Survei KKI: Konsumen Lebih Utamakan Harga Murah daripada Bahaya BPA di Galon Guna Ulang

Hasil survei dan investigasi lapangan Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) mengungkap sebuah paradoks dalam perilaku konsumen Indonesia terkait penggunaan galon air minum dalam kemasan guna ulang.

oleh Gilar Ramdhani pada 30 Jan 2025, 08:01 WIB
Diperbarui 30 Jan 2025, 07:15 WIB
Survei KKI: Konsumen Lebih Utamakan Harga Murah daripada Bahaya BPA di Galon Guna Ulang
Ilustrasi galon guna ulang. (tempakul/depositphotos.com)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Hasil survei dan investigasi lapangan Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) mengungkap sebuah paradoks dalam perilaku konsumen Indonesia terkait penggunaan galon air minum dalam kemasan guna ulang. Meskipun 60,8% konsumen mengetahui adanya risiko kesehatan dari paparan Bisphenol-A (BPA) pada galon guna ulang, ternyata sebagian besar dari mereka tetap memilih untuk menggunakan produk tersebut karena alasan harga lebih murah.

"Survei menunjukkan sebagian besar konsumen (60,8%) di lima kota telah mengetahui risiko BPA dalam galon polikarbonat dapat membahayakan kesehatan. Namun, hampir 39% dari yang mengetahui menyatakan tetap akan menggunakannya, sebagian responden (27%) karena alasan ekonomis, sementara 11,7% lainnya menggunakan alasan karena merasa sudah terbiasa mengkonsumsi," jelas Ketua KKI, David M. L. Tobing dalam Konferensi Pers Paparan Hasil Survei dan Investigasi KKI yang digelar di Jakarta, Kamis (23/1/2025).

Seperti diketahui, BPA adalah senyawa kimia yang digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan plastik polikarbonat dan resin epoksi. Penemuan BPA dalam berbagai produk, mulai dari wadah makanan hingga galon air minum telah lama menjadi perhatian di kalangan ahli kesehatan. Sebabnya, paparan BPA dapat menyebabkan risiko kesehatan, termasuk gangguan hormon, masalah reproduksi, dan bahkan risiko kanker. 

Meskipun bahaya BPA telah banyak dibahas, hasil survei KKI menunjukkan bahwa kesadaran konsumen akan bahaya BPA masih terbatas. Hanya 60,8% responden yang mengetahui risiko tersebut, sementara sisanya tidak menyadarinya. 

David Tobing mengungkapkan, salah satu faktor utama yang mendorong paradoks ini adalah budaya konsumen Indonesia yang cenderung mengabaikan informasi pada kemasan produk.

“Dari 495 responden yang kami survei, 83% mengaku tidak memperhatikan informasi tentang usia pakai galon guna ulang, padahal kemasan galon polikarbonat yang digunakan berulang kali tanpa ada aturan batas pakai berpotensi melepaskan BPA,” ujarnya.

Promosi 1
Survei KKI: Konsumen Lebih Utamakan Harga Murah daripada Bahaya BPA di Galon Guna Ulang
Konferensi Pers Paparan Hasil Survei dan Investigasi KKI yang digelar di Jakarta, Kamis (23/1/2025).... Selengkapnya

David menambahkan, meskipun konsumen tahu adanya risiko BPA, mereka tetap memilih galon guna ulang karena alasan ekonomis. 

“91,9% responden memilih galon guna ulang karena harganya lebih murah. Mereka lebih memprioritaskan harga ketimbang risiko kesehatan,” jelasnya.

Hal survei KKI menunjukkan bahwa meskipun konsumen memiliki akses terhadap informasi kesehatan, mereka cenderung mengabaikannya jika dihadapkan pada pilihan yang lebih murah. Fenomena ini juga mencerminkan rendahnya kesadaran akan pentingnya hak atas produk yang sehat dan aman. Oleh karena itu, David menekankan bahwa edukasi kepada konsumen juga menjadi kunci penting dalam mengubah perilaku konsumsi.

“Konsumen perlu diedukasi agar lebih kritis dalam memilih produk yang sehat dan aman,” ujarnya.

Mayoritas Konsumen Minta Pelabelan Bahaya BPA Dipercepat

Ilustrasi Galon
Galon Guna Ulang (Yulia Lisnawati/Liputan6.com)... Selengkapnya

Selain itu, KKI turut menyoroti lambanya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam mengimplementasikan aturan pelabelan bahaya BPA pada galon guna ulang. Meski BPOM telah menerbitkan regulasi yang mewajibkan pelabelan BPA pada kemasan galon polikarbonat melalui Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024, tenggat waktu yang ditetapkan, yakni 4 tahun, dianggap terlalu lama.

Setelah mengetahui adanya aturan itu, mayoritas konsumen di lima kota besar, termasuk Jakarta, Medan dan Bali, menginginkan pemerintah mempercepat implementasi pelabelan risiko senyawa kimia berbahaya Bisfenol A (BPA) pada galon guna ulang.

"96% responden kami menyatakan bahwa pelabelan BPA harus dipercepat, tidak perlu menunggu 4 tahun. Hak konsumen atas informasi harus diprioritaskan,” tegas David.

Sebagai informasi tambahan, otoritas keamanan pangan di berbagai negara juga telah mengeluarkan beragam kebijakan untuk mencegah risiko paparan BPA pada kesehatan konsumen.

"Bukti terbarunya bisa dilihat dari kebijakan Uni Eropa yang melarang total penggunaan BPA sebagai zat kontak pangan per 1 Januari 2025," kata David.

 

(*)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya