Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Benny Mamoto dilaporkan oleh pengusaha money changer Helena ke Bareskrim Polri. Helena melapor karena menuduh Benny memerasnya supaya rekening yang sebelumnya diblokir, dibuka kembali.
Berdasarkan tanda bukti laporan (TBL) bernomor TBL/288/VI/2013/Bareskrim tertanggal 28 Juni 2013 yang beredar, Benny diduga melakukan tindak Pidana Penyalahgunaan Kewenangan oleh Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 412 KUHP.
Setelah menerima laporan tersebut, Benny menerima banyak ancaman. Bahkan Kantor BNN pun diobrak-abrik oleh oknum polisi, Kompol AD. BNN, atas perintah Benny, mendatangi Mapolres Jakarta Timur.
Kepada Liputan6.com, Benny Mamoto menceritakan asal mula permasalahan tersebut. Berikut wawancara yang dilakukan bersama Benny Mamoto, di ruangannya Markas BNN, Jakarta Timur, Jumat (5/7/2013).
Tanya: Apakah mengenal Helena?
Benny Mamoto: Saya tidak kenal Helena, kalaupun pernah bertemu saya lupa mukanya seperti apa. Apalagi kami tidak mau berurusan langsung dengan pihak-pihak yang sedang ditangani oleh penyidik. Kami beri kewenangan penuh terhadap direktur, kasubdit, kalau berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, ini aneh dan lucu.Â
Tanya: Apakah benar Anda yang mengeluarkan surat untuk memblokir rekening Helena?
Benny Mamoto: Yang mengeluarkan surat perintah blokir itu Pak Tommy Sagiman, bukan saya. Dia yang menerbitkan surat permintaan blokir, dia deputi lama.Â
Tanya: Kapan kasus Helena ini ditangani BNN?
Benny Mamoto: Ini kasus Januari 2012, Deputinya bukan saya waktu itu, tapi Pak Tommy.
Tanya: Kasus ini berawal dari laporan siapa?
Benny Mamoto: Kasus ini berawal dari laporan PPATK bahwa ada (aliran dana) yang mencurigakan dan diduga dari (transaksi) narkoba. Kami selidiki dan memang betul ada, yaitu money changer punyanya Helena. Kami dalami saksi-saksi, kami dapati karyawan dia yang disuruh buka rekening dengan KTP palsu. Ini pun masih kita kembangkan. Dalam proses penyelidikan kami mau transparan, lantas kami gelar perkara di BNN. Kami undang BI, Dirjen Pajak, Bareskrim Polri, PPATK, kita gelar transparan dan evaluasi hasil penyelidikan. Kesimpulannya penyelidikan jalan terus, lalu kumpulkan rekening dari para sindikat karena biasa saling terhubung dan ini makan waktu, kami harus teliti. Dalam perjalanannya ada makelar kasus yang terus merayu penyidik dan memberi tekanan untuk menghentikan kasus ini dan membuka blokir rekening.Â
Tanya: Apa saja yang dilakukan makelar kasus ini terhadap Anda dan tim penyidik?
Benny Mamoto: Kami bertahan, karena dari indikasi yang ada, mau kita buktikan ada transaksi mencurigakan yang masuk money changer tersebut. Karena tidak dituruti, ancaman masuk. Mau dilaporkan, saya bilang silakan. Kami profesional. Pertanyaannya ada apa di balik ini? Kami dengar Helena dibujuk "markus" (makelar kasus) ini untuk melapor dan kami sudah tahu siapa oknum ini.Â
Tanya: Siapa oknum yang mengancam Anda?
Benny Mamoto: Orangnya juga bisa kita petakan. Ini memang bentuk perlawanan balik sindikat. Mereka ini sudah tidak punya hati nurani. Biar waktu yang bicara. Mereka atasan.
Tanya: Bagaimana peran makelar kasus dalam masalah ini?
Benny Mamoto: Mereka itu penengah. Awalnya ngomong baik-baik ke kami, untuk menghentikan kasus ini, tapi lama-lama mereka keras juga. Mengancam kita, bilang mau lapor. Di sinilah peran mereka. Yang dibilang saya memeras itu tidak ada, malah bisa jadi "markus" ini yang meras.
Tanya: Maksud dari Markus yang memeras?
Benny Mamoto: Jadi begini, Helena mungkin dijanjikan akan mendapat rekeningnya kembali kalau percaya sama dia. Mungkin si markus ini, minta uang sekian, dengan dalih rekening tidak diblokir lagi. Tapi rekening tidak kunjung dibuka, Helena pasti menagih janji. Jadi yang dibilang saya memeras itu, jalan-jalan ke Singapura itu bukan saya atau anak buah saya.
Tanya: Sudah bertanya langsung ke anak buah Anda soal kemungkinan memeras itu?
Benny Mamoto: Sudah. Sekarang anak buah saya sedang di Manila. Kemarin saya panggil mereka, saya tanya benar atau tidak memeras. Mereka jawab tidak. Saya tanya soal jalan-jalan ke Singapura, mereka bilang tidak pernah karena data yang diperlukan untuk penyelidikan dikirim lewat e-mail dari Singapura.Â
Tanya: Soal kemarin malam, apakah benar ada penyidik Mabes Polri yang masuk ke BNN tanpa izin?
Benny Mamoto: Tadi malam terjadi sebuah peristiwa, sekitar jam 20.00 WIB kurang, ada 1 oknum polri. Dulu dia itu pernah bertugas di BNN, tapi sudah ditarik lagi ke Mabes. Dia datangin satpam, lalu memaksa dia buat nemenin. Karena kalau mau naik ke atas, lewat lift itu mesti pakai ID. Ini oknum bukan orang BNN jadi nggak ada ID. Naiklah dia ke lantai 6, langsng ke ruang arsip. Dia bongkar-bongkar file di Tata Usaha. Dari situ dia ambil 2 folder, 1 dia taruh di tas, 1 ditenteng. Mungkin dia lupa tuh kalau di BNN ada CCTV. Kita tahu oknumnya siapa. Apalagi dia pernah kerja di sini. Memang ini orang dari dulu bermasalah. Masuk kerja sering telat, jarang masuk dan pernah juga berurusan sama bandar narkoba. Namanya Kompol AD yang pernah memberikan lencana BNN kepada seorang bandar narkoba, ASM. Sebenarnya, saya tidak masalah kalau penyitaan sesuai aturan. Kalau menggeledah dan menyita kan ada aturan. KPK saja geledah harus ada saksi. Kalau di kantor kan ada atasan. Harus jelas dan ada tanda terima. Ini tindakan dia tidak profesional, arogan, dan merusak citra penegak hukum.Â
Tanya: 2 File yang dicuri itu apa?
Benny Mamoto: Bukan apa-apa. Isinya tidak penting. Bila digunakan untuk melawan saya, juga tidak apa-apa. Karena saya yakin selama ini tidak pernah berbuat macam-macam.
Tanya: Tidak akan mempengaruhi posisi bapak?
Benny Mamoto: Saya ini orang benar. Tegas dalam bekerja. Saya dari dulu jaga diri. Diajak pergi keluar juga lihat-lihat dulu, kalau tempat makan boleh, tempat tidak benar semacam hiburan tidak mau. Saya memang dikenal kuper.
Tanya: Peran Helena dan perusahaannya itu seperti apa?
Benny Mamoto: Jadi masalah isu nasional itu ada teroris, korupsi, dan narkoba. Itu urutannya, sebenarnya harusnya dibalik. Jadi narkoba, korupsi, dan teroris. Mengapa? Karena narkoba itu bisa ke mana-mana. Hasil dari penjualan narkoba itu bisa tahu-tahu di luar negeri. Kalau Helena itu begini. Dia punya money changer, modusnya, dia suruh anak buahnya bikin rekening baru. Nanti hasil penjualan narkoba dimasukan ke rekening anak buahnya dan itu dimasukan ke perusahaan. Oleh perusahaan, dipakai uang itu untuk beli uang mata asing di negara lain. Artinya, uang itu sudah pindah ke negara lain.
Tanya: Menurut Anda mengapa bisa terjadi kasus ini?
Benny Mamoto: Sepak terjang saya secara tegas melawan sindikat itu membuat sindikat marah. Dibantu para kroni yang menerima jatah uang preman. Mereka marah dan takut terungkap. Saya sadar betul saya hadapi risiko itu. Saya ambil risiko itu karena saya cinta bangsa ini. Jangan salah, oknum yang makan uang itu, anak cucunya bisa sakau loh, uang haram, sadarkah mereka? Ketika kita keras, kita dapat perlawanan, itu sudah risiko, tapi saya yakin Tuhan melindungi kita.
Tanya: Bukan perebutan kursi kapolri?
Benny Mamoto: Tidak, karena fakta lapangan lebih menyerang saya secara personal. Diancam, ditusuk dari belakang, mau dilaporin ke sana-sini. Sudah biasa saya.
Tanya: Terkait kedatangan BNN ke Polres Jakarta Timur, apa yang menjadi penyebabnya?
Benny Mamoto: Kita sempat koordinasi bahwa ada kejadian seperti ini, supaya mereka tahu. Tapi formal kita melapor, kami tahan dulu.Â
Tanya: Apakah ini bisa jadi BNN vs Polri?
Benny Mamoto: Kan ada KPK vs Polri... Ke depan ya... (Sambil senyum).
(Ism/Ali)
Berdasarkan tanda bukti laporan (TBL) bernomor TBL/288/VI/2013/Bareskrim tertanggal 28 Juni 2013 yang beredar, Benny diduga melakukan tindak Pidana Penyalahgunaan Kewenangan oleh Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 412 KUHP.
Setelah menerima laporan tersebut, Benny menerima banyak ancaman. Bahkan Kantor BNN pun diobrak-abrik oleh oknum polisi, Kompol AD. BNN, atas perintah Benny, mendatangi Mapolres Jakarta Timur.
Kepada Liputan6.com, Benny Mamoto menceritakan asal mula permasalahan tersebut. Berikut wawancara yang dilakukan bersama Benny Mamoto, di ruangannya Markas BNN, Jakarta Timur, Jumat (5/7/2013).
Tanya: Apakah mengenal Helena?
Benny Mamoto: Saya tidak kenal Helena, kalaupun pernah bertemu saya lupa mukanya seperti apa. Apalagi kami tidak mau berurusan langsung dengan pihak-pihak yang sedang ditangani oleh penyidik. Kami beri kewenangan penuh terhadap direktur, kasubdit, kalau berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, ini aneh dan lucu.Â
Tanya: Apakah benar Anda yang mengeluarkan surat untuk memblokir rekening Helena?
Benny Mamoto: Yang mengeluarkan surat perintah blokir itu Pak Tommy Sagiman, bukan saya. Dia yang menerbitkan surat permintaan blokir, dia deputi lama.Â
Tanya: Kapan kasus Helena ini ditangani BNN?
Benny Mamoto: Ini kasus Januari 2012, Deputinya bukan saya waktu itu, tapi Pak Tommy.
Tanya: Kasus ini berawal dari laporan siapa?
Benny Mamoto: Kasus ini berawal dari laporan PPATK bahwa ada (aliran dana) yang mencurigakan dan diduga dari (transaksi) narkoba. Kami selidiki dan memang betul ada, yaitu money changer punyanya Helena. Kami dalami saksi-saksi, kami dapati karyawan dia yang disuruh buka rekening dengan KTP palsu. Ini pun masih kita kembangkan. Dalam proses penyelidikan kami mau transparan, lantas kami gelar perkara di BNN. Kami undang BI, Dirjen Pajak, Bareskrim Polri, PPATK, kita gelar transparan dan evaluasi hasil penyelidikan. Kesimpulannya penyelidikan jalan terus, lalu kumpulkan rekening dari para sindikat karena biasa saling terhubung dan ini makan waktu, kami harus teliti. Dalam perjalanannya ada makelar kasus yang terus merayu penyidik dan memberi tekanan untuk menghentikan kasus ini dan membuka blokir rekening.Â
Tanya: Apa saja yang dilakukan makelar kasus ini terhadap Anda dan tim penyidik?
Benny Mamoto: Kami bertahan, karena dari indikasi yang ada, mau kita buktikan ada transaksi mencurigakan yang masuk money changer tersebut. Karena tidak dituruti, ancaman masuk. Mau dilaporkan, saya bilang silakan. Kami profesional. Pertanyaannya ada apa di balik ini? Kami dengar Helena dibujuk "markus" (makelar kasus) ini untuk melapor dan kami sudah tahu siapa oknum ini.Â
Tanya: Siapa oknum yang mengancam Anda?
Benny Mamoto: Orangnya juga bisa kita petakan. Ini memang bentuk perlawanan balik sindikat. Mereka ini sudah tidak punya hati nurani. Biar waktu yang bicara. Mereka atasan.
Tanya: Bagaimana peran makelar kasus dalam masalah ini?
Benny Mamoto: Mereka itu penengah. Awalnya ngomong baik-baik ke kami, untuk menghentikan kasus ini, tapi lama-lama mereka keras juga. Mengancam kita, bilang mau lapor. Di sinilah peran mereka. Yang dibilang saya memeras itu tidak ada, malah bisa jadi "markus" ini yang meras.
Tanya: Maksud dari Markus yang memeras?
Benny Mamoto: Jadi begini, Helena mungkin dijanjikan akan mendapat rekeningnya kembali kalau percaya sama dia. Mungkin si markus ini, minta uang sekian, dengan dalih rekening tidak diblokir lagi. Tapi rekening tidak kunjung dibuka, Helena pasti menagih janji. Jadi yang dibilang saya memeras itu, jalan-jalan ke Singapura itu bukan saya atau anak buah saya.
Tanya: Sudah bertanya langsung ke anak buah Anda soal kemungkinan memeras itu?
Benny Mamoto: Sudah. Sekarang anak buah saya sedang di Manila. Kemarin saya panggil mereka, saya tanya benar atau tidak memeras. Mereka jawab tidak. Saya tanya soal jalan-jalan ke Singapura, mereka bilang tidak pernah karena data yang diperlukan untuk penyelidikan dikirim lewat e-mail dari Singapura.Â
Tanya: Soal kemarin malam, apakah benar ada penyidik Mabes Polri yang masuk ke BNN tanpa izin?
Benny Mamoto: Tadi malam terjadi sebuah peristiwa, sekitar jam 20.00 WIB kurang, ada 1 oknum polri. Dulu dia itu pernah bertugas di BNN, tapi sudah ditarik lagi ke Mabes. Dia datangin satpam, lalu memaksa dia buat nemenin. Karena kalau mau naik ke atas, lewat lift itu mesti pakai ID. Ini oknum bukan orang BNN jadi nggak ada ID. Naiklah dia ke lantai 6, langsng ke ruang arsip. Dia bongkar-bongkar file di Tata Usaha. Dari situ dia ambil 2 folder, 1 dia taruh di tas, 1 ditenteng. Mungkin dia lupa tuh kalau di BNN ada CCTV. Kita tahu oknumnya siapa. Apalagi dia pernah kerja di sini. Memang ini orang dari dulu bermasalah. Masuk kerja sering telat, jarang masuk dan pernah juga berurusan sama bandar narkoba. Namanya Kompol AD yang pernah memberikan lencana BNN kepada seorang bandar narkoba, ASM. Sebenarnya, saya tidak masalah kalau penyitaan sesuai aturan. Kalau menggeledah dan menyita kan ada aturan. KPK saja geledah harus ada saksi. Kalau di kantor kan ada atasan. Harus jelas dan ada tanda terima. Ini tindakan dia tidak profesional, arogan, dan merusak citra penegak hukum.Â
Tanya: 2 File yang dicuri itu apa?
Benny Mamoto: Bukan apa-apa. Isinya tidak penting. Bila digunakan untuk melawan saya, juga tidak apa-apa. Karena saya yakin selama ini tidak pernah berbuat macam-macam.
Tanya: Tidak akan mempengaruhi posisi bapak?
Benny Mamoto: Saya ini orang benar. Tegas dalam bekerja. Saya dari dulu jaga diri. Diajak pergi keluar juga lihat-lihat dulu, kalau tempat makan boleh, tempat tidak benar semacam hiburan tidak mau. Saya memang dikenal kuper.
Tanya: Peran Helena dan perusahaannya itu seperti apa?
Benny Mamoto: Jadi masalah isu nasional itu ada teroris, korupsi, dan narkoba. Itu urutannya, sebenarnya harusnya dibalik. Jadi narkoba, korupsi, dan teroris. Mengapa? Karena narkoba itu bisa ke mana-mana. Hasil dari penjualan narkoba itu bisa tahu-tahu di luar negeri. Kalau Helena itu begini. Dia punya money changer, modusnya, dia suruh anak buahnya bikin rekening baru. Nanti hasil penjualan narkoba dimasukan ke rekening anak buahnya dan itu dimasukan ke perusahaan. Oleh perusahaan, dipakai uang itu untuk beli uang mata asing di negara lain. Artinya, uang itu sudah pindah ke negara lain.
Tanya: Menurut Anda mengapa bisa terjadi kasus ini?
Benny Mamoto: Sepak terjang saya secara tegas melawan sindikat itu membuat sindikat marah. Dibantu para kroni yang menerima jatah uang preman. Mereka marah dan takut terungkap. Saya sadar betul saya hadapi risiko itu. Saya ambil risiko itu karena saya cinta bangsa ini. Jangan salah, oknum yang makan uang itu, anak cucunya bisa sakau loh, uang haram, sadarkah mereka? Ketika kita keras, kita dapat perlawanan, itu sudah risiko, tapi saya yakin Tuhan melindungi kita.
Tanya: Bukan perebutan kursi kapolri?
Benny Mamoto: Tidak, karena fakta lapangan lebih menyerang saya secara personal. Diancam, ditusuk dari belakang, mau dilaporin ke sana-sini. Sudah biasa saya.
Tanya: Terkait kedatangan BNN ke Polres Jakarta Timur, apa yang menjadi penyebabnya?
Benny Mamoto: Kita sempat koordinasi bahwa ada kejadian seperti ini, supaya mereka tahu. Tapi formal kita melapor, kami tahan dulu.Â
Tanya: Apakah ini bisa jadi BNN vs Polri?
Benny Mamoto: Kan ada KPK vs Polri... Ke depan ya... (Sambil senyum).
(Ism/Ali)