Liputan6.com, Jakarta Wacana pemindahan Ibukota Negara yang saat ini tengah digodok Pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas, belakangan ini menjadi isu yang ramai diperbincangkan banyak orang, bahkan menjadi trending topic di berbagai portal berita.
(Baca juga: Calon Ibu Kota, Berapa Harga Tanah di Palangkaraya?)
Padahal gagasan pemindahan Ibukota ini sudah tercetus sejak era Presiden Soekarno. Kala itu, presiden pertama tersebut mewacanakan ibu kota berada di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Di era Presiden Soeharto pusat pemerintahan juga pernah diwacanakan untuk digeser ke Jonggol, Kabupaten Bogor.
Advertisement
Sampai pada era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, wacana pemindahan ibu kota juga pernah muncul dengan memperluas Ibukota hingga Sukabumi dan Purwakarta. Dan di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Palangkaraya disebut-sebut sebagai kandidat yang akan menggantikan Jakarta dengan berbagai keunggulannya.
Rencana pemerintah menyiapkan lahan seluas 300.000 ha di Palangkaraya pastinya membutuhkan konsistensi pengembangan yang luar biasa. Luas tersebut 4-5 kali lebih besar dari Ibukota DKI Jakarta saat ini. Dari luas tersebut mungkin harus dipersiapkan kawasan-kawasan strategis yang dapat dijadikan pusat pemerintahan dalam skala yang lebih kecil dan bertahap.
“Sebagai perbandingan tengok saja pengembangan Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD) seluas 6.000 ha yang setelah 30 tahun lebih belum juga rampung sepenuhnya dengan development rate rata-rata diperkirakan 127 ha/tahun,” ujar Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch kepada Rumah.com.
Sebagai seorang pengamat properti, Ali menyoroti pemindahan ibukota jangan sampai menjadi ajang spekulasi. Pasalnya belum ada satu kota di Indonesia yang telah memiliki pola rencana kota dengan baik. “Bila pemerintah berencana memindahkan ibukota, harus diawali dengan persiapan yang matang terkait masterplan. Tanpa masterplan yang jelas pembangunan sebuah kota hanya akan menjadi amburadul,” sarannya.
Ali pun mengingatkan pemerintah untuk dapat mem-plot tata ruang khusus untuk pengembangan rumah rakyat. Menurutnya, sampai saat ini belum ada kota yang betul-betul mengakomodir peruntukan khusus untuk perumahan rakyat. Dengan plot area ini maka aksi spekulasi lahan di area tersebut tidak akan terjadi, karena siapapun tidak bisa membebaskan lahan di sana bila tidak dibangun rumah murah.
(Simak juga: Pilihan perumahan di kawasan Bogor dengan harga antara Rp300 – Rp500 juta)
Ali juga menyoroti kinerja pengembangan infrastruktur yang saat ini dibangga-banggakan pemerintah. “Dari satu sisi, pembangunan infrastruktur di Indonesia diapresiasi dengan baik. Dengan dibukanya lahan Ibukota baru maka pembangunan infrastruktur akan menjadi motor penggerak yang luar biasa,” jelas Ali.
Namun demikian, Ali menjelaskan bahwa masuknya pembangunan infrastruktur ke dalam sebuah wilayah akan mendongkrak harga tanah yang sangat tinggi yang dapat menjadi faktor negatif dalam pengembangan sebuah kota dalam jangka panjang.
Karenanya masterplan harus dibuat sebelum infrastruktur dibangun. Tanpa perencanaan seperti itu, maka harga tanah akan melambung dan pemerintah akan kesulitan untuk mengendalikan harga tanah. Hal ini berkaca dari pengembangan Kota Maja. Harga terus naik dan penyediaan rumah murah semakin terpinggirkan karena pemerintah tidak dapat mengendalikan harga tanah.
Karenanya dengan rencana infrastruktur yang ada, pemerintah harus siap untuk segera ‘mengamankan’ lahan-lahan di simpul-simpul yang ada agar jangan jadi obyek spekulasi dengan membentuk bank tanah.
“Untuk urusan pembiayaan, pemerintah tidak usah takut kekurangan dana dari APBN. Strategi pembiayaan dengan mendatangkan investor sangat terbuka lebar. Artinya dengan luasan yang besar tersebut, pemerintah tidak perlu mengeluarkan modal untuk keseluruhan lahan dan bisa bekerja sama dengan investor baik lokal maupun mancanegara. Itu juga yang dilakukan pengembang-pengembang besar dalam mengembangkan sebuah kota baru,” terang Ali.
Dan yang sangat penting secara jangka panjang adalah mengenai seberapa besar komitmen dan konsistensi pemerintah dalam memindahkan dan mengembangkan ibukota baru. “Beberapa kali rencana pemindahaan Ibukota terganjal karena masalah politik. Jangan sampai perubahan yang sudah dilakukan berhenti di tengah jalan mengingat luas pengembangan yang sangat besar dan waktu yang sangat panjang,” ujar Ali.