Liputan6.com, Jakarta - Mengembangkan mobil listrik nasional lebih realistis dibanding mengejar proyek serupa yang berbasis mesin bensin. Dr. Agus Purwadi, dari tim mobil listrik Institut Teknologi Bandung (ITB) memaparkan bila mobil berbahan minyak akan ditinggalkan pada 2050.
Indonesia memiliki posisi yang setara dengan negara-negara lain dalam pengembangan mobil listrik. Sedangkan, bila ngotot ingin punya mobil nasional bermesin bensin, Indonesia tertinggal jauh.
Pengembangan mobil listrik di Tanah Air telah dilakukan sejumlah institusi pemerintah, seperti LIPI. Bahkan ada sebuah konsorsium yang terdiri dari lima perguruan tinggi negeri, yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), dan Universitas Negeri Surakarta (UNS).
Dr. Muhammad Nur Yuniarto dari tim mobil listrik ITS mengklaim bahwa seluruh komponen penggerak sudah mampu dibesut sendiri. Seperti motor listrik, modul pengatur daya, hingga sistem pengisian sudah dikuasai. Ia mengklaim kesiapannya sudah mencapai 90 persen.
Baca Juga
Tapi, pengembangannya bukan tanpa tantangan, ada satu komponen yang belum bisa dibuat sendiri, yakni baterai. Di dunia, mobil listrik saat ini mengandalkan baterai berjenis li-thium.
"Tapi kalau kita pakai lithium berarti ketergantungan dengan luar negeri. Saat ini ITS sedang mengembangkan baterai jenis baru, sejauh ini kami sudah mengujinya dan hasilnya perlu dikembangkan lebih lanjut," ujar Nur.
ITS punya Ezzy ITS II yang sudah melakoni uji jalan dari Jakarta-Surabaya. "Alhamdulillah sukses. Meskipun tiap 100 km harus berhenti untuk isi baterai selama empat jam," ia menjelaskan. Di luar itu, Nur dan timnya di ITS puas dengan performa Ezzy ITS II.
"Kita waktu itu menempuh jalur yang cukup ekstrim, kita lewat Nagreg. Saat nanjak dan turunan nggak masalah," ujarnya.
Open Source Â
Diakuinya, pengembangan mobil listrik yang dilakukan universitas sejauh ini memang jauh dari sempurna. Untuk desain, Nur pun mengakui masih banyak kritikan.
"Yang kami fokuskan adalah knowledge-nya (mengembangkan mobil listrik). Kalau kita bisa bikin produk jangan dinilai produknya, tapi pengetahuannya," kata dia.
Agar lebih maksimal, Nur menyarankan pengembangan mobil listrik dibuat `open source`. "Kalau dibuat open source kan enak, jadi siapa saja yang punya ide bisa menyempurnakan, misalnya dari desain," ujar Nur.