Mengenal Cara Kerja Turbocharger pada Sepeda Motor

Beragam cara bisa diterapkan pada mesin Naturally Aspirated (NA) demi mendongkrak performa. Paling umum dan signifikan, dengan menanamkan turbocharger atau supercharger pada mesin.

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Jul 2019, 04:03 WIB
Diterbitkan 05 Jul 2019, 04:03 WIB
Turbocharger
Turbocharger, perangkat tambahan agar mesin lebih bertenaga (Foto: cloudinary.com).

Liputan6.com, Jakarta - Beragam cara bisa diterapkan pada mesin Naturally Aspirated (NA) demi mendongkrak performa.  Paling umum dan signifikan, dengan menanamkan turbocharger atau supercharger pada mesin.

Keduanya memiliki konsep sama, yakni forced induction alias induksi paksa. Penjelasan mudah sistem kerjanya begini. Turbin berputar memasukkan udara lebih banyak ke ruang bakar. Semakin banyak yang masuk, kian banyak pula bensin yang terbakar. Otomatis tiap kali letupan, daya yang dihasilkan lebih besar. Walaupun kurang lebih sama, antara turbocharger dan supercharger memiliki prinsip kerja berbeda. Begini memahaminya.

Turbocharger

Kompresi yang tercipta dari turbocharger, mengandalkan dorongan sisa gas buang untuk memutar turbinnya. Jadi sebelum keluar dari ujung knalpot, udara dibelokkan ke perangkat ini dulu. Nah, karena sistem operasinya belakangan, tentu jeda waktu tercipta. Hasilnya? Turbo lag. Di putaran rendah, mesin dengan turbocharger lumrah sekali mengalami hal itu. Mengapa? Karena buangan angin dari ruang bakar belum memiliki cukup tenaga untuk memutar turbin. Biasanya baru bisa terasa di putaran tinggi. Semakin besar turbocharger, semakin besar pula gas yang diperlukan.

Setelah semua cukup, baru entakan terasa. Karakter tenaganya muncul tiba-tiba. Dari statis, langsung melonjak drastis. Dengan itu, konsumsi bahan bakar bisa lebih efisien, karena pembakaran berlebih hanya dilakukan pada putaran tertentu. Dengan produksi tenaga yang serupa dengan kapasitas mesin lebih besar.

 

 

Supercharger

[OTO-News] Gendongan Baru Ford Mustang GT Semburkan Tenaga 700 HP
Ford Mustang model 2015 ditopang dengan supercharger Whipple yang mampu mendobrak tenaga mesin menjadi 700 horse power (HP).

 

Berbeda halnya pada supercharger. Sistem induksi dihasilkan langsung dari putaran mesin. Penghubungnya biasa menggunakan belt, maupun gear yang langsung memutar turbin. Berarti, saat gas diputar dan mesin bekerja, supercharger juga ikut beroperasi. Semuanya bekerja dalam waktu yang bersamaan. Alhasil, tenaga yang dihasilkan lebih gradual atau linear. Tidak tercipta jeda waktu seperti pada turbocharger. Entakan sudah bisa dirasakan sejak putaran bawah sekalipun. Singkat kata, tenaga muncul di rentang rpm yang merata.

Nah, yang jadi permasalahan, konsumsi bahan bakar jelas lebih boros. Karena berapapun besaran gas diputar, teknologi ini turut bekerja. Suplai angin dan bahan bakar secara terus menerus berlebih.

 

 

Bagaimana Turbo di Motor?

Turbo tak hanya bisa diaplikasikan pada mesin mobil. Roda dua pun punya hak untuk menanamkannya. Konsepnya sama saja, tapi tak semua motor sanggup menelannya. Yang jadi masalah, kapasitas mesin motor relatif kecil ketimbang mobil. Sementara yang dibutuhkan dorongan angin besar atau putaran mesin besar. Makanya rata-rata hanya tersemat di motor gede.

Contohnya, Yamaha XJ650T (1982), Honda CX500/650 Turbo (1982), Kawasaki Z1R-TC (1978), Suzuki XN85 (1983). Semua motor ini pakai teknologi turbocharger. Namun di masa sekarang, satu-satunya motor produksi massal yang pakai teknologi induksi paksa adalah Kawasaki Ninja H2R. Tapi bukan turbocharger yang terpasang, melainkan supercharger. Mungkin mereka tak ingin pengendaranya mengalami lag saat meraih tenaga puncak. Serta merasakan entakan secara tiba-tiba, yang berbahaya jika terjadi di motor. Berkat teknologi ini, H2R berhasil menyandang status motor produksi massal terkencang yang pernah ada. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya