Liputan6.com, Jakarta Kisah kehidupan Pangeran Diponegoro sebagai tokoh panutan yang dianggap “setengah dewa” selalu menarik untuk disimak. Tokoh yang lahir 230 tahun yang lalu ini dianggap sebagai pembaharu di tengah zaman yang bergejolak. Sebab, Perang Jawa yang dipimpinnya telah mengubah struktur tatanan lama di Pulau Jawa.
Siapakah yang menyangka seorang Pangeran Diponegoro pernah marah dan menampar Patih Yogyakarta yang munafik dan korup, Danurejo IV (menjabat 1813-1847), dengan selop karena suatu pertengkaran terkait penyewaan tanah kerajaan kepada orang Eropa sebelum Perang Jawa? Sikapnya yang antikorupsi dan teramat cermat dengan uang pun nyata terlihat dalam pengaturan dana hidup ketika di pengasingan.
Peter Carey, sejarawan Universitas Oxford yang menulis buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (2014) dan Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa (2012) menuliskan ada banyak aspek tentang sang pangeran yang terasa “lebih aneh dibandingkan khayalan”. Salah satunya, seperti yang ia ungkapkan dalam wawancara tertulis dengan Liputan6.com pada Selasa, 26 April 2016, adalah hubungan sang pangeran Jawa dengan para wanita.
Baca Juga
Dalam Babad Dipanegara yang ditulis sendiri oleh sang pangeran dalam masa pembuangan di Manado, ia mengidentifikasikan dirinya seperti Arjuna, tokoh Pandawa yang paling tampan. Namun menurut Peter Carey, dalam hal penampilan fisik, Diponegoro tidak dapat disebut setampan Arjuna, tetapi dapat dikatakan “cukup enak dipandang oleh mata Jawa.”
Perkawinannya yang pertama adalah dengan anak seorang ulama terkemuka dari Desa Dadapan, dekat Tempel, yakni Raden Ayu Madubrongto. Setelah itu, karena didesak orang tuanya, Sultan Hamengkubuwono III, sang pangeran melakukan pernikahan yang lebih bersifat politis dengan Raden Ayu Retnokusumo, putri Bupati Panolan, Kesultanan Yogyakarta, Raden Tumenggung Notowijoyo III.
Seumur hidupnya, Pangeran Diponegoro memiliki tujuh istri resmi dan selir yang tak terhitung banyaknya. Di Tegalrejo sendiri sang pangeran memiliki empat istri resmi dan beberapa selir. Salah seorang selirnya yang terakhir konon cukup cantik sampai memancing sifat mata keranjang Asisten Residen Belanda untuk Yogyakarta, P.F.H Chavellier (menjabat 1823-1825). Si selir dikabarkan hidup bersama sang asisten residen beberapa bulan sebelum Perang Jawa.
Advertisement
Peter Carey mencatat Pangeran Diponegoro setidaknya memiliki 17 anak, 12 laki-laki dan 5 perempuan, dari istri-istri resminya.
Dalam masa perang, setelah kematian istri keempat yang paling dikasihinya, Raden Ayu Maduretno, di penghujung November 1827 ia mengawini tiga istri baru. Salah satunya adalah Raden Ayu Retnoningsih (1810-1885), putri Bupati Madiun dan kemenakan perempuan Raden Ronggo Prawirodirdjo III.
Ketika dinikahi Diponegoro, Raden Ayu Retnoningsih masih berusia 17 tahun dan ia sungguh sangat cantik. Sebagai satu-satunya istri resmi yang menemani di pengasingan, Raden Ayu Retnoningsih memberi sang pangeran dua anak.
Pangeran Diponegoro memang memiliki daya tarik yang sangat besar, yang membuatnya terlihat menawan di mata kaum hawa. Diponegoro sendiri pernah menyebutkan, salah satu sifat yang paling menganggu di masa mudanya adalah “sering tergoda oleh perempuan”.
Masa Pengasingan dan tuah Wanita Peranakan
Sekalipun berada di pengasingan, Pangeran Diponegoro sering membanggakan keahliannya dalam soal menaklukkan hati wanita. Residen Manado Pietermaat (menjabat 1827-1831) melaporkan “percakapan yang paling digemarinya adalah tentang perempuan-perempuan yang melihatnya sebagai seorang kekasih yang menawan.”
Bahkan, tutur Peter Carey, ketika Pangeran Diponegoro sakit malaria selama masa tiga bulan di akhir perang, ia masih mampu bermain-main dengan janda-dukun, Nyai Asmarataruna, yang merawatnya di Desa Sebodo di timur Bagelen.
Ketika di Manado, sang pangeran malah pernah ingin menikahi perempuan setempat, putri dari seorang warga Muslim terkemuka, Letnan Hasan Nur Latif. Namun seperti halnya pejabat setempat, Letnan Hasan Nur Latif menolak lamaran itu dan mengatakan, bila ia menikahkan putrinya dengan sang pangeran, maka itu hanya akan membawa sang putri pada “nasib buruk”.
Namun fakta yang jarang diketahui orang, selama Perang Jawa, Pangeran Diponegoro menganggap salah satu biang kekalahannya yang terbesar, yakni di Gawok, di luar Surakarta, 15 Oktober 1826 adalah karena saat sebelum pertempuran berlangsung, ia tidur dengan seorang perempuan muda Cina (nyonya Cina), yang bukan istri resmi dan bukan pula selir. Perempuan itu adalah tawanan perang di Kedaren, yang kemudian dijadikan Diponegoro sebagai tukang pijatnya.
Diponegoro menganggap skandal ini adalah alasan kekalahannya sekaligus penyebab ia terluka di bagian dada dan tangan. Kesenangan seksualnya, menurut Diponegoro, telah menetralkan kekebalannya. Ia kemudian melarang komandannya memiliki hubungan seksual dengan ras campuran (peranakan) perempuan Cina-Indonesia. Diponegoro memperingatkan bahwa hubungan dengan kaum peranakan akan membawa sial.
Dalam autobiografinya, Pangeran Diponegoro menggambarkan bahwa saudara iparnya, Raden Tumenggung Ario Sosrodilogo, kehilangan pengaruhnya pada 1827-1828 di pantai utara Jawa karena dia memperkosa seorang wanita Cina ketika pasukannya memasuki Kota Lasem, yang dihuni mayoritas peranakan Cina, pada awal Januari 1828.
Advertisement