[OPINI] Korelasi Gerhana Matahari dan Pertanda Bencana

Zaman telah menjawab bahwa tidak ada korelasi positif antara gerhana matahari dan pertanda bencana alam.

oleh Liputan6 diperbarui 14 Mar 2016, 18:51 WIB
Diterbitkan 14 Mar 2016, 18:51 WIB
Hakim L. Malasan
Opini Hakim L. Malasan (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Astronomi seperti halnya ilmu pengetahuan alam lain yang serumpun yakni Fisika, Kimia, dan Biologi (sedang Matematika adalah 'Queen of Science') memiliki satu karakter yang unik yakni predictive power.

Melalui metodologi sains yang mendasari pengamatan astronomis, astronom menjelaskan secara ilmiah serta memprediksi dengan intuisi dan logika, fenomena alam yang akan terjadi berdasarkan telaah seksama terhadap periodisitasnya.

Metode ini mengandalkan kedisiplinan pengumpulan dan rasionalitas yang tinggi terhadap data, dan menjadi landasan empirisme dalam dunia deduksi-induksi dalam sains.

Kemampuan prediksi ini dibuktikan dengan begitu cermatnya penentuan waktu gerhana matahari total hingga order persepuluh detik!

Tetapi dalam sejarahnya, Astronomi (sebagai sains tertua) didekati melalui berbagai jalur. Manusia sebagai makhluk berakal memiliki khazanah yang luas dalam mengejawantahkan berbagai fenomena alam.

Karena itulah kita menyaksikan berbagai asimilasi antara aspek kultural dan ilmiah dalam mempelajari fenomena alam yang astronomis. Berbagai mitos sekitar peristiwa alam seperti kemunculan komet dan gerhana matahari atau gerhana bulan, pun muncul sebagai 'ekses' dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia.

Pendekatan ini berlangsung secara rasional dalam tataran teknik pengukuran, berakhir pada tafsir pseudo-sains, sesuatu yang sangat berlawanan dengan sains itu sendiri. Namun demikian, umat manusia menjadi gemar dengan hal-hal yang mistis seperti ini, dan cenderung mewariskannya pada generasi berikut.

 

Tatkala terjebak pada pandangan ini, kita akan menjadi bias dan merugikan umat itu sendiri. Contoh nyata adalah saat kehadiran peristiwa gerhana matahari total 11 Juni 1983, yang disambut dengan sembunyinya sebagian besar penduduk Indonesia di rumah-rumah, ditutupnya ventilasi dengan menggunakan tikar agar ibu hamil tidak terpapar cahaya matahari dan melahirkan bayi-bayi yang "belang".

Satu kisah nyata di tanah air yang membuat senyum meringis para pelajar astronomi kita, yang bersama para ilmuwan mancanegara merayakan peristiwa gerhana terindah dan terpanjang sepanjang masa kala itu.  

Penulis yang kala itu masih seorang mahasiswa tingkat 3 program sarjana, mengikuti rombongan astronom ITB dan manca negara ke Tanjung Kodok, merasakan betul kontras antara tepuk tangan dan saling sulang gelas minuman di antara astronom manca negara, dengan suasana pedesaan sekitar yang sepi mencekam dipatroli oleh tentara dan polisi mencegah penduduk keluar rumah.  

Sungguh suatu pengalaman langit, bumi, dan manusia yang tak terlupakan.  

Lalu, apakah gerhana matahari ataupun bulan merupakan pertanda bencana alam? Zaman telah menjawab bahwa tidak ada korelasi positif di antara keduanya. Namun, kita cenderung mempercayai dan selalu meributkan kembali hal yang sama dari waktu ke waktu.

Tak ubahnya dengan sebagian masyarakat (yang ironisnya terpelajar) yang masih percaya, bahwa satu saat planet Mars akan tampak di langit sebesar bulan purnama. Sebuah hoax yang selalu berulang tiap tahun, dan selalu diributkan orang hingga kini.

Sikap ini merupakan bentukan dari perikehidupan masyarakat yang masih harus berupaya lebih keras lagi meningkatkan science literacy-nya.

Kini, setelah 33 tahun berlalu, kita dihadapkan pada suatu fenomena yang sama tapi dengan jejak dan kala totalitas yang berbeda. Namun, amatlah spektakuler karena melintasi 11 provinsi merentang dari Bengkulu hingga Maluku Utara.

Yang menarik, media dan masyarakat seperti gayung bersambut menghadapi peristiwa ini dengan penuh antusias. Kelompok astronom amatir, mahasiswa, dan dosen perguruan tinggi menyiapkan berbagai kombinasi penelitian dalam berbagai tingkatan dengan kegiatan pendidikan public (public outreach).

Tiada larangan, tiada pantangan, tiada ancaman seperti 33 tahun lalu. Amatlah menarik melihat komunitas astronomi dari Aceh hingga Ambon berlomba meracik berbagai kemasan ekspedisi gerhana ke hampir semua provinsi yang dilalui totalitas.

Bahkan di daerah yang hanya mengalami gerhana parsial sekalipun, berbagai kegiatan pengamatan bersama direncanakan. Suatu situasi yang amat berbeda dengan 33 tahun lalu.

Suatu kemajuan yang menggembirakan sekaligus mengharukan, melihat masyarakat berbondong mencari kacamata gerhana yang sempat menjadi komoditas bernilai tinggi di pasaran, bahkan juga ditengarai ada penjualan kacamata palsu di Palangkaraya.

Keindahan fenomena ini juga menjadikan pengalaman wisata yang tak terlupakan oleh wisatawan asing maupun domestik. Keakraban yang dipertontonkan warga yang berbaur di lapangan, di pantai, dan di tempat-tempat terbuka memberikan kesan tersendiri.

Penulis yang membimbing mahasiswa mengamati gerhana matahari total di Universitas Palangkaraya, namun karena menyandang tugas lain harus ke Palembang, bersama siswa dan guru SMA Xaverius menyaksikan peristiwa ini di ibu kota Sumatera Selatan.

Para pelajar sekolah ini membuat kagum penulis karena mereka dengan seksama melakukan berbagai eksperimen fisika, melibatkan peralatan seperti bandul, thermometer, hygrometer, sampai kamera lubang jarum.

Sayang, saat totalitas tertutup awan tebal namun kegelapan di sekitar memberikan suasana hening yang mendalam. Amat menarik bagi penulis menyimak perilaku manusia dalam mencoba mengesani fenomena alam yang menakjubkan ini.

Di masa yang akan datang, hendaknya para guru, pendidik, dan dunia pendidikan bisa lebih tanggap lagi seperti tanggapnya dunia pariwisata terhadap fenomena alam langka dan berharga seperti ini.

Alangkah menariknya bila siswa-siswa bisa menyuguhkan eksperimen mereka ke hadapan para wisatawan mancanegara, sehingga bisa menjadikan gerhana matahari total ini bukan hanya wisata yang rekreasional, namun sarat dengan kegiatan berorientasi pendidikan yang dilakukan secara madani oleh kaum pelajar dibimbing para guru Indonesia.

Mari jadikan setiap fenomena astronomis sebagai sebuah laboratorium pembelajaran di segala tingkatan, dalam rangka mencerdaskan generasi mendatang.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya