Liputan6.com, Jakarta - Partai-partai baru mulai bermunculan menjelang Pemilu 2024. Mulai dari partai yang mengusung semangat ummat hingga membawa aspirasi kelompok buruh.
Salah satu partai politik atau parpol baru yang muncul adalah Partai Buruh. Partai ini dipimpin oleh Said Iqbal yang merupakan salah satu pimpinan serikat buruh di Tanah Air.
Advertisement
Baca Juga
"Kebangkitan Partai Buruh bermula pada kekalahan telak dalam pengesahan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Maka penyebabnya omnibus law Partai Buruh dihidupkan kembali," kata Presiden Partai Buruh Said Iqbal kepada Liputan6.com di kantornya.
Iqbal berharap, dengan majunya Partai Buruh ke Pemilu 2024 maka aspirasi kelompok buruh yang setiap saat turun ke jalan demi menuntut hak hidup yang layak dapat terbantu dengan memiliki suara di Parlemen.
"Ada 13 hal fokus oleh Partai Buruh. Yakni perjuangan kedaulatan rakyat, lapangan kerja, antikorupsi, jaminan sosial, kedaulatan pangan, upah layak, pajak untuk kesejahteraan rakyat, perlindungan perlindungan perempuan dan anak muda," beber Iqbal.
Semangat senada Said Iqbal juga dimiliki Farhat Abbas saat membesut Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai). Dia mengatakan, partai tersebut akan akan menaikan target 50 persen keterwakilan perempuan yang bertujuan, menghadirkan suara mereka dari Parlemen.
"Sebagai pembeda dengan partai lainnya, Partai Pandai akan menaikan target 50 persen keterwakilan perempuan. Jumlah tersebut lebih besar 20 persen dari persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Menurut dia, meskipun keterwakilan perempuan sebesar 30 persen, nyatanya hanya 18 persen," kata Farhat saat disambangi Liputan6.com.
Farhat memastikan, Pandai telah mengantongi izin berdiri oleh negara. Validasinya sudah ditandatangani oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly pada 6 Januari 2022.
"Pendeklarasian partai dilakukan sejak awal Oktober 2020 dengan mengusung visi berserikat menuju Indonesia berdaulat," bangga Farhat.
Apa Kata Publik?
Partai Buruh dan Pandai hanyalah secuil contoh dari partai baru yang lahir beberapa tahun ini. Selain mereka, Partai Umat besutan Amien Rais dan Partai Gelora yang digawangi eks kader PKS seperti Anis Matta dan Fahri Hamzah.
Namun bila dicermati, kehadiran mereka masih belum terlalu dikenal publik. Secara acak Liputan6.com coba bertanya ke publik terkait nama-nama partai baru tersebut.
"Belum ada yang kenal ya, jadi enggak bisa bisa bilang oke atau enggak, mungkin karena segi kinerja belum ketahuan ya," kata Oki Yafie Firdaus, seorang karyawan swasta, kepada Liputan6.com.
Hal serupa diungkap Apri Dwi, seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Apri mengaku tak tahu menahu adanya parpol baru jelang Pemilu 2024. Beda halnya saat penyelenggaraan Pemilu 2019.
Kata Apri, saat itu ada salah satu parpol baru yang menarik perhatian dan menjadi bahan pembahasan di kelasnya. Bahkan beberapa kali viral di sejumlah media sosial.
"Enggak tahu kalau banyak parpol baru. Kalau waktu 2019 itu tahu karena sempat viral, cari attention-nya dapat ke anak muda tapi ya udah gitu aja," kata dia ke Liputan6.com.
Advertisement
Besar Secara Instan
Pengamat Pemilu dari Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, belum dikenalnya partai baru baru di Tanah Air menjadikan mereka ditantang untuk menjadi partai besar secara nasional secara instan.
"Jadi bukan didorong tumbuh dari bawah atau mulai berkembang dari tingkat kabupaten/kota saat terbukti mendapatkan kursi dapat mengikuti kontestasi di provinsi dan kemudian ke nasional tapi menjadi besar secara instan," jelas Khoirunnisa.
Walhasil, parpol baru diwajibkan memiliki modal atau dana besar ketika ingin ikut kompetisi elektoral. Untuk memiliki dana besar seringkali partai baru harus mencari pihak yang dapat mendanainya atau sebagai sumber dana.
Misalnya, melalui elite partai yang memiliki usaha. Sebab dana yang digunakan sangat besar untuk pembentukan kantor di setiap wilayah.
"Siapa yang bisa membiayai sementara tadi syaratnya harus besar," tegas Khoirunnisa.
Modal besar untuk berkontestasi nyatanya belum menjadi jaminan menang. Banyak yang akhirnya gigit jari karena tidak mendapatkan tiket ke Senayan. Contoh nyata pada pesta demokrasi 2019 adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Partai yang saat ini diketuai Giring Ganesha itu mendukung Jokowi untuk maju dua kali sebagai presiden. Walau berdiri di kubu mayoritas, ternyata kursi parlemen masih pupus juga.
Hanya Hiasan?
Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno berpendapat, pupusnya asa parpol baru dikarenakan mereka belum menarik simpati publik atau justru malah muncul dengan warna yang sama tanpa pembeda.
"Mereka tidak punya diferensiasi atau pembeda politik dengan partai-partai lain. Jadi terkesan hanya musiman, tidak diseriusi kerja politiknya. Mereka rata-rata juga krisis ego dan tidak punya logistik yang kuat," ucap Adi.
Dia pun berkesimpulan, parpol baru nantinya hanya menjadi hiasan saat pesta demokrasi yang akan hilang seiring nihilnya faktor elektoral.
"Partai baru ini ya semacam hiasan demokrasi elektoral saja, hilang timbul jelang Pemilu saja bak jamur di musim hujan. Gelap gulita lah membayangkan partai seperti itu. Sekarang saja enggak kedengaran enggak jelas juga," tandas Adi.
Advertisement