Liputan6.com, Jakarta - Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmad Bagja meminta kasus meninggalnya seratus lebih petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) saat Pemilu Serentak 2019Â tak perlu dibesar-besarkan.
Menurut Bagja, pihaknya dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengevaluasi kasus tersebut.
"Tidak usah dibesar-besarkan. Tapi kami tidak usah tiap hari muncul berapa yang meninggal. Selesaikan dulu permasalahan nanti kita hitung ramai-ramai dan evaluasi,"Â kata Bagja, di Media Center Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Rabu (24/4/2019).
Advertisement
Bagja mengungkapkan, ada beberapa hal yang menjadi penyebab meninggalnya petugas KPPS saat mengawal pelaksanaan Pemilu Serentak 2019. Satu di antaranya mereka kelelahan menunggu logistik pemilu tiba di tempat pemungutan suara (TPS).
"Ini masalah pemicu teman-teman kecapaian itu, salah satunya adalah permasalahan logistik yang harus ditunggu," ucap Bagja.
Selain itu, proses penghitungan suara yang memakan waktu lama juga jadi penyebab petugas KPPS kelelahan.
"Kalau (surat suara) presiden gampang hanya satu lembar HVS. Kalau DPR kan harus dibalik lagi dan itu memerlukan waktu. Misalnya jaraknya 3 meter antara saksi dengan KPPS yang menghitung. Itu pasti tidak bisa terbaca. Maka harus mendekat dan itu salah satu yang membuat teman-teman juga kelelahan," terang Bagja.
Bagja mengaku, lamanya proses penghitungan suara di luar prediksi. Padahal, sudah ada aturan yang mengatur soal batas waktu penghitungan suara maksimal pada pukul 24.00 setelah pemungutan suara digelar.
"Itu salah satunya untuk menghindari kelelahan yang ada," jelasnya.
Sementara terkait dengan pemberian asuransi bagi petugas KPPS, Bagja menambahkan, pihaknya dan KPU sudah mengusulkan ke DPR.
"Kami sudah mengajukan di rapat komisi. Jadi kalau itu tanya ke Kemenkeu (Kementerian Keuangan)," pungkasnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Korban Jiwa Terbanyak
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyebut terjadi peningkatan korban jiwa pada Pemilu Serentak 2019.
Korban jiwa yang dimaksud Titi adalah para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
"Jadi memang tahun ini, kalau saya bandingkan dengan 2004, 2009, dan 2014, 2019 adalah peristiwa di mana korban jiwa itu paling banyak," ungkap Titi di kantor Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Minggu 21 April 2019.
Titi meminta pemerintah segera mengevaluasi Pemilu 2019. Menurutnya, kasus meninggalnya petugas KPPS karena kelelahan saat proses penghitungan suara tidak boleh terulang.
Titi pun menyayangkan tidak adanya asuransi yang diberikan untuk para petugas KPPS. Sebab, ia menganggap, beban kerja petugas KPPS pada Pemilu Serentak 2019 lebih banyak.
"Menurut saya kepada para petugas yang mengalami, menjadi korban jiwa dan yang sakit atau pun luka karena kecelakaan kerja, harusnya negara memberi kompensasi yang sepadan. Saat ini mereka tidak mendapatkan asuransi kesehatan, kematian, atau pun ketenagakerjaan," tukas Titi.
Â
Reporter: Hari Ariyanti
Sumber: Merdeka
Advertisement