagi korban. Negara harus bisa memastikan melindungi korban termasuk dalam proses hukumnya. Kita tidak boleh melepas kasus-kasus kejahatan seksual," ucap Ace.
Ace berharap kasus ini dibuka kembali lantaran menimbulkan keresahan publik.
"Setiap kekerasan terhadap anak harus diusut tuntas dan diberikan hukuman sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," tegasnya.
Komisi VIII DPR meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) ikut mengawal kasus ini.
"Kekerasan seksual dapat merusak masa depan anak. Dan tentu saja ini akan berdampak terhadap generasi penerus bangsa. DPR RI juga akan ikut mengawal kasus kekerasan seksual terhadap anak di Luwu Timur," ujar Ace.
Banyaknya kasus kekerasan seksual termasuk kepada anak, kata Ace, menjadi alasan DPR berkomitmen membuat regulasi yang tepat terhadap kasus-kasus kekerasan seksual melalui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Terutama terkait pemulihan korban kekerasan seksual. Fenomena kejahatan seksual di Indonesia sudah sangat meresahkan. Kita berharap RUU TPKS akan menambah jaminan keadilan dan perlindungan bagi korban kejahatan seksual," jelas Ace.
Â
Advertisement
4. KSP
Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan kasus pemerkosaan 3 anak yang terjadi di Luwu Timur, Sulawesi Selatan merupakan tindakan yang keji. KSP menekankan bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak bisa mentolerir predator seksual terhadap anak.
"Peristiwa perkosaan dan kekerasan seksual kepada anak ini sangat melukai nurani dan rasa keadilan masyarakat. Presiden Jokowi sangat tegas dan tidak bisa mentolerir predator seksual anak," jelas Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani dikutip dari siaran pers.
Dia mengatakan, Presiden Jokowi memberi arahan agar kasus kekerasan terhadap anak ditindaklanjuti secepat-cepatnya.
Hal ini disampaikan Jokowi saat memimpin rapat terbatas tentang penanganan kasus kekerasan kepada anak pada 9 Januari 2020.
"Presiden Jokowi juga menginginkan agar pelaku kekerasan terhadap anak diberikan hukuman yang bisa membuatnya jera. Terutama terkait dengan kasus pedofilia dan kekerasan seksual pada anak," ujar Jaleswari.
Untuk itulah, kata dia, Jokowi meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Selama beberapa hari terakhir, publik dikejutkan oleh viralnya berita perkosaan dan kekerasan seksual yang dialami tiga kakak beradik yang diduga dilakukan oleh ayah kandungnya. Peristiwa ini terjadi di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, pada tahun 2019.
Karena tidak menemukan cukup bukti, Polres Luwu Timur menghentikan proses penyelidikan pada tanggal 10 Desember 2019, persis dua bulan setelah kasus di laporkan oleh Ibu korban. Jaleswari pun meminta agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membuka kembali kasus tersebut.
"Kalau memang ditemukan adanya kejanggalan dan kesalahan dalam proses penyelidikan oleh Polres Luwu Timur yang menyebabkan diberhentikannya proses penyelidikan pada akhir tahun 2019 yang lalu, atau ditemukannya bukti baru sebagaimana disampaikan oleh Ibu korban dan LBH Makassar, maka kami berharap Kapolri bisa memerintahkan jajarannya untuk membuka kembali kasus tersebut," tutur dia.
Menurut dia, kasus di Luwu Timur ini semakin memperkuat pentingnya pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pasalnya, RUU ini mengatur soal tindak pidana kekerasan seksual
"Kasus perkosaan dan kekerasan seksual pada anak serta penghentian penyelidikan dengan alasan tidak adanya bukti ini semakin memperkuat urgensi pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mengandung norma khusus terkait tindak pidana kekerasan seksual," kata Jaleswari.