Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan revisi penting terkait penyelenggaraan tabungan perumahan rakyat (Tapera) atau soal iuran Tapera. Hal ini menuai pro dan kontra.
Anggota DPR RI Herman Khaeron berharap pemerintah melakukan diseminasi terlebih dahulu agar publik mengetahui betul aturannya.
"Peraturan ini harus didiseminasikan, setiap peraturan harus kita sosialisasikan kepada publik, yang pada akhirnya supaya publik masyarakat rakyat sebagai pengguna aturan ini betul-betul tepat dengan peraturan ini," kata dia di Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Advertisement
Meski demikian, Politikus Demokrat ini menyadari bahwa kemampuan APBN untuk memberikan rumah subsidi juga terbatas.
"Kemampuan APBN untuk bisa memberikan rumah berbiaya murah bersubsidi juga terbatas, oleh karenanya harus ada penghimpunan dana yang ini bisa menyediakan rumah kepada rakyat," ungkap Herman.
"Namun memang teknis ini masih betul-betul matang, bahkan badan pengelola Tapera pun harusnya memiliki sindikasi dengan Himbara misalnya, BTN dilibatkan, ini nilai manfaat ini harus ada," sambungnya.
Ia pun memberikan contoh seperti pembayaran iuran yang tepat waktu dan secara baik. Sehingga, kedepannya dimungkinkan akan mendapatkan benefit dari Tapera.
"Misalkan dia akan mendapatkan percepatan pendapatan rumah, akan mendapatkan rumah yang lebih dekat, atau dalam ring yang lebih terjangkau, ini kan enggak ada aturan teknis seperti ini," jelasnya.
Tak Masuk Hitungan
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Perhimpunan Gerakan Nusantara Raya (DPP PGNR) Oktaria Saputra menyayangkan pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang menyamakan Tapera dengan BPJS Kesehatan.
"Manusia tidak selamanya hidup sehat. Potensi-potensi sakit itu pasti muncul. Sehingga sangat wajar apabila kesehatan itu dijamin dari iuran yang diberikan," kata dia dalam keterangannya, Rabu (29/5/2024).
"Berbeda dengan soal perumahan, di mana banyak dari pekerja sudah mempunyai rumah sendiri, jadi iuran perumahan itu tidak lagi bersifat urgent, bahkan tidak penting," sambungnya.
Secara matematis, apalagi gaji dipotong 3%, apabila kita berpatokan pada UMR Jakarta yang mendekati 5 juta per bulan, bekerja selama 30 tahun misalnya dengan gaji dipotong 3%, uang yang terkumpul baru mencapai kisaran 50 juta.
"Masih sangat-sangat jauh dari standar harga rumah yang terletak di Jakarta dan sekitarnya," ungkap Oktaria.
Advertisement
Menimbulkan Rasa Khawatir
Lanjut Oktaria, karena ketidakjelasan penetapan peraturan ini, yang terkesan hanya mubazir, muncul kekhawatiran di tengah masyarakat, bahwa program ini nantinya akan disalahgunakan.
"Sebagaimana kita ketahui bersama, banyak sekali program strategis di negara ini, yang dimanfaatkan oleh pejabat negara sebagai lumbung korupsi," jelas dia.
"Dengan demikian, pemerintah perlu untuk mengevaluasi secara matang, memproyeksikan ke depan bagaimana hasil dari program ini. Apabila sampai hari ini, gelombang penolakan terus berdatangan. Sebagai negara demokrasi, pemerintah tidak boleh mengabaikan suara-suara rakyat yang bermunculan itu," pungkasnya.
Reporter: Nur Habibie/Merdeka.com