Pengamat Jelaskan Alur Pengaduan Konsumen Agar Tak Langsung Buat Viral

Pengamat Konsumen Arief Safari meminta masyarakat untuk berhati-hati dan tidak bermain hakim sendiri dengan memviralkan sesuatu hal apabila ingin melakukan komplain.

oleh Tim News diperbarui 16 Agu 2024, 01:18 WIB
Diterbitkan 15 Agu 2024, 17:38 WIB
Ilustrasi Instagram, main media sosial Instagram
Pengamat Konsumen Arief Safari meminta masyarakat untuk berhati-hati dan tidak bermain hakim sendiri dengan memviralkan sesuatu hal apabila ingin melakukan komplain. (Photo by Jakob Owens on Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat diminta untuk berhati-hati dan tidak bermain hakim sendiri dengan memviralkan sesuatu hal apabila ingin melakukan komplain. Hal tersebut dilakukan guna menghindar dari kesalahpahaman yang berpotensi berujung pidana.

"Takutnya pelaku usaha ternyata punya bukti lain dan malah berbalik. Itu yang harus hati-hati," ujar Pengamat Konsumen Arief Safari, melalui keterangan tertulis, Kamis (15/8/2024).

Dia menjelaskan, konsumen memang berhak untuk melakukan aduan apabila mendapatkan barang tidak sesuai dengan kualitasnya. Hal tersebut kata Arief, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.

"Namun, ada tahapan yang sebaiknya dilakukan konsumen untuk melakukan hal tersebut," ucap dia.

Arief menjelaskan, konsumen seharusnya memberikan komplain langsung kepada produsen atau pelaku usaha apabila merasa ada haknya yang dilanggar. Artinya, kata dia, tidak serta merta melakukan dokumentasi dan disebar ke publik luas.

"Artinya tidak memviralkan tetapi lapor. Bicara dulu sama pelaku usaha," terang Arief.

Dia melanjutkan, apabila tidak ada resolusi maka melapor dan meminta advokasi ke Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

Misalnya saja, kata Arief, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) atau badan LPKSM lain. Bisa juga mengadu ke pemerintah misalnya ke direktorat perlindungan konsumen di kementerian perdagangan atau ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI.

"Advokasi ini gunanya supaya lembaga ini menemani si konsumen untuk bicara lagi dengan pelaku usaha agar ada resolusi dari masalah yang terjadi," terang dia.

 

Harus Bertanggungjawab

China Targetkan Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen di Tahun 2023
Komuter memesan makanan dari toko takeaway pada jam sibuk pagi hari di Beijing, China, Senin (6/3/2023). Pejabat ekonomi China menyatakan keyakinannya bahwa mereka dapat memenuhi target pertumbuhan tahun ini sekitar 5 persen dengan menghasilkan 12 juta pekerjaan baru dan mendorong pengeluaran konsumen setelah berakhirnya kontrol antivirus yang membuat jutaan orang tetap di rumah. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Mantan Koordinator Komisi Komunikasi Dan Edukasi BPKN ini mengatakan, apabila resolusi ini tidak terwujud baru dilarikan ke jalur litigasi sengketa di pengadilan atau bisa juga ke jalur non-litigasi melalui badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) di masing-masing provinsi.

Arief menegaskan, masyarakat harus berani bertanggungjawab apabila tidak melakukan pengaduan sesuai prosedur tersebut.

Dia melanjutkan, karena produsen atau pelaku usaha juga memiliki hak untuk menyanggah informasi yang telah disebarkan tersebut.

"Kalau sudah viral ya berarti dia (konsumen) harus bertanggung jawab atas informasi yang diaviralkan tersebut, benar tidak?. Kalau tidak benar berarti kan si pelaku usaha berhak untuk menyanggah hal itu kemudian mempermasalahkan masalah yang ada sesuai Undang-Undang ITE," jelas Arief.

Sebelumnya, sempat beredar video viral di media sosial terkait produk air minum dalam kemasan (AMDK) yang mengandung jentik hitam yang diunggah seorang konsumen.

Namun saat akan ditelusuri, konsumen tersebut mempersulit produsen untuk memverifikasi ketidak sesuaian barang yang diterima.

Pakar Hukum Pidana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Setya Indra Arifin mengingatkan potensi pelanggaran pidana kepada semua konsumen yang menyebarkan informasi yang tidak sesuai fakta.

Dia menjelaskan, unggahan tersebut bisa jadi berpengaruh terhadap citra diri dan mencoreng nama baik pribadi atau institusi tertentu.

"Jika itu terjadi, dia bisa dituntut karena pencemaran nama baik. Dan saya kira bisa lebih berbahaya lagi kalau yang dinyatakan itu adalah fitnah," jelas Setya.

Infografis tren makanan konsumen GoFood
Infografis tren makanan konsumen GoFood. (Dok. GoFOOD)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya