Opini: Energi Terbarukan Jadi Peluang Wujudkan Industri Kelistrikan Ramah Lingkungan

Siapkah Indonesia menjadikan energi terbarukan sebagai salah satu sumber energi utama dalam penyediaan energi listrik khususnya untuk keperluan Industri?

oleh Arthur Gideon diperbarui 04 Jun 2019, 22:30 WIB
Diterbitkan 04 Jun 2019, 22:30 WIB
Ilustrasi pembangkit listrik panas bumi
Ilustrasi pembangkit listrik panas bumi

Liputan6.com, Jakarta - Siapkah Indonesia menjadikan energi terbarukan sebagai salah satu sumber energi utamanya dalam penyediaan energi listrik khususnya untuk keperluan Industri?

Sebuah tantangan sekaligus motivasi dalam memperbaiki bauran energi penyediaan listrik di Tanah Air. Untuk itu diperlukan usaha yang kuat agar dalam mewujudkan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebagai energi yang digunakan untuk membangkitkan energi listrik yang digunakan untuk melistriki kebutuhan listrik baik industri, bisnis dan sosial dalam kapasitas besar dan handal bisa terwujud.

Upaya untuk memanfaatkan EBT perlu mendapatkan dukungan yang kuat tidak hanya pemerintah tapi juga masyarakat dan pelaku dunia usaha meski banyak keterbatasan dalam mewujudkannya namun rasa optimistis perlu ditanamkan kepada stakeholders.

Dengan keterbatasan tersebut Pemerintah telah menetapkan target bauran energi nasional dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019 s.d 2028 dimana EBT dipatok dengan angka 23 persen pada tahun 2025.

Meski upaya untuk mewujudkan itu banyak tantangan yang harus dihadapi baik dari sisi pendanaan maupun ketersediaan energi yang akan digunakan seperti pemanfaatan panas bumi perlu melakukan pengeboran pada daerah yang potensinya cukup besar hal ini membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit disamping resiko kegagalan perlu dikendalikan.

Sedangkan untuk energi air membutuhkan waktu untuk membuat bendungan agar diperoleh head (tinggi jatuh) yang cukup untuk memutar turbin air bila menginginkan kapasitas yang lebih besar meskipun potensi energi air dapat memanfaatkan laju aliran air dengan mikro hidro (PLTMH) cukup banyak namun hanya menghasilkam daya listrik yang rendah.

Sementara untuk pemanfaatan angin dan sinar matahari kendala yang dihadapi berupa lokasi yang akan digunakan harus memenuhi batas minimal kecepatan angin maupun intensitas cahaya yang akan dikonversi menjadi energi listrik, agar dana investasi secara optimal sehingga biaya pokok penyediaan mampu bersaing dan kompetitif dengan energi listrik yang dihasilkan oleh gas dan batubara karena EBT akan maksimal bila dapat menggantikan minyak maupun gas.

 

Porsi Bauran Energi

20160302-Panel Surya ESDM-Jakarta- Gempur M Surya
Petugas memeriksa panel surya di gedung ESDM, Jakarta, Rabu (2/3/2016). Penggunaan panel surya bisa menurunkan emisi dari yang sebelumnya mengonsumsi listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel atau berbasis batubara (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Kondisi bauran energi untuk Energi Baru dan Terbarukan ( EBT) pada tahun 2019 sebesar 11,4 persen dengan komposisi energi panas bumi 5  persen, energi air 6,3  persen dan gabungan energi : matahari, sampah, biomas, CPO hanya 0,3; persen.

Apabila di lihat potensi solar cell (energi matahari) seharusnya dapat memanfaatkan lebih basar dan bahkan bisa dimanfaatkan lebih dari 3  persen namun kenyataannya masih sangat rendah meskipun pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengeluarkan ketentuan pemanfaatan sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap yaitu "Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 tahun 2018" tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Rendahnya konsumen PLN memanfaatkan PLTS Atap perlu menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah dan PLN berdasarkan survei dan wawancara pada pelanggan rumah tangga dengan daya 4.400 VA s.d 10.500 VA ternyata lebih dari 90 persen pelanggan tidak ingin menambah investasi untuk membeli PLTS Atap.

Di samping belum paham adanya PLTS Atap dan ingin praktisnya saja bahwa untuk kebutuhan listrik di rumah masih percaya dengan PLN apalagi beberapa tahun terakhir ini layanan PLN semakin membaik.

Di lain pihak untuk pemanfaatan sampah sebagai sumber energi penghasil listrik masih sebatas riset. Meski sudah ada yang memanfaatkannya seperti di kota Surabaya dengan memanfaatkan sampah yang ada di TPA Benowo, Pemerintah Kota Surabaya bisa menjual listrik ke PLN Distribusi Jawa Timur meski sebatas 8.000 KW.

Hal ini perlu mendapatkan apresiasi oleh pemerintah pusat karena selain bisa menambah pundi-pundi Pendapatan Asli Daerah juga mengurangi tumpukan sampah yang setiap harinya bertambah.

Selain Surabaya Pemerintah Daerah Kota Denpasar juga melakukan hal yang sama yaitu memanfaatkan sampah menjadi energi listrik meski dalam kapasitas di bawah 100 kW.

 

 

Kaliandra

Ilustrasi tarif Listrik Naik
Ilustrasi tarif Listrik Naik (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Energi Baru dan Terbarukan juga dapat dihasilkan dari batang dan ranting pohon kaliandra seperti yang dikembangkan di pulau Kondur Kabupaten Karimun Kepulauan Riau meski belum maksimal masih dibawah 100 kW.

Kendala utama adalah lahan untuk menanam Kaliandra membutuhkan lahan yang sangat luas, meski pohon Kaliandra mudah tumbuh dan penanamnya cukup dengan distek batangnya namun sebagai gambaran untuk untuk menghasilkan daya listrik sebesar 100 kW diperlukan sekitar 40 Ha dengan perkiraan 1 kWh membutuhkan 1,6 kg kayu Kaliandra.

Padahal sisa pembakaran kayu kaliandra dapat digunakan untuk memperbaiki unsur hara sehingga menyuburkan tanah dan tanaman.

Potensi lainnya yang dapat dikembangkan adalah pemanfaatan CPO atau minyak sawit sebagai pengganti solar/ biodiesel yang mulai dikembangkan dengan nama B20 artinya komposisi minyak sawit 20 persen dan HSD(High Speed Diesel) 80  persen bahkan sudah mulai diujicoba dengan B100 artinya 100  persen menggunakan minyak sawit atau menggantikan bahan bakan residu / solar dalam pembangkit tenaga diesel seperti yang telah diujicoba di Bangka.

Upaya yang dilakukan pemerintah melaui PLN untuk mewujudkan target menuju tahun 2025 dengan bauran energi 23 persen mengunakan Energi Baru dan Terbarukan secara masif terus dilakukan baik dalam pengembangan kapasitas rendah maupun implementasi dalam kapasitas yang cukup besar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Angin di Sidrap.

Dukungan Pemerintah sangat besar pengaruhnya terutama menyangkut regulasi yang berkeadilan dan sisi pendanaan mengingat masih tingginya Biaya Pokok Produksi Pembangkit Listrik dari EBT dibanding dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU Batubara).

 

PLTS

PLTS Cirata, Purwakarta, Jawa Barat.
PLTS Cirata, Purwakarta, Jawa Barat. (Foto: Pebrianto Eko/Liputan6.com)

Mengupas sedikit tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebagai upaya perwujudan program listrik ramah lingkungan atau renewable energy akan sangat bermanfaat apabila diterapkan di pulau- pulau kecil atau sedang dengan type PLTS Komunal bukan PLTS Atap, mengingat ongkos angkut energi primer seperti solar / HSD , gas apalagi batubara ke pulau pulau seperti : kepulauan Maluku Maluku Utara, Kepulauan Sangie Talaud, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Madura , Kepulauan sekitar Bangka& Belitung, Kepulauan Riau dan Mentai maupun Nias.

Meski sudah ada yang memanfaatkan PLTS Komunal namun belum bisa maksimal karena tidak semuanya dilengkapi dengan Baterai sebagai penyimpun energi listrik dalam bentuk arus searah ( direct current ) sehingga hanya bermanfaat selama 4 - 5 jam/ hari itupun hanya sekitar 10 - 20 persen dari daya maksimal dalam sistem 20 kV di remote area tersebut sisanya rata-rata masih menggunakan PLTD.

Namun demikian perlu dukungan dan perhatian yang lebh dari pemerintah agar pemanfaatan PLTS Komunal dengan teknologi baterai di remote area khususnya daerah kepulauan bisa lebih besar 23 persen bauran energinya apalagi daerah tersebut secara sistem kelistrikannya terpisah (isolated) dan dikategorikan remote area, tidak hanya di kepulauan namun juga di daerah perkebunan dan dusun di lereng atau lembah pegunungan.

Namun jaringan listriknya jauh dari gardu induk atau pembangkit yang masuk sistem grid akan cocok untuk dikembangkan PLTS Komunal dengan Baterai yang menjadi kendala untuk merealisasikan PLTS jenis ini pada umumnya selain pendanaan juga lahan yang disediakan cukup luas, sebagai gambaran di Pulau Moro PLTS dengan daya 200 kWp membutuhkan lahan sekitar 2000 meter persegi dan produksi rata-rata setiap bulannya 17.200 kWh.

Pemanfaatan EBT secara maksimal bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil terutama dari minyak , gas dan batubara diisamping sebagai perwujudan perusahan dalam mendukung program go green lingkungan yang bersih tidak menambah polusi udara disekitar pembangkit listrik sehingga mampu menjawab kebutuhan kebutuhan dunia.

Apalagi sudah mulai ada konsumen listrik yang menghendaki energi listrik yang dibutuhkan untuk melayani proses produksinya diperoleh dari energi listrik yang ramah lingkungan (Renewable Energy) meski harus membayar diatas tariff reguler.

Begitu pentingnya pengembangan dan pemanfaatan energi ramah lingkungan bagi dunia industri dimasa depan perlu didukung dengan regulasi yang mengatur tentang tarif jual ke pelanggan industri bila industri tersebut mempunyai komitmen untuk mendukung program pemanfaatan renewable energy sehingga gerakan pengurangan energi fosil tidak hanya ditujukan kepada PLN tetapi pemerintah sebagai regulator perlu menetapkan tariff listrik renewable energy yang harus dibayar oleh pelanggan industri sebagai produsen agar langkah masif untuk mewujudkan bauran energi sebesar 23 persen menggunakan EBT bisa tercapai di tahun 2025.

 

Dwi Suryo Abdullah

(Pengamat Energi Ramah Lingkungan)

Vice President Public Relation PLN

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya