Praktisi Sawit: Kebijakan Pemerintah Jangan Mengorbankan Rakyat Sendiri

Bustanul mendorong agar dialog antara pemerintah, khususunya Satgas Penataan Perkebunan Kelapa Sawit dengan pengusaha maupun petani sawit dilakukan secara intensif dan solutif.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Nov 2023, 19:02 WIB
Diterbitkan 02 Nov 2023, 13:04 WIB
Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Seorang pekerja sedang menebang pohon di perkebunan kelapa sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Liputan6.com, Jakarta - Ahli Pertanian dan Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Prof. Bustanul Arifin berharap persoalan perkebunan kelapa sawit dan kawasan hutan yang terjadi di Indonesia bisa segera menemukan solusi terbaik, sekaligus menghindarkan konflik antara negara dengan anak bangsa sendiri.

"Kalau persoalan ini tak segera selesai, maka banyak program pemerintah (terkait sawit, red) tidak jalan, dan potensi konfliknya tinggi," ujar Bustanul dalam podcast Total Politik, dikutip Kamis (1/11/2023).

Bustanul mendorong agar dialog antara pemerintah, khususunya Satgas Penataan Perkebunan Kelapa Sawit dengan pengusaha maupun petani sawit dilakukan secara intensif dan solutif.

"Kan gak wise juga kalau ada persoalan dari policy setting ini, malah masyarakat harus dikorbankan. Kan gak baik juga. dialognya dikencengin lagi lah, sejauh ini dialognya belum konklusif. Nampaknya masalah tadi belum terjadi dialog yang baik," tandasnya.

Bustanul sendiri menilai drama soal kelapa sawit ini bisa dilihat setelah adanya Perpres Nomor 9/2023 tentang Satgas Tata Kelola Industri Kelapa Sawit. Perpres ini hadir untuk membenahi lahan sawit yang di dalam hutan.

Ketika Indonesia perang dagang dengan Uni Eropa, tutur Bustanul, ada proposal kedua dari Uni Eropa tentang renewable energi directive, dinyatakan bahwa Uni Eropa tak mau menggunakan sumber energi alternatif yang bersumber dari minyak yang diindikasikan masuk kawasa hutan. Dengan kata lain terjadi diskriminasi tak boleh melakukan ekspor sawit.

"Eropa terlalu gegabah menggunakan senjata bahwa Indonesia melakukan dumping. Dan pada 2017 kita menang di WTO, kemudian 2018 masuk lagi ekspor kita ke sana (Eropa)," tuturnya.

Selanjutnya, kata Bustanul, Uni Eropa memasukkan proposal lagi yang menyatakan sawit dianggap penyebab deforestasi secara tidak langsung. Menyatakan juga bahwa tata guna lahan di Indonesia amburadul, sehingga mereka pun melakukan larangan (eskpor CPO, red) lagi dari Indonesia.

"Baru setelah (proposal Uni Eropa kedua) itu pemerintah agak panik. Selain gugatan baru dari Uni Eropa itu, Indonesia harus mengubah kebijakan, yang salah satunya keluar Perpres tentang satgas pembenahan tata kelola industri sawit," tandas Bustanul.

 

 

Peroleh HGU Sawit Sebelum Ada UU Cipta Kerja

20151014- Ilustrasi Kelapa Sawit
Ilustrasi Kelapa Sawit

Terkait jumlah lahan perkebunan kelapa sawit yang dinyatakan masuk kawasan hutan itu, Bustanul menyebut sekitar 3,3 juta hektar dari total 16 juta ha lahan sawit di Indonesia.

"Pemerintah, kalau saya lihat, ingin bikin pesan ke Uni Eropa bahwa kami (Indonesia) juga membenahi tata kelola sawit dan kawasan hutan. Seperti itu saya lihat," lanjut Bustanul.

Dalam prosesnya, Pemerintah menggunakan cara mendaftar untuk pengelepasan hak pengelolaan perkebunan kelapa sawit, dan ternyata pemerintah belakangan menyatakan dari 3,3 juta lahan sawit yang dinyatakan kawasan hutan itu, 237 ribu lahan sudah punya SK penetapan kawasan hutan, 19 juta hektar masih dalam proses, dan 2,2 juta ha belum mengusulkan untuk diproses.

"Dramanya dari situ, kami (perusahaan atau petani pemegang hak) sudah di dalam, masak mau dibongkar. Maka Satgas membikin kebiajakan dengan membentuk SK keterlanjuran.

"Aturannya cukup banyak, salah satunya ada PP 33/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Karena keterlanjuran itu maka harus berubah. Pilihannya agak tidak enak, yaitu: out, bayar denda sesuai UU Cipta Kerja. Atau keterlanjuran di dalam hutan itu diganti, tanaman sawit menjadi tanaman kayu. Itu yang pengusaha dan petani tidak mau. Jadi hampir semua menolak keterlanjuran itu," jelas Bustanul.

Bustanul menambahkan, perusahaan atau petani memperoleh HGU Sawit jauh sebelum ada UU Cipta Kerja. Mereka memakai undang-undang sejak tahun 1960-an dengan hak guna usaha sudah sejak lama. 

"Saya ngobrol dengan teman teman pengusaha, mereka tak terima jika tiba tiba ikut UU Cipta Kerja. Mereka ditetapkan sejak lama dengan HGU, dan memang masuk akal juga, pemerintah menunjuk, 'ini lahan hutan'."

"Kenapa cuma menunjuk. Dilogikakan begini: masak main tunjuk saja diakui sebagai sah. Sementara mereka mendapat HGU berdasarkan penetapan. Maka disput ini jadi perdebatan," tegas Bustanul.

 

Jangan Sampai Ada Konflik

Bustanul mengaku tak ingin terjadi konflik antara negara dengan masyarakat. Apalagi kebijakan ini juga bisa diselesaikan dengan solusi-solusi alternatif yang bisa dicari.

"Teman-teman di pemerintahan, apakah (kebijakan ini) untuk eye look atau menunjukkan sikap baik (kepada Uni Eropa, red) ataukan untuk tambahan penerimaan baru dari non pajak?" lanjut Bustanul.

Terkait itu, Bustanul menegaskan bahwa Indonesia sudah sejak lama melakukan moratorium perluasan lahan sawit dari kawasan hutan. Bahkan, pada zaman presiden SBY sudah deal dengan Norwegia terkait komitmen pengurangan emisi karbon dengan betul betul menjalankan moratorium ekspansi sawit. 

"Kata teman pengusaha, kalaupun ada tambahan (lahan sawit), itu ijin lama yang baru kita buka. Tapi fakta itu sudah kuat ditangkap Uni Eropa. Bahwa kita tak ekspansi nambah lahan kelapa sawit ke lahan hutan dan ke lahan gambut yang memang secara konservasi dilindungi," tandasnya.

infografis journal
infografis 10 Daerah Penghasil Kelapa Sawit Terbesar di Indonesia pada 2021. (Liputan6.com/Tri Yasni).
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya