Liputan6.com, Jakarta Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menegaskan pentingnya segera dimulainya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu.
Menurut dia, dengan waktu yang banyak akan memungkinkan pembahasan substansi yang lebih komprehensif dan mendalam, baik dari sisi akademik maupun dampak praktisnya di masa depan.
Baca Juga
Selain itu, lanjut Titi, pembahasan dengan waktu yang cukup diperlukan untuk memastikan partisipasi semua pihak mengingat luasnya ruang lingkup materi muatan dalam UU Pemilu.
Advertisement
"UU Pemilu instrumen penting, karena untuk rekayasa elektoral demi mewujudkan pemilu konstitusional, jujur, adil, demokratis," kata dia seperti dilansir dari Antara, Senin (27/1/2025).
Titi menjelaskan, Indonesia baru saja menyelesaikan tahun pemilu dan kini memasuki periode pasca-elektoral. Menurutnya, saat ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan kajian, audit, atau evaluasi terhadap pelaksanaan pemilu yang telah berlangsung, berdasarkan berbagai studi yang ada.
Dia juga mendorong agar dilakukan kodifikasi terhadap UU Pemilu, yang mencakup pemilu legislatif, pemilu presiden, pemilu kepala daerah, serta penyelenggara pemilu dalam satu naskah.
Menurutnya, penggabungan pengaturan pemilu dan pilkada dalam satu UU akan menciptakan koherensi dan konsistensi yang lebih baik, sekaligus memudahkan penggunaan undang-undang tersebut sebagai instrumen pendidikan politik bagi publik dalam memahami regulasi yang ada.
Â
Hindari yang Terburu-buru
Secara filosofis, sosiologis, dan yuridis, Titi menyatakan bahwa kondisi saat ini telah memenuhi prasyarat objektif untuk mencabut atau mengganti UU Pemilu dan UU Pilkada dengan UU baru melalui model kodifikasi.
Dalam model ini, materi muatan UU akan dikelompokkan secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf, guna menciptakan struktur yang lebih jelas dan terorganisir.
Selain itu, dia juga mengkritik proses pembahasan RUU Pilkada yang seringkali terburu-buru oleh DPR. Menurutnya, pembahasan yang tergesa-gesa ini berdampak negatif, terutama dalam hal partisipasi masyarakat yang tidak optimal.
Sebagai contoh, ia mengungkapkan bahwa UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disahkan pada 16 Agustus 2017, padahal tahapan Pemilu Serentak 2019 sudah dimulai keesokan harinya, pada 17 Agustus 2017.
Advertisement