Amzulian Rifai: Melapor ke Komisi Yudisial Tidak Bisa Mengubah Putusan Pengadilan

Anak kelima dari sembilan bersaudara ini sepanjang hidupnya bergelut dengan dunia hukum, khususnya sebagai akademisi.

oleh Rinaldo diperbarui 18 Jul 2024, 15:03 WIB
Diterbitkan 18 Jul 2024, 15:03 WIB
amzulian
Ketua Komisi Yudisial, Amzulian Rifai. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Perjalanan karier Amzulian Rifai sungguh menarik. Bayangkan saja, saat masa tugasnya sebagai Ketua Ombudsman Republik Indonesia belum selesai, dia terpilih sebagai Anggota Komisi Yudisial (KY), sebuah lembaga yang bertugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku para hakim. Akhirnya, dua hari sebelum dilantik sebagai Anggota KY, dia pun mengundurkan diri dari Ombudsman RI.

Lahir di Desa Muarakati, Musi Rawas, Sumatera Selatan pada 2 Desember 1964, anak kelima dari sembilan bersaudara ini sepanjang hidupnya bergelut dengan dunia hukum, khususnya sebagai akademisi.

Menamatkan Pendidikan S1 Hukum di Universitas Sriwijaya (1988), Amzulian melanjutkan Magister Hukum di Melbourne University (1995) dan meraih gelar Ph.D di Monash University, Australia (2002) untuk kemudian mulai berkarier di almamaternya sebagai dosen.

Sejumlah posisi dia raih saat berkarier di Unsri, antara lain Ketua Kelompok Kajian Hukum Australia Fakultas Hukum (FH) Unsri (1995), Ketua Pusat Kajian HAM dan Terorisme FH Unsri (2002), Anggota Senat Unsri (2003), Ketua Unit Penelitian FH Unsri (2003-2005), Anggota Senat FH Unsri (2003), Ketua Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Unsri (2003-2011), Profesor Hukum Tata Negara Unsri (2005) hingga menjabat Dekan Fakultas Hukum Unsri (2009-2016).

Tak hanya aktif mengajar, Amzulian juga banyak berkiprah di luar kampus, antara lain sebagai Liasion Officer Pelatihan Hukum Bisnis bagi para Jaksa Indonesia di Melbourne University, Australia (1994), Translator Pelatihan Hukum Indonesia, Proyek Federal Court of Australia (2001), Liasion Officer Pelatihan Hukum Bisnis, Proyek Bappenas, Monash University, Australia (2002), Staf Kehormatan/Peneliti Monash University, Australia (2002) dan Visiting Scolar, Ohio University, USA (2006).

Tak hanya itu, dia juga aktif menjadi pembicara di lebih dari 400 forum, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dia juga tak pelit berbagi ilmu dan aktif menulis berbagai artikel. Setidaknya sudah lebih 700 tulisannya dimuat di berbagai media lokal dan nasional.

Dengan semua capaian itu, Dosen Teladan FH Unsri (1993) dan Dosen Berprestasi Unsri (2004) ini terus melebarkan sayap hingga ke tingkat nasional. Pada 2016, DPR-RI memilih Amzulian sebagai Ketua Ombudsman RI periode 2016-2021. Namun, dia tak menyelesaikan masa tugasnya di Ombudsman karena tugas lain sudah memanggil.

Ceritanya, Amzulian yang terpilih sebagai Anggota KY pada Desember 2020 baru akan purnatugas pada Februari 2021. Sementara aturan di UU KY maupun UU Ombudsman melarang pimpinannya merangkap jabatan sebagai pejabat negara atau penyelenggara negara. Di sisi lain, Anggota KY sudah akan dilantik pada Desember 2020.

Amzulian yang menyadari adanya larangan rangkap jabatan tersebut memutuskan mundur dari Ombudsman pada 18 Desember atau 3 hari sebelum dilantik. Pada Senin 21 Desember 2020, Amzulian dan Anggota KY lainnya mengucapkan sumpah dan dilantik Presiden Joko Widodo di Istana Negara.

KY sendiri bukanlah sesuatu yang baru bagi Amzulian karena jauh sebelumnya dia sudah pernah bersentuhan dengan lembaga ini. Pada 2007, dia pernah menjadi Staf Ahli Komisi Yudisial untuk Proyek Penelitian Putusan Hakim, hasil kerja sama KY dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR).

Pada 5 Juni 2023, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI) periode 2018-2023 ini terpilih menjadi Ketua KY untuk paruh kedua Periode Juli 2023-Desember 2025, setelah memperoleh suara terbanyak pada Rapat Pemilihan Pimpinan KY. Pada 3 Juli 2023, Amzulian resmi menjabat Ketua KY setelah dilakukan serah terima jabatan.

Kini, peraih Tanda Kehormatan Satyalencana Karya Satya 20 Tahun (2012) dan Bintang Jasa Utama (2020) dari Presiden RI ini dihadapkan pada tugas yang maha berat dan menjadi sorotan publik. Sebab, selain punya kewenangan melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung dan menetapkan calon Hakim Agung, Amzulian dan koleganya juga bertugas mengawasi para hakim.

Pasal 20 UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyebutkan KY mempunyai tugas antara lain melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim, menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, dan memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Namun, dengan rekam jejak puluhan tahun di dunia hukum, suami dari Elmawaty dan ayah empat orang anak ini diyakini bakal membawa KY menjadi lembaga yang lebih kuat.

Berikut petikan wawancara Amzulian Rifai dengan Sheila Octarina dalam program Bincang Liputan6.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Awalnya Ingin Jadi Tentara

amzulian
Ketua Komisi Yudisial, Amzulian Rifai. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Apa yang membuat Bapak tertarik terjun ke dunia hukum?

Awalnya saya kuliah di fakultas hukum, meski saya tidak ada keinginan masuk fakultas itu. Dulu saya cita-citanya hanya mau jadi tentara atau polisi. Dulu saya pernah ikut Akabri tahun 1984 ya. Tapi, Ibu saya bilang Beliau tidak rela saya berangkat ke Magelang karena saya diterima di Universitas Sriwijaya tanpa tes.

Dia katakan, 'saya tidak ikhlas kalau kamu melanjutkan ke Magelang dan saya khawatir kamu enggak keterima,' katanya. Saya bilang sama Ibu saya, kenapa sebelumnya saya diizinkan masuk Akabri, kan ada tanda tangan orangtua di situ?

Ibu saya bilang, 'ya karena menurut kami kamu mestinya enggak lulus. Kami ragu kamu bisa lulus, jadi kami kasih saja kesempatan ternyata lulus di tahapan awal'.

Terlebih lagi katanya, karena saya kemudian diterima di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya tanpa tes. Pertama kali jalur PMDK waktu itu, sekarang sebutannya mahasiswa undangan. PMDK itu Penelusuran Minat dan Kemampuan, saya masuk program pertama itu. Jadi saya masuk bidang hukum ini enggak sesuai cita-cita, hanya saya patuh sama Ibu saya.

Lantas bagaimana saat memilih pekerjaan?

Waktu itu saya dapat empat peluang, karena saya mahasiswa teladan dan aktivis juga kan, saya diterima di Pemda waktu itu karena saya juga ketua himpunan mahasiswa daerah, bupatinya minta saya masuk ke Pemda.

Kemudian di perusahaan, saya enggak usah sebutkan perusahaannya, pokoknya swasta nasional, ada juga bank nasional, dosen. Saya tanya sama Ibu saya, kata Beliau jadi dosen saja. Enggak mau juga sebenarnya saya jadi dosen, tapi saya patuh sama Ibu saya.

Menurut saya, walaupun Ibu bukan tamatan universitas, tapi kayaknya naluri dia yang lebih pas. Walaupun kemudian saya tanyakan, kenapa Ibu minta saya jadi dosen? Kan waktu itu enggak ada cita-cita jadi dosen. Gajinya kecil, istilahnya itu kerjaannya sedus, duitnya sesen.

Kata Ibu saya, 'memang kamu lebih cocok jadi dosen karena watakmu. Kalau kamu kerja di Pemda mungkin pangkatnya enggak naik-naik. Kalau kerja di perusahaan, mungkin dua tahun saja enggak diberhentikan orang sudah bagus,' katanya. Jadi saya memilih profesi dosen karena Ibu saya.

Sekarang akhirnya menjadi Ketua Komisi Yudisial. Ketika terpilih pertengahan tahun lalu, Bapak mengatakan bakal melakukan penguatan internal kelembagaan KY. Sudah sejauh mana pelaksanaannya, Pak?

Ketua KY sebelumnya Prof. Mukti sudah banyak melakukan hal-hal penting di lembaga ini. Tetapi pengalaman saya, lembaga manapun, sebaik apa pun, akan selalu ada celah. Tidak ada lembaga yang sempurna. Itu pengalaman saya saat menjadi Ketua Ombudsman yang mengurusi dan mengawasi birokrasi se-republik ini, termasuk KY.

Yang pertama tentu penguatan internal, itu adalah modal awal. Bagaimana mungkin suatu lembaga akan kuat secara eksternal kalau dia ada problem secara internal. Itu pola pikirnya. Maka seorang pemimpin mestinya ketika dia masuk memimpin, internal dulu dia benahi. Kekompakannya, kerja kerasnya. Maka misalnya saya selalu memulai dengan upacara.

Ombudsman sekarang kalau Anda lihat setiap Senin, itu peninggalan saya, pokoknya harus upacara. Di sini juga setiap Senin jadinya upacara. Walaupun banyak protes, kita ini bukan polisi, bukan tentara, kok kita disuruh upacara. Saya bilang, saya memang bukan tentara, tapi saya pramuka.

Kenapa dengan pramuka?

Saya betul-betul bangga dengan status pramukanya, karena ini yang membentuk pribadi saya. Saya dididik pramuka itu dari SD. Siaga Mula, Bantu, Tata, Penggalang Ramu, Rakit, Terap, Penegak, Pandega, sampai saya asisten pelatih. Itulah yang membentuk karakter saya.

Kembali pada upacara, karena menurut saya upacara itu kesempatan kita mengoreksi keadaan kantor di hadapan semua staf. Kritik, informasi, itu bisa lewat upacara. Kalau TNI-Polri misalnya lewat apel. Tapi disebut apel itu hanya sekadar menghitung yang hadir. Tapi kalau upacara lebih dari itu.

Dengar itu Pancasila, Anda tidak boleh pesimis. Tapi ada yang bilang, masa baca Pancasila terus, padahal sebenarnya Pancasila itu luar biasa. Saya sudah keliling banyak negara karena saya sekolahnya lebih banyak di luar negeri dihabiskan. Tapi kenapa kita tidak bangga?

Coba renungkan sila pertama sampai kelima, carilah di dunia ini, nggak akan ketemu yang seperti Pancasila. Itulah yang membentuk karakter kita. Nah, Kembali pada penguatan internal tadi tentu terkait dengan SDM, mulai dari satpamnya, seluruhnya. Tapi tentu tidak semuanya saya kerjakan sekaligus.

Maksudnya ada pembagian tugas?

Iya, mengontrol Sekjen tentu kerja saya dan dipanggil secara rutin. Awas ya yang jadi Sekjen itu Anda, jangan pusingnya Sekjen itu diberikan kepada saya. Kontrol saya tentu kepala biro, kontrol rutin. Begitu juga saya minta masing-masing pimpinan unit, sekecil apa pun itu mengontrol unitnya masing-masing.

Ini kan penguatan internal. Tidak perlu saya ceritakan detail, ya kan? Secara sederhana saja, kalau dulu Anda masuk ke KY, mungkin sembarang saja orang bisa masuk, ya kan? Sekarang ada plang otomatis, baru itu yang kayak gitu. Ini termasuk penguatan internal yang kecil-kecil gitu, dicek siapa tamu kita, enggak bisa sembarang masuk.

SDM-nya bagaimana, administrasinya bagaimana? Orang melapor gini bagaimana responsnya? Jangan orang lapor ke KY, sampai ulang tahun laporannya, enggak jelas, ya kan? Nah itu cara kita mengontrol, di mana kelemahan-kelemahan administrasi kita ubah.

Walaupun setiap organisasi penguatan internalnya tidak akan pernah selesai. Birokrasi seumur republik ini pun tidak akan pernah selesai. Tinggal lagi seorang pimpinan suatu institusi itu ketika dia diamanahkan, dia bisa melihat celah mana yang perlu dia perbaiki.

 


Salah Kaprah Kewenangan Komisi Yudisial

amzulian
Ketua Komisi Yudisial, Amzulian Rifai. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Berapa banyak laporan yang masuk dari masyarakat ke Komisi Yudisial terkait perilaku para hakim?

Tentu banyak, setahun bisa antara di angka 3.000-an. Tapi ini kan merefleksikan banyak hal. Refleksi pertama memang masyarakat belum memberi kepercayaan sepenuhnya kepada bidang peradilan, ya kan? Walaupun kalau kita mau jujur, sebetulnya public trust itu kepada banyak institusi belum ya.

Laporan misalnya, kenapa hal yang kecil pun kalau bisa itu sampai ke Tuhan, ya kan? Maksudnya begini, ada banding, ada kasasi, ada PK, kadang-kadang PK berulang-ulang. Ini bukan hanya melihat orang menjalankan aspek formal, tapi mestinya kita juga sebagai pimpinan melihat ini ada masalah, ada masalah dengan proses-proses itu.

Maka laporan-laporan itu tentu kalau menurut undang-undang kita hanya berwenang pada ranah etik. Maka pedomannya adalah kode etik dan pedoman perilaku hakim. Ada 10 itu. Tapi problemnya adalah masyarakat mengira segala hal yang berkaitan dengan hakim itu lapornya ke KY.

Berarti ini harus diluruskan?

Ya, mungkin pemahaman saja. Atau memang masyarakat ada saja yang frustrasi, ke siapa lagi mau melapor? Saya kebetulan dosen fakultas hukum yang mahasiswanya juga banyak praktisi ya. Banyak masyarakat yang melapor ke kita, misalnya yang tidak ada kaitannya.

Misalnya nih, putusan dianggap tidak adil, dikiranya melapor ke KY bisa mengubah putusan. Enggak mungkin, apa pun putusan itu ada mekanisme formalnya, seperti banding, kasasi, PK, bahkan ada yang PK lagi, misalnya gitu.

Kenapa segala cara digunakan? PK misalnya, kok enggak ada hentinya. Mungkin dia enggak ada trust-nya. Coba kalau dia percaya, kalau kita percaya, Pak inilah putusannya. Kalau dia yakin, sudah selesai. Nah, jadi ke kita umumnya itu macam-macam, tapi pedoman kita adalah melanggar Kode Etik Pedoman Perilaku Hakim atau tidak?

Hanya laporan seperti itu yang bisa ditindaklanjuti?

Ya, yang itu akan kita tindaklanjuti. Kalau ditanya bentuk sanksinya, tentu ada macam-macam sanksi. Sanksi ringan, sedang, berat ya. Kalau dia berat sampai pemberhentian. Tentu ada mekanisme melalui yang namanya Majelis Kehormatan Hakim.

Majelis Kehormatan Hakim ini adalah suatu persidangan yang majelisnya terdiri dari 3 orang Hakim Agung dan 4 orang anggota Komisi Yudisial. Ya, sanksi terberat tentu pemberhentian dan itu bisa kita lakukan.

Kalau laporan masyarakat yang tidak sesuai itu tidak ditindaklanjuti?

Ya tentu kita jawab bahwa itu kan bukan ranah kita. Orang bisa saja melapor kemana-mana, ya kan? Tapi kita bisa jawab, misalnya ini lebih tepatnya melapornya ke mana, kita salurkan.

Kadang-kadang bisa saja ke KPK atau Kejaksaan. Tapi yang menjadi ranah kita ya kita tindaklanjuti. Saya jamin ditindaklanjuti. Saya katakan insyaallah semua laporan ke kita, kita tindaklanjuti. Tidak ada kita misalnya ragu, takut, kita ini kan diamanatkan oleh negara.

Kita wajib meninggalkan hal-hal yang baik yang sifatnya bisa berkelanjutan. Kalau laporan itu berdasar saya katakan kita pecat, kalau memang harus dipecat, tidak boleh ragu.

Yang penting bukti mencukupi dan kuat, begitu kan Pak?

Ya asal buktinya ada, karena kadang-kadang kesulitan kita itu misalnya hakim dituduh menerima uang, agak susah itu mendapatkan bukti. Kalau kita salah kan kita bisa dituntut balik, KY tidak kebal hukum.

Misalnya ada laporan hakim menerima uang, sementara kita ada kesulitan terkait bukti. Kalau memang itu kasus yang serius, mungkin kita minta tindaklanjuti kepada aparat hukum yang punya kewenangan, misalnya kita serahkan kepada KPK.

Kadang-kadang orang dalam berperkara semua mau menang dengan melakukan berbagai cara, baik legal atau ilegal. Kadang ada juga yang melapor itu hobi. Pengalaman saya di institusi yang lama, misalnya ada pelapor yang sudah jadi hobi, yang penting lapor dulu lah. Dikit-dikit lapor, urusan lain belakangan.

Nah, walaupun saya katakan sekali lagi, ini semua koreksi ya memang tingkat kepuasan publik itu kepada lembaga-lembaga negara, termasuk kepada KY belum memuaskan sebenarnya. Rakyat masih banyak yang mengeluh dengan pelayanan, ya saya katakan hampir seluruh lembaga negaralah, termasuk KY tingkat kepuasan itu belum mencukupi.

 


Hakim Bisa Dipecat, Status PNS Tetap Aman

amzulian
Ketua Komisi Yudisial, Amzulian Rifai. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Tadi disebutkan bahwa sanksi terberat bagi hakim yang melanggar kode etik adalah pemecatan, apakah ini berarti sang hakim juga diberhentikan dari PNS?

Jadi begini, kan kadang-kadang publik bertanya-tanya. Jadi ada dua jabatan itu, sebagai PNS dan sebagai hakim. Kewenangan kami maksimal sanksinya adalah pemberhentian sebagai hakim. Ini yang saya harus tegaskan, ada undang-undangnya, bukan juga kita sembarangan.

Bahwa berhenti dia sebagai hakim, tidak otomatis berhenti sebagai PNS. Jadi karier hakimnya tamat, tapi PNS-nya tidak. Tapi kan apa enak nih, misalnya saya diberhentikan jadi dosen, terus jadi bagian administrasi. Rasa-rasanya mundur saya dari dosen, gitu ya. Sama juga hakim, diberhentikan jadi hakim, tapi kemudian jadi staf administrasi.

Ya walaupun tidak berlaku umum, ada juga mungkin yang tahan-tahan saja, ya kan? Tapi kan kita bekerjanya atas dasar undang-undang yang menyatakan kita hanya memberhentikan sebagai hakim, PNS-nya perlu proses. Nah ini kan kadang-kadang ya memang pemimpin kita aspek kemanusiaannya mungkin tinggi, tidak apa-apalah berhenti jadi hakim, PNS-nya jangan.

Kata-kata memberhentikan itu enak, tapi yang menjalankannya bukan enak, bukan gampang itu. Saya waktu dekan dulu empat orang saya berhentikan, satu malah ada yang masuk penjara, wah enggak enak benar itu, tapi pemimpin harus berani.

Lihat saja track record saya, kalau sebagai dekan saja saya berani berhentikan empat orang, kemudian ada dosen yang sampai masuk penjara, masa saya diragukan? Jarang-jarang mungkin dekan melakukan itu kan? Orang kan track record-nya harus dilihat juga.

Berdasarkan undang-undang KY punya wewenang untuk melakukan penyadapan saat bekerja sama dengan aparat penegak hukum. Apakah KY sudah pernah melakukan penyadapan?

Penyadapan sama dengan jemput paksa, itu kan sebenarnya upaya-upaya extraordinary, yang luar biasa ya. Kalau ditanyakan pernah, sepaham saya belum, seingat saya, minimal selama saya ada di sini. Kan harus ada urgensinya, masa cuman menyadap jadi hobi gitu, kan enggak bisa begitu ya. Seberapa urgen kita menyadap ya.

Tapi tentu kita bisa melakukannya. Sama juga upaya paksa, bisa kita minta bantuan, tapi kan upaya paksa enggak bisa juga saya datang sama tim saya, menangkap orang, ya enggak bisa dong. Kembali ke kerja samanya dengan Kepolisian.

Oleh karena itu kita adanya MoU dengan Kepolisian, sama juga dengan penyadapan. Kalau memang urgent ya kita minta bantuan. Bisa kan lembaga-lembaga lain, Kejaksaan bisa penyadapan. Kita ada kerja sama dengan Kejaksaan, dengan Kepolisian misalnya.

Jadi harus dipahami, KY bukan penegak hukum seperti Lembaga lainnya. Sudah ada polisi, sudah ada jaksa, masa KY mau menjelma jadi jaksa juga? Nanti rancu dong, iya kan? Masa bidang tugasnya ikut-ikutan nyadap-nyadap nanti kan?

Di laman Komisi Yudisial disebutkan ada layanan whistle blowing system, itu maksudnya apa, Pak?

Saya pikir meniup peluit siapa pun boleh kan ya? Esensinya adalah bagaimana siapa pun sebetulnya tidak boleh takut memberitahukan adanya penyelewengan. Siapa pun itu ya, termasuk di internal ya kan?

Di internal boleh saja ada bos menyeleweng, lapor no name, asal tidak fitnah. Dia tahu ini ada penyelewengan, oh ini misalnya bosnya ini pergi jalan-jalan terus, berbohong soal duit, laporkan saja ya kan? Tidak masalah, itu kan kontrol.

Di banyak negara kan istilahnya whistle blowing system, esensinya adalah bagaimana birokrasi menjadi lebih baik, tidak hanya di KY saya yakin. Di seluruh kementerian lembaga ada sistem whistle blowing system itu, tidak hanya di KY. Tapi esensinya sekali lagi bahwa melaporkan penyelewengan itu dibolehkan, termasuk internal.

Sebagai lembaga pengawas, apakah Komisi Yudisial juga kerap mendapat tekanan?

Mancing-mancing ini ya? Saya pikir kan pekerjaan apa pun pasti ada tekanan, tidak mungkin tak ada tekanan ya kan? Justru itu yang menjadi Komisioner KY ini sudah lulus tes dulu, kalau enggak, enggak lulus dia. Termasuk lulus di tes soal tekanan, tes psikologi, mental.

Jadi tekanan pasti ada. Orang kita kepala SD saja ada tekanan, supaya anaknya diterima sekolah SD dekat rumahnya gitu ya kan. Apalagi Ketua KY yang punya kewenangan cukup strategis. Tapi bagi kami, kalaupun ada tekanan ya itu risiko pekerjaan. Tinggal kita bagaimana memanage-nya. Selalu ada, pasti ada.

 


Ke Jakarta karena Kalah Pemilihan Rektor

amzulian
Ketua Komisi Yudisial, Amzulian Rifai. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ada pengalaman menarik selama memimpin Komisi Yudisial?

Wah kalau saya, di mana saya diamanahkan bagi saya menarik semua. Mungkin karena saya terbiasa jadi aktivis dan selalu jadi ketua kelas sejak mulai sekolah ya, jadi sudah biasa mengurusi orang.

Dulu saya Ketua OSIS SMP, Ketua OSIS SMA, pimpinan majalah sekolah, jadi ketua asrama mahasiswa, ya ketua terus gimana? Ikut pramuka saya Jambore Nasional itu tahun 1981, 1986, 1991, 1996. Cibubur semua itu ya. Nasional dan Asia-Pasifik. Jadi bagi saya di manapun menarik.

Kalau khusus di KY tentu ini habitat baru bagi saya, apalagi di antara teman-teman itu kan ada yang sebelumnya hakim ya kan, hakim senior lagi. Jadi bagi saya sebetulnya tidak ada yang spesifik, semuanya menarik. Kan tinggal kita mengolahnya ya, menandakan menarik saya setiap hari ngantor. Insyaallah jam 6 kurang 10 saya sudah duduk di ruang kerja.

Tadi Bapak cerita selalu menjadi ketua dalam banyak aktivitas sejak lama, ke depan mau jadi ketua apa lagi?

Kalau saya kan mengalir saja ya. Saya seumur-umur di universitas enggak ada cita-cita saya ke Ombudsman. Saya lari ke Jakarta ini karena kalah pemilihan rektor, cuma itu saja sebabnya. Pemilihan rektor kalah, wah ini gimana caranya?

Kan sebenarnya mengabdi sudah semua. Ketua-ketua unit sudah semua, dekan sudah memimpin, S2, S3 sudah. Ikutlah pemilihan rektor, eh enggak kepilih. Karena enggak kepilih, wah gimana nih? Enggak enak nih namanya kalah ya. Lihat-lihat pengumuman ini, ada lah seleksi Ombudsman, ikut.

Padahal saya enggak ada teman, enggak ada siapa-siapa tapi mungkin ya tesnya objektif mungkin ya, saya lolos. Di kepresidenan lolos, di DPR lolos. Jadi ya enggak ada cita-cita ke Ombudsman, dan dua bulan menjelang habis masa bakti, mikir juga nih mau kemana lagi? Eh tahu-tahu ada KY mau seleksi.

Nah, kalau ditanya ke depan bagaimana? Ya saya selesaikan ini dulu. Saya selesaikan ini, apakah saya ada amanah lain? Kalau tidak ada saya kan punya tempat di kampus Sriwijaya di mana saya baru pensiun di umur 70. Sekarang umur saya 60 hampir, Desember nanti 60. Berarti masih ada 10 tahun saya menjadi pegawai negeri sipil.

Tapi prinsip saya adalah saya tidak mengejar-ngejar jabatan. Ya kalau memang ada amanah saya terima. Tidak ada amanah, kampus saya masih menerima saya, tidak ada masalah. Mahasiswa saya masih menanti saya, kira-kira begitu.

Kalau saat ini Bapak tidak begitu aktif mengajar di kampus?

Ya kalau untuk mengajar rutin memang sulit, maka saya sekarang kadang-kadang kayak dosen tamu. Per 3 bulan, per 6 bulan, atau menguji dan bimbingan untuk sidang terbuka ya. Itu kan enggak perlu waktu banyak ya. Mengajarnya jadi tanda kutip itu, per 3 bulan, per 6 bulan. Tapi kalau di Jakarta saya mengajar di IPDN, S3-nya, ya saya mengajar di situ.

Sebenarnya volume mengajarnya kini berkurang, sangat jauh berkurang. Karena kan saya sifatnya non-aktif, enggak boleh terima gaji dari kampus lagi. Ya iya dong, kalau enggak enak saja di situ dapat gaji sana-sini. Jadi di-off dulu, nanti kalau sudah berhenti dari KY baru on lagi.

 

 


Risiko Kehilangan Teman

amzulian
Ketua Komisi Yudisial, Amzulian Rifai. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebagai lembaga yang didirikan atas perintah langsung UUD 1945, apa harapan Bapak ke depannya untuk penguatan Komisi Yudisial?

Ya biasalah, anggaran biasanya ya kan? Problem kita anggaran dan SDM sebetulnya. Anggaran kita menurut saya masih perlu banyak ditingkatkan ya. Tapi kalau kita mengeluh, semua lembaga juga begitu, jadi kami pun tidak pada posisi mengeluhkan anggaran.

Kemudian SDM tentu, sumber daya manusia ya. Kemudian misalnya penguatan penghubung, kantor-kantor penghubung KY di daerah-daerah itu juga perlu penguatan. Kemarin kan kita bicara anggaran lagi, enggak bisa penguatan hanya pakai modal senyum, enggak bisa. Senyum perlu, tapi enggak menyelesaikan seluruhnya.

Maka sekali lagi kalau anggaran ditingkatkan, kemudian tentu kita bicara kesejahteraan. Tapi itu kan problem semua birokrasi kita, bukan hanya KY ya. Kemudian misalnya SDM yang juga kurang ya. Nah, harapan saya tentu itu bisa kita upayakan terus. Karena kita yakin kan kita masih sadar juga, negara kita kan punya kemampuan yang terbatas juga.

KY bukan satu-satunya lembaga yang paling penting, karena semua lembaga juga penting. Maka di dalam keterbatasan ini bagaimana kami selalu bekerja secara maksimal ya. Dan menurut saya sejauh ini bisalah, walaupun tidak mungkin juga memuaskan semua orang yang melapor ke KY.

Yang sebenarnya mereka tidak puas pada putusan hakim di persidangan?

Ya tidak bisa itu, mekanisme di negara mana pun hakim itu bebas membuat putusan. Hanya seringkali saya bilang kepada teman-teman hakim, Anda putuslah. Tapi putuslah, buat keputusan Anda itu berdasarkan nurani Anda, berdasarkan ilmu hukum yang Anda punya, berdasarkan agama Anda, putuslah.

Jangan sampai Anda bersembunyi di balik putusan, ya kan? Jangan Anda memutus itu misalnya sebetulnya karena ada sesuatu, maka Anda memutus seperti itu putusannya. Bebas itu sebebas-bebasnya, enggak masalah. Silakan dengan nurani Anda.

Bagaimana cara menjadi pemimpin yang baik menurut Bapak?

Pola hidup saya adalah Dasa Dharma saya ya. Ada 10 Dharma yang bisa kita pedomani. Kalau itu kita pedomani, misalnya nih suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, agama juga mengajarkan kita enggak boleh munafik.

Jangan dalam pikiran lain, yang diucapkan lain, di hatinya beda juga. Ini kan leadership semua, apa pun risikonya. Suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, itu saya pegang.

Kemudian disiplin, setia dan berani. Saya salah satunya dikenal sangat disiplin. Insyaallah sampai hari ini saya selalu bangun paling lambat 04.20 WIB. Tapi lebih banyak 04.00 WIB. Tidak perlu itu alarm, setelah bangun salat subuh tentu saja karena saya orang Islam.

Olahraga, walaupun badannya belum ideal, kan gitu. Terus mandi, selalu selesai mungkin 05.30 WIB, siap berangkat ke kantor. Berangkat ya bisa antara 12 menit sampai 17 menit sampai kantor. Itu saya lakukan terus dan harusnya bawahan juga disiplin.

Anda pun kalau punya staf disiplin pasti pada senang. Jangan sampai disuruh datang jam 8, jam 12 insyallah datang, ya kan? Disuruh mengumpulkan tugas tanggal 3, tanggal 7 ditunggu belum datang juga kan? Kan itu menyangkut kedisiplinan. Orang suruh pakai sepatu, dia pakai sandal jepit misalnya. Jadi kita mesti disiplin.

Setia, kita setia dengan lembaga kita di manapun kita bekerja ya. Kita setia, jangan jadi pengkhianat di lembaganya. Tentu banyak artilah berkhianat di situ. Kita jangan jadi penjilat, termasuk di situ ya. Semua yang penting bos kita senang, bisa kacau itu kantor kalau yang penting bos senang semua, ya kan? Setia itu kepada profesi kita.

Kemudian berani, Anda harus berani, apalagi memimpin lembaga pengawas. Saya di lembaga yang lalu (Ombudsman) itu kalau enggak berani karena seluruh kementerian dan lembaga yang kita awasi. Berhadapan dengan begitu banyak kementerian dan lembaga, Anda harus berani. Berani tentu dengan perhitungan.

Setelah sesuatunya benar, segala sesuatunya memenuhi syarat, Anda harus mengambil keputusan. Anda harus berani, karena dalam hidup saya banyak menghadapi risiko.

Risiko seperti apa saja, Pak?

Berisiko kehilangan teman, berisiko kehilangan sahabat. HP Anda mungkin diblokirnya karena Anda tidak memenuhi permintaan dia. Dia tidak pernah lagi senyum kepada Anda, rezeki Anda mungkin ditutupnya. Ini harus membutuhkan keberanian ya.

Saya pada waktu menindak dosen, senior saya yang ditindak. Musuhnya jadi seumur hidup, sampai seketurunannya, orang masuk penjara bagaimana? Tapi saya harus mengambil keputusan. Kita harus berani. Nah, ini kan enggak bisa tiba-tiba.

Mungkin karena setiap hari dia latihan karate, ada sumpah karatenya, itu yang membentuk pribadinya. Mungkin dia olahraga ya, olahraga apa pun. Enggak ada orang olahraga itu lemah gemulai, pasti orang olahraga itu disiplin, apalagi kayak tinju atau apa gitu. Itu kan melatih kita semua.

Kalau kita suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Kalau seluruh staf kita suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Yang kedua, disiplin, setia dan berani, ini saja kita pegang dan insyaallah ini yang saya pegang.

Kita, termasuk saya, tidak ada yang sempurna. Semua kita penuh dengan kelemahan, kekurangan. Ada istilahnya kalau Tuhan menunjukkan aib kita, maka semua kita punya aib, tetapi tidak menghentikan kita untuk berusaha menjadi lebih baik terus. Saya pikir itu yang bisa saya kemukakan.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya